Menuju konten utama

LBH Jakarta: Aksi Polisi di Program Televisi Cenderung Pencitraan

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana berpendapat, program televisi yang menampilkan aksi polisi melakukan penangkapan terduga pelaku tindakan kriminal, hanyalah pencitraan.

LBH Jakarta: Aksi Polisi di Program Televisi Cenderung Pencitraan
Ilustrasi. Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, Arif Maulana (kanan) menyampaikan pendapatnya disaksikan rekannya Era Purnama Sari, saat konferensi pers terkait proses seleksi hakim konstitusi, di Jakarta, Selasa (5/2/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - Terdapat berbagai program televisi yang mempertontonkan aksi kepolisian dalam menangkap atau membekuk terduga pelaku kriminalitas. Terkait hal ini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana berpendapat bahwa tayangan itu hanya pencitraan.

"Berbagai tayangan televisi (tersebut) cenderung hanya pencitraan kepolisian, realitasnya tidak sesuai dengan fakta bahwa polisi seperti dalam tayangan itu," kata Arif di kantor LBH Jakarta, Minggu (4/8/2019), dalam diskusi bertajuk "Kepolisian dalam Bingkai Media."

Arif menyebut, tugas media memang menyiarkan nilai pendidikan. Namun, aksi-aksi kepolisian dalam program televisi yang dimaksud, menjadi konsumsi publik. Alhasil, ada privasi terduga pelaku kriminalitas yang dilanggar. Para terduga pelaku itu juga berpotensi mendapatkan stigma buruk.

"Seolah-olah mereka sudah mendapatkan stigma keliru, salah. Bahkan (dianggap) menjadi pelaku tindak pidana, padahal belum tentu (bersalah) karena belum ada putusan pengadilan. Ini catatan penting bagi polisi," sambungnya.

Sang Direktur LBH Jakarta menambahkan, berdasarkan catatan lembaganya dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), masih banyak laporan soal dugaan tindak pidana yang dilakukan polisi terhadap masyarakat.

"LBH dan mencatat ada 1.120 kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian, periode 2016-2019," kata Arif.

Kasus-kasus yang dimaksud, meliputi kriminalisasi, independensi, salah tangkap, penyiksaan dan undue delay (penundaan proses penuntasan perkara tanpa alasan).

Arif juga menilai, transparansi dan akuntabilitas Polri dalam penegakan hukum memprihatinkan. Pasalnya, kepolisian tidak memiliki laporan tahunan yang dipertanggungjawabkan kepada publik.

"Ketika kepolisian melakukan pelanggaran hukum, laporan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak efektif," ujarnya.

Bagi Arif, peraturan perundang-undangan yang mendukung reformasi kepolisian, terutama terkait transparansi, tidak disertai dengan kultur positif kepolisian. Oleh karenanya, ia menganggap perlu ada revisi KUHAP yang mengontrol kewenangan polisi.

"Ternyata peraturan perundang-undangan yang sudah mendukung itu tidak disertakan dengan kultur (positif) kepolisian. Tapi kultur seperti penyiksaan dari polisi, pelanggaran hak tersangka/terdakwa, perkara salah tangkap dan lainnya masih sering terjadi," tutur Arif.

"Kini setiap undang-undang ada pidana, pidana itu memberikan ruang bagi kepolisian untuk lakukan penyelidikan dan penyidikan. Revisi KUHP dan evaluasi Divisi Propam juga perlu dilakukan, aparat penegak hukum hukum lainnya diperkuat," punkasnya.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fitra Firdaus