Menuju konten utama

Layar Bioskop yang Tak Lagi Berjarak dengan Mata

Virtual reality alias VR terus dikembangkan. Mulai dari game, hingga jadi alat bantu merancap paling canggih. Saat ini, para pengusaha teknologi kabarnya tengah sibuk mengombinasikan VR dengan sensasi menonton film.

Layar Bioskop yang Tak Lagi Berjarak dengan Mata
Ilustrasi Virtual Reality Youtube. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Masih ingat film Birdman? Karya sutradara yahud Alejandro Iñárritu, yang berhasil dapat piala Oscar sebagai sutradara terbaik berturut-turut di 2014 dan 2015? Salah satu piala itu ditanggok Iñárritu lewat film tersebut. Selain dikenal sebagai film Box Office dengan pendapatan $ 103,2 juta, yang paling diingat penonton dari Birdman adalah sinematografinya yang unik.

Penonton digiring mengikuti plot cerita hanya dengan satu kamera, sejak awal hingga akhir film. Sehingga film itu terasa seperti satu adegan saja. Hebatnya, mata kamera kadang disatukan menjadi sudut pandang salah satu tokoh, sehingga bisa berputar 360 derajat. Diberi satu saja film unik begini, penontonnya sudah girang hingga membludak sampai diputar di 1.213 bioskop di dunia.

Sejak Oculus mengumbar niatnya untuk berkonsentrasi mengembangkan VR pada film, perusahaan teknologi VR ini seolah ingin mewujudkan imajinasi liar para penonton dengan gebrakan-gebrakan mereka. Tujuannya, kelak sinematografi unik macam Birdman akan lebih banyak ditawarkan para sineas. Dari kacamata marketing, tak hanya penggemar games, kini para penggila film juga jadi pasar incaran Oculus.

Sebagai bentuk keseriusan, mereka membangun studio khusus untuk mengembangkan ide ini. Tak main-main, seperti dilansir dari The Wall Street Journal, sebuah grup berisi 10 orang berpengalaman yang andal di antaranya veteran dari Pixar dan Lucasfilm, termasuk Saschka Unseld, mantan sinematografer Pixar yang ditunjuk sebagai Direktur Kreatif. Dalam usahanya merambah dunia film dengan VR, Oculus memang fokus pada pengembangan cerita. Jika dalam game, interaksi gamer dengan game jadi daya tarik utama, maka cerita yang baik adalah pengikat seseorang dengan film yang ditontonnya.

INFOGRAFIK Film-Film Virtual Reality

Film pertama yang mereka rilis cukup menarik perhatian di Festival Sundance tahun lalu. Diberi tajuk “Lost”, film animasi pendek berdurasi sekian menit ini diproduksi selama empat bulan. Namun mendapat respons yang cukup baik. The Verge bahkan menyebut film ini sebagai masa depan.

Upaya kreatif Oculus juga diikuti perusahaan lain. Fox Searchlight Pictures, bagian dari studio raksasa Twentieth Century Fox juga menyangkan secuil adegan VR dari film “Wild” yang dibintangi Reese Witherspoon pada Sundance tahun lalu. Di YouTube, sejumlah startup dan senimannya mulai membuat konten film berbasis pengalaman VR.

Paling anyar, awal bulan lalu Warner Bros merilis Fantastic Beast versi VR sebagai rangkaian promosi film Box Office minggu ini, Fantastic Beast and Where to Find Them. Meski belum berbentuk film panjang, tapi turut terjunnya Warner Bros, salah satu studio film raksasa di dunia seolah jadi tanda baik pengembangan VR dalam dunia film.

Lantas apa bedanya menonton di bioskop konvensional dengan menonton versi VR? Sederhananya, menonton di bioskop konvensional kita sebagai penonton dimanjakan sebagai pengamat. Dipertontonkan apa yang sineas ingin kita lihat. Sementara dalam VR, penonton punya jarak pandang tak terbatas. Ada pengalaman 360 derajat yang diberikan, yang bahkan tak diperlihatkan oleh film Birdman.

Dalam Festival Film Venice beberapa bulan lalu, film panjang pertama dengan VR ditayangkan. Ceritanya adalah biopik tentang Jesus. Sayang, film itu tak terlalu direspons baik. Salah satunya datang dari The Guardian. Dalam review mereka, kualitas film habis dicaci-maki: kualitas lakon, naskah, hingga penyutradaan. Tapi sensasi VR yang dirasakan tetap dipuji dan dianggap sebagai penyegaran, kecuali bagian headset yang memanas seiring film diputar.

Selain perkara headset, perkara teknis lainnya juga harus diperhatikan pengembang VR yang ingin merambah perfilman. Seperti yang Editor Film Neil Sadwelkar bilang pada India Times.

“VR mungkin memberikan pengalaman dahsyat jika kita menonton adegan kelahi. Tapi mungkin tak akan bagus untuk adegan emosional yang intim. VR justru bisa saja mengurangi esensinya.”

Baca juga artikel terkait VIRTUAL REALITY atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra