Menuju konten utama

LBH APIK Laporkan Kasus Kekerasan Seksual Anak di Cibinong ke KY

PN Cibinong, pada 25 Maret 2019, memutuskan untuk membebaskan HI dalam perkara kekerasan seksual kepada anak. 

LBH APIK Laporkan Kasus Kekerasan Seksual Anak di Cibinong ke KY
Ilustrasi kekerasan seksual. FOTO/istockphoto

tirto.id - LBH APIK memasukan laporan ke Komisi Yudisial (KY) terkait adanya sejumlah kejanggalan dalam pengadilan kasus pemerkosaan dan sodomi, yang dilakukan secara berulang, ke Joni (14) dan Jeni (7) bukan nama sebenarnya, oleh pelaku dengan inisial HI (41) di Cibinong, Jawa Barat.

"Iya, laporan sudah masuk. KY merespons cepat," kata Uli Pangaribuan, kuasa hukum keluarga Jeni dan Joni dari LBH APIK, saat dihubungi pada Jumat (26/4/2019).

Uli berharap agar KY bisa segera memberi sanksi tegas kepada HI. "[Kami] mendorong agar kasus ini prioritas untuk diperiksa, mengingat pelakunya bebas," ujar Uli.

Langkah lain yang juga akan ditempuh oleh Uli adalah melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung (MA). Jaksa Penuntut dalam kasus ini, Dian Bintari, memang telah memilih untuk melanjutkan kasus ini ke MA melalui memori kasasi. Permohonannya dimasukan pada hari Senin (22/4/2019).

Berdasarkan putusan Hakim Muhammad Ali Askandar di PN Cibinong pada 25 Maret 2019, HI dinyatakan bebas. Putusan tersebut diambil dengan alasan tidak adanya saksi yang melihat kejadian secara langsung dalam perkara ini.

Namun, LBH APIK menemukan sejumlah kejanggalan dalam keputusan tersebut. Pertama, pihak terdakwa atau pelaku sudah mengakui perbuatannya. Selanjutnya, hasil visum juga menyatakan adanya hubungan seksual.

“Padahal untuk pasal 81 dan 82, yang disampaikan oleh jaksa, itu sudah terpenuhi pembuktiannya karena ada visum yang membuktikan bahwa ada pemerkosaan,” jelas Uli.

“Kami merasa ada yang aneh dalam proses persidangannya,” ungkap Uli.

Selain itu, Uli juga mempertanyakan sejumlah hal atas keberlangsungan sidang. Dalam prosesnya, Joni dan Jeni tidak didampingi oleh siapa pun, termasuk keluarganya sendiri. Di sisi lain, pelaku justru didampingi oleh dua pengacara.

“Selama persidangan, Joni dan Jeni hanya sendiri mewakili dirinya sendiri, sementara pelaku diwakili dua pengacara,” ujar Uli.

Uli mempertanyakan bagaimana hakim bisa membiarkan persidangan tetap berjalan. Padahal, korbannya adalah anak-anak dan tidak didampingi oleh keluarga dan pengacara. Terlebih, dengan kondisi Joni yang memiliki disabilitas intelektual.

Persidangan pun hanya dilakukan oleh satu orang hakim. Padahal, ujar Uli, hal tersebut melanggar karena dalam sebuah persidangan seharusnya ada tiga hakim, kecuali terdakwanya memang anak di bawah umur.

“Ini bukan pelaku anak, ini pelaku dewasa, kenapa hakimnya tunggal?” tanya Uli.

Saat ini, pelaku pun telah bebas. Baik korban, maupun pelaku, masih tinggal dalam satu lingkungan.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto