Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Latar Belakang Perang Tondano, Konflik Orang Minahasa vs Belanda

Berikut ini latar belakang Perang Tondano 1807-1809 dan riwayat perlawanan rakyat Minahasa pada Belanda.

Latar Belakang Perang Tondano, Konflik Orang Minahasa vs Belanda
Benteng Moraya di Tondano Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. foto/Istockphoto

tirto.id - Perang Tondano merupakan istilah untuk menyebut pertempuran rakyat Minahasa melawan militer pemerintah Hindia-Belanda di tahun 1807-1809. Perang ini melibatkan rakyat Minahasa di sekitar danau Tondano, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara.

Penyematan istilah "Perang Tondano" pada pertempuran rakyat Minahasa melawan Belanda selama tahun 1807-1809 ditemukan dalam sejumlah literatur. Namun, tak semua literatur tentang sejarah Perang Tondano memuat kesimpulan serupa.

Sebagai contohnya adalah buku karya Giroth Wuntu bertajuk Perang Tondano 1661-1809 (2001). Buku ini menjabarkan Perang Tondano sebagai perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh rakyat Minahasa selama 1,5 abad.

Selama kurun itu, menurut Giroth Wuntu, perang perlawanan rakyat Minahasa berkali-kali terjadi di sekitar danau Tondano. Semula rakyat Minahasa menentang penjajahan Spanyol, dan kemudian VOC hingga pemerintah Hindia-Belanda.

Di buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984), tim penulis Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud RI (J.F Tooy dkk.) mencatat, perlawanan rakyat Minahasa terhadap bangsa Spanyol terjadi pada sekitar tahun 1644. Rakyat Minahasa lantas berhasil mengusir orang-orang Spanyol, dan sempat menjalin persahabatan dengan Belanda. Akan tetapi, kerja sama itu justru membawa penderitaan bagi banyak rakyat Minahasa.

Memasuki dekade awal abad ke-19, meletup pertempuran sengit rakyat Minahasa melawan militer Hindia-Belanda, yang disebut Perang Tondano. Perang tersebut berlangsung sejak 14 Januari 1807 hingga 5 Agustus 1809. Periode tadi hanya beberapa tahun setelah VOC bubar, dan pemerintahan Hindia-Belanda baru saja dibentuk.

Latar Belakang Perang Tondano 1807-1809

Latar belakang Perang Tondano 1807-1809 berhubungan dengan perang rakyat Minahasa melawan penjajahan Spanyol pada abad ke-17. Didorong motif mengantisipasi kedatangan kembali bangsa Spanyol ke Minahasa, sejumlah pemimpin kelompok masyarakat di sekitar Danau Tondano punya inisiatif mengundang kedatangan orang-orang Belanda.

Pada pertengahan abad ke-17, kongsi dagang Belanda atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) telah menguasai Maluku (Ternate). Persaingan dalam perdagangan rempah membuat VOC bermusuhan dengan Spanyol dan Portugis.

Kemungkinan hal ini membuat orang-orang Minahasa beranggapan VOC bisa menjadi rekan aliansi strategis untuk mencegah bangsa Spanyol kembali. VOC yang mendirikan benteng di Manado pada tahun 1657 juga diharapkan membantu rakyat Minahasa melawan para perompak Mindanao. Akan tetapi, kerja sama itu tidak berjalan sesuai harapan rakyat Minahasa.

Seturut catatan Giroth Wuntu dalam Perang Tondano 1661-1809 (2001:17), inisiasi kerja sama di antara rakyat Minahasa dan VOC bermula dari tahun 1644. VOC lantas mengirimkan bantuan bagi rakyat Minahasa dengan mengutus 70 serdadu Belanda dan 50 tentara bayaran dari Ternate.

Sementara itu, menukil dari buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984:75), perjanjian resmi antara rakyat Minahasa dengan VOC diteken pada 10 Januari 1679. Inti perjanjian itu berkaitan dengan kerja sama saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Salah satu bentuk kerja sama tersebut di bidang perdagangan. Rakyat Minahasa diharuskan untuk menyerahkan kayu, ijuk, dan beras kepada VOC. Sebaliknya, VOC mau menyuplai berbagai barang kebutuhan sehari-hari untuk rakyat Minahasa, seperti pakaian hingga alat rumah tangga.

Perjanjian itu melibatkan 26 pemimpin rakyat Minahasa yang disebut kepala Walak (Balak). Walak merupakan pemerintahan otonom di Minahasa, terutama di sekitar danau Tondano. Pada abad 19, walak disetarakan dengan distrik.

Namun, orang-orang Belanda (VOC) justru kerap menyalahgunakan perjanjian kerja sama itu. Di sisi lain, ada sebagian kepala walak yang berkomplot dengan pegawai VOC untuk meraup untung pribadi. Akibatnya, banyak rakyat Minahasa menderita karena menanggung kewajiban setoran ke VOC.

Kondisi tersebut membuat kebencian rakyat Minahasa terhadap Belanda dan kolega lokal mereka terus menguat. Sejumlah pemberontakan kecil sempat terjadi, tetapi mudah dipadamkan.

Babak sejarah baru terjadi ketika VOC resmi dibubarkan pada 1799. Pembubaran VOC tidak lama setelah Prancis menduduki Belanda pada 1795 dan membentuk Republik Bataaf.

Setelah VOC dibubarkan, penguasa Republik Bataaf membentuk pemerintah Hindia-Belanda. Untuk mengatur wilayah Minahasa, pemerintah kolonial menempatkan Residen G.F. Durr (1791-1802).

G.F. Durr mengemban tugas ganda: membentuk pemerintahan kolonial baru di Minahasa sekaligus mengantisipasi serangan armada Britania Raya (Inggris). Kerajaan Inggris kala itu bermusuhan dengan Prancis dan negara bonekanya (Republik Bataaf) sehingga mengincar pemerintah kolonial di nusantara.

Ketika armada Inggris berlabuh di Manado pada tahun 1802, G.F. Durr menyerah. Namun, otoritas kolonial Belanda tetap bercokol di Minahasa. Kursi residen beralih ke tangan C. Ch. Prediger.

Sosok yang terakhir lebih gigih dari pendahulunya. Kala armada perang Inggris kembali menyerbu Manado pada 1806, C. Ch. Prediger mengonsolidasikan perlawanan. Prediger ingin memobilisasi 2000 pemuda Minahasa agar ikut berperang melawan Inggris. Namun, sebanyak 15 dari 26 kepala Walak sepakat membangkang. Sebab, perang mendukung Belanda hanya akan membikin susah rakyat Minahasa.

Pemimpin walak-walak tersebut lantas merancang strategi untuk melawan Belanda. Mereka lantas memusatkan pertahanan di rawa-rawa dekat pesisir barat Danau Tondano. Persiapan militer sudah matang di akhir 1806, termasuk dengan terbangunnya Benteng Moraya dan Paapal.

Selepas itu, rakyat di Danau Tondano menyatakan perang terhadap Belanda dengan dipimpin oleh Panglima Korengkeng dan Sarapung. Meskipun mempunyai meriam, mayoritas prajurit Minahasa mengandalkan senjata tajam saat melawan pasukan Belanda yang memegang bedil.

Mengutip dari publikasi bertajuk Seminar Sejarah Nasional IV Sub Tema Dinamika Perkembangan Politik Bangsa Indonesia (1985) terbitan Depdikbud, Perang Tondano berkobar selama periode 2 residen. Ketika Prediger digantikan oleh Residen M. Balfour (1809-1810), Perang Tondano belum padam. Balfour baru berhasil memastikan kekalahan rakyat Tondano pada 5 Agustus 1809.

Perang Tondano pada 1807-1809 nampaknya memperlemah pertahanan Belanda di Minahasa. Hal ini melapangkan jalan bagi pasukan Inggris untuk meruntuhkan pertahanan Belanda dan merebut Minahasa pada 1810.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERANG atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom