Menuju konten utama

Layakkah Menyebut Golput Bodoh, Parasit, dan Bermental Tak Stabil?

Selain keliru, menyebut golput bodoh dan parasit bisa punya konsekuensi yang berbahaya.

Layakkah Menyebut Golput Bodoh, Parasit, dan Bermental Tak Stabil?
Avatar Made Supriatna. tirto.id/Sabit

tirto.id - Golput kembali menjadi perdebatan publik. Ia muncul ke permukaan setelah dipicu tulisan yang ditulis oleh seorang imam Katolik yang juga seorang filsuf, Franz Magnis-Suseno, SJ, di harian Kompas.

Tulisan Magnis mengundang kontroversi bukan karena kedalaman intelektualnya, melainkan karena kedangkalannya. Ia mewakili sebuah intellectual pettiness di tengah-tengah tahun politik yang sangat keras.

Tulisan Magnis sesungguhnya mewakili apa yang oleh Paul Krugman disebut sebagai ‘the power of petty personal rage’ atau kekuatan yang berasal dari kemarahan terhadap hal-hal yang remeh-temeh. Itulah wajah debat publik di banyak negara pada saat ini, termasuk di Indonesia.

Pada intinya, Magnis melarang golput. Pada posisi ini, sulit untuk membedakan Magnis sebagai intelektual, filsuf, atau sebagai “politikus.” Kata politikus sengaja saya beri tanda kutip karena tulisan Magnis memiliki otoritas. Bagaimanapun, dia adalah imam Katolik dan filsuf yang memiliki pengikutnya sendiri. Dan, dalam hal golput, pandangannya menguntungkan salah satu kubu yang bertarung dalam Pilpres 2019.

Konsekuensi yang lebih besar adalah tulisan ini dengan segera memancing debat panas partisan. Para pendukung Jokowi, yang memandang golput sebagai ancaman karena akan menggerus peruntungan elektoral mereka, menggunakan tulisan Magnis sebagai justifikasi untuk menyerang golput. Alih-alih menyerang kubu lawannya, mereka melawan para aktivis golput. Sementara itu, kubu Prabowo, yang dianggap akan menangguk keuntungan, hanya menonton dengan senyum sumringah.

Apakah golput memiliki pengaruh sedemikian besar? Apakah semua orang yang tidak memilih adalah golput? Apakah memilih dalam pemilu adalah satu-satunya wujud tanggung jawab hidup bernegara?

Kita perlu mempertanyakan hal-hal mendasar seperti itu untuk memahami substansi persoalan. Sulit bagi kita mengkritik golput tanpa mengetahui realitas politik Indonesia. Kita, misalnya, akan terjebak pada debat partisan yang dangkal jika kita tidak bisa membedakan antara golput sebagai gerakan politik dengan non-voting behavior yang merupakan hasil dari cacat struktural dalam sistem pemilihan kita.

Doktrin Minus Malum

Dalam artikelnya, Franz Magnis-Suseno menulis bahwa mereka yang golput adalah orang-orang yang bodoh karena tidak bisa memilih; menjadi benalu atau parasit karena mengabaikan tanggungjawab hidup bernegara; serta bermental tidak stabil, atau dalam istilahnya, psycho-freak.

Bagi Magnis, memilih adalah kewajiban moral, meski secara hukum tidak ada larangan untuk menjadi golput. Magnis memahami alasan untuk menjadi golput adalah karena adanya dilema moral: kandidat dari kedua kubu sama buruknya. Secara moral, tidak ada opsi exit atau keluar dari dua pilihan buruk ini.

Karena itulah Magnis menawarkan jalan keluar. Dia menulis, “Dalam suatu pemilu, kita tak memilih yang terbaik, melainkan berusaha memastikan yang terburuk jangan terpilih.” Saya menyebut sikap ini sebagai doktrin minus malum.

Doktrin ini sangat populer di kalangan umat Katolik Indonesia pada awal kekuasaan Orde Baru. Ketika para elite Katolik menyadari bahwa musuh terbesar mereka, Partai Komunis Indonesia, telah lenyap, mereka melihat dua kekuatan yang harus dipilih untuk diajak bekerja sama: kekuatan politik Islam atau militer. Mereka memilih militer.

Magnis menawarkan sebuah moral politik. Saya tidak tahu apakah dia paham akan implikasi politis dari tulisannya itu. Jika dia paham, maka, seperti yang juga telah saya kritik, Magnis telah dengan sengaja memberikan sumbangan politik kepada salah satu kubu capres, khususnya kepada kubu Jokowi.

Apakah golput itu seserius seperti yang ditulis oleh Magnis secara berapi-api itu? Seperti apakah golput itu?

Memahami Golput

Banyak orang mengelirukan pengertian golput dengan tingkah laku tidak memilih (non-voting behavior). Keduanya sangat berbeda. Golput adalah sebuah sikap poltik, sebuah pernyataan politik. Dalam hal ini, sikap tidak memilih bisa disamakan dengan abstention atau memilih bersikap abstain dengan sengaja tidak memberikan suara.

Golput adalah bentuk protest vote. Ada yang melakukannya dengan merusak kertas suara (spoiled votes), tidak hadir saat pemilihan, atau secara teatrikal melakukan pemilihan umum tandingan.

Golput adalah sebuah tindakan aktif. Sebagaimana halnya protes, tentu golput harus ditunjukkan kepada orang lain. Efektivitasnya sebagai bentuk protes adalah pada pertunjukannya itu.

Contohnya ketika sekitar 3.000 warga Cikuasa Pantai dan Kramat Raya, Kota Cilegon, menyatakan akan golput dalam Pemilu 2019. Mereka belum menerima ganti rugi gusuran rumah mereka. Pemerintah Kota Cilegon tidak membayar mereka walaupun mereka menang di pengadilan. Mereka digusur sejak 2016 dan sejak saat itu hidup mereka berantakan.

Namun, sulit untuk memasukkan kasus 3.000 warga Cikuasa Pantai dan Kramat Raya, Cilegon, ini sebagai golput yang disasar Magnis. Dalam tulisannya, Magnis tampaknya lebih menyasar gerakan golput yang dilancarkan oleh sebagian aktivis. Golput ini adalah jenis yang lebih ideologis. Pada umumnya, para aktivis ini adalah warga kelas menengah perkotaan.

Golput jenis ini lahir saat pemilihan umum 1971. Ketika itu, para aktivis mulai melancarkan kritik kepada pemerintah Orde Baru, terutama korupsi oleh orang-orang di lingkaran dalam Suharto. Para aktivis juga mengkritik sistem kepartaian. Pemilu 1971 diikuti oleh sepuluh partai politik, terlalu besar menurut para aktivis yang pada umumnya anti-partai.

Para aktivis yang dulunya adalah ‘eksponen Orde Baru’ itu akhirnya menggelar ‘partai’ yang dinamakan Golongan Putih atau Golput. Dengan segera, penguasa militer melarang gerakan ini dan memenjarakan para aktivisnya. Tentu saja jumlah golput ini sangat kecil. Namun, suara mereka adalah gangguan yang sangat besar. Pemerintah Orde Baru saat itu berusaha membuat semua orang memilih.

Golput sangat berbeda dengan perilaku tidak memilih. Orang tidak memilih karena berbagai macam alasan. Ada sebagian pemilih tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan administratif. Para petani di Register 45, Mesuji, Lampung, misalnya, tidak bisa memilih karena tidak memiliki KTP. Mereka tidak memiliki KTP karena bersengketa dengan negara, yaitu menduduki tanah negara.

Mereka yang ber-KTP harus pulang ke daerah asalnya untuk memilih. Tentu berat bagi mereka yang sebagian besar petani miskin itu.

Ini tidak terjadi hanya di Mesuji saja. Ia ada di banyak tempat. Para petani yang menggarap lahan hutan, mereka yang hidup di pertambangan liar, atau mereka yang tidak memiliki akses terhadap pemerintahan desa, semuanya tidak bisa memilih. Jumlah mereka jutaan.

Ada juga yang tidak memilih karena menganggap suara mereka tak berarti. Apalah artinya satu suara dibandingkan 192 juta suara dari seluruh Indonesia? Seringkali, tanpa disadari jutaan orang berpikiran sama. Jadilah mereka semua non-pemilih dan berdampak pada hasil pemilu.

Angka tidak memilih di Indonesia sangat bervariasi. Pada Pemilu 1955, angka ini berada pada kisaran 12,34 persen. Pada masa Orde Baru, angka tidak memilih berada di bawah 10 persen. Angka terendah terjadi justru pada Pemilu 1971, persis ketika gerakan golput dideklarasikan. Saat itu, angka tidak memilih cuma 6,67 persen. Ini sangat bisa dimaklumi. Pada masa Orde Baru, pemilih dimobilisasi.

Setelah Orde Baru, angka tidak memilih membengkak dari tahun ke tahun. Angka tidak memilih pada masa sesudah Orde Baru berkisar antara 25-30 persen. Apakah ini normal? Jika dibandingkan negara lain, jumlah pemilih (voters turnout) di Indonesia tergolong sangat tinggi. Hanya 61,4 persen dari jumlah pemilik hak pilih di Amerika yang memberikan suaranya pada Pilpres 2016.

Memilih: Sukarela atau Wajib?

Dengan membandingkan negara lain, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya partisipasi politik di Indonesia cukup tinggi. Pemilih Indonesia masih diberi kebebasan untuk memilih atau tidak memilih (voluntary participation). Di Australia, misalnya, secara hukum semua warga negara wajib memilih (compulsory voting).

Sekalipun bersifat partisipasi sukarela, pemilihan tetap tidak akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Apakah pemerintah yang dipilih oleh 35 persen pemilih kurang sah dibandingkan dengan yang dipilih 90 persen? Sulit menentukan jawabannya. Pemerintah yang dipilih oleh 35 persen elektorat tetap sah karena menang dengan suara terbanyak. Mereka yang tidak memilih menanggung risiko diperintah oleh orang yang tidak dipilihnya.

Kita mengalami ini dalam banyak pilkada. Banyak kepala daerah yang terpilih hanya dengan angka berkisaran 30 persen, tetapi tetap absah. Di kota Makassar, calon tunggal walikota Munafri Arifuddin kalah dari kotak kosong! Sekalipun kalah dari kotak kosong, dia tetap dinyatakan terpilih menjadi walikota. Sama seperti golput, kotak kosong adalah bentuk protest vote.

Dengan demikian, apakah menjadi golput adalah tindakan yang bodoh, parasit, dan tanda-tanda ketidakstabilan mental?

Sulit mengatakan demikian. Menurut saya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah memahami sepenuhnya proses politik kita. Pertama-tama adalah dengan mengenali bahwa golput lain dengan tingkah laku tidak memilih (non-voting behavior), yang adalah tindakan tidak memilih sebagai ekspresi sikap politik.

Jika masalahnya adalah non-voting behavior, ia harus diatasi dengan kebijakan tepat. Angka tidak berpartisipasi dalam pemilu tahun ini mungkin akan melonjak karena pemilihan serentak antara legislatif, DPD, dan presiden. Pemilih harus mampu mengidentifikasi calon dari lima tingkatan pemerintahan sekaligus. Pemilih harus memilih di antara ratusan nama dari 16 partai (20 di NAD) dan lima cabang pemerintahan yang berbeda. Hal ini sangat membingungkan dan akan menambah tinggi angka tidak memilih.

Pikiran Berbahaya

Seperti yang saya katakan di atas, tulisan Magnis sangat dangkal dari sisi substansi dan juga sangat jauh dari realitas. Tulisan itu baik untuk agitasi dan provokasi. Saya melihat di media sosial pendukung salah satu capres sudah memakainya untuk provokasi dan agitasi. Kartun dan poster sudah dibuat.

Kita lihat bahwa golput sebagai gerakan atau protes biasanya dilakukan dengan penuh pertimbangan. Saya yakin mereka yang memutuskan golput punya informasi yang cukup dan bisa memberi alasan mengapa mereka golput, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa mereka bertindak demikian karena bodoh.

Yang lebih berbahaya adalah penggambaran para aktivis golput sebagai benalu atau parasit. Ini mengingatkan saya pada jaman Nazi ketika orang Yahudi disebut sebagai parasit. Kita tahu kelanjutannya adalah holocaust yang membuat enam juta orang Yahudi dibantai. Orang Hutu di Rwanda mulai memanggil orang Tutsi sebagai kecoa sebelum terjadi pembantaian yang menghabisi hampir sejuta orang Tutsi.

Sebutan seperti ini mengingatkan saya pada buku David Livingstone Smith, Less Than Human: Why We Demean, Enslave, and Exterminate Others. Akar dari kekerasan dan kekejaman dimulai dari dehumanisasi manusia.

Pemilu hanyalah satu bentuk partisipasi dalam kehidupan bernegara. Ada banyak partisipasi lain yang bisa dilakukan, yang bahkan mungkin jauh lebih substantial ketimbang sekadar pemilihan presiden (dan jangan lupa legislatif). Orang bisa berpartisipasi dengan membangun organisasi sipil seperti mengawasi korupsi, penggunaan anggaran, kasus-kasus pelanggaran HAM, dan sebagainya.

Bahaya terbesar saya rasa datang dari doktrin minus malum: “mencegah yang terburuk berkuasa.” Kita melihat betapa panasnya tensi politik saat ini, khususnya dalam pilpres. Masing-masing kubu capres memandang calon mereka sebagai penyelamat bangsa ini dan lawannya adalah pihak yang terburuk.

Konsekuensinya sangat serius. Jika Jokowi menang, pendukung Prabowo akan menganggap dia sebagai presiden yang tidak absah memerintah. Demikian pula sebaliknya. Kita tidak perlu menunggu hingga pilpres ini selesai untuk mengalami kondisi itu.

Apa yang kita alami sekarang ini adalah produk Pilpres 2014. Ketika itu pun Magnis sudah mengemukakan doktrin minus malum ini. Ketika Jokowi menang, pendukung Prabowo tidak pernah menerimanya sebagai presiden yang sah.

Jika Prabowo yang menang pada pilpres kali ini, bisa kita bayangkan bagaimana pendukung Jokowi akan bereaksi terhadap pemerintahannya. Minus malum hanya akan membawa kita pada spiral kebencian yang tiada akhir dan semakin mengeras.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.