Menuju konten utama

Latar Belakang Hibah F-16 dari Amerika untuk Indonesia

Program hibah 24 pesawat jet tempur F-16 dari AS untuk Indonesia dinamai dengan Peace Bima Sena II, lanjutan dari proyek Peace Bima Sena I pada 1986. Proyek ini bagian dari pasang surut kerjasama militer Indonesia dan AS.

Latar Belakang Hibah F-16 dari Amerika untuk Indonesia
Petugas bea cukai memeriksa pesawat tempur F-16 di Shelter Skuadron Udara 3 sesaat setelah mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Iswahjudi, Magetan, Jatim, Senin (20/3). Dua unit pesawat tempur F-16 C/D bagian dari 24 pesawat tempur hibah dari Amerika Serikat yang rencananya akan melengkapi Skuadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skuadron Udara 16 Lanud Rusmin Nuryadin Pekanbaru, tiba di Lanud Iswahjudi. Dari 24 pesawat, 16 unit di antaranya sudah dikirim secara bertahap. ANTARA FOTO/Siswowidodo/kye/17

tirto.id - Senin (20/03/2017), dua pesawat tempur F-16 hibah dari pemerintah Amerika Serikat tiba di Pangkalan TNI Angkatan Udara Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur. Dua jet tempur F-16 itu adalah termasuk dalam 24 pesawat yang dihibahkan pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia. Jumlah yang telah diterima adalah 19 unit.

Menurut informasi yang dipublikasikan dalam World Air Forces 2015, Indonesia memiliki 8 buah F-16 yang aktif di samping 52 pesawat tempur lainnya. Paling banyak adalah Sukhoi (Su-23/30) (16 buah). Laporan yang sama menyebutkan 18 buah F-16 sedang dipesan. Angkatan Udara RI telah memiliki F-16 sejak 1989. Tahun itu, Indonesia memborong 12 jet F-16. .

Pada 2011, Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli 24 jet F-16 bekas dari pemerintah AS senilai US$750 juta. Proyek pengadaan pesawat tempur ini dinamai sebagai Peace Bima Sena II, menyusul Peace Bima Sena I (1986). April 2015, salah satu dari pesawat itu mengalami kecelakaan. TNI AU memutuskan tidak akan mengoperasikan F-16 bekas AS sampai ada hasil investigasi. Dan memutuskan akan mengevaluasi setiap pesawat hasil hibah.

Riwayat Relasi Militer Indonesia-AS

Pasang surut relasi militer AS dan Indonesia diwarnai oleh intervensi politik Perang Dingin, isu pelanggaran HAM, serta tekanan Kongres yang membatasi penjualan senjata dan pelatihan militer dari AS ke Indonesia.

September 1999, pemerintahan Clinton menjatuhkan embargo senjata kepada Indonesia, menyusul kekerasan pasca-referendum di Timor Leste di tahun itu. Sebagian legislator AS juga menuntut Clinton untuk membatalkan pinjaman milyaran dollar untuk Indonesia yang rencananya disalurkan melalui IMF jika Jakarta gagal mengendalikan aksi-aksi liar Angkatan Darat di Timor Leste. Pihak yang paling dirugikan adalah Angkatan Udara karena embargo militer tersebut memutus pasokan suku cadang pesawat-pesawat tempur AU yang dibeli dari AS.

Kebijakan Presiden Clinton pada waktu itu kontras dengan riwayat kerjasama militer Indonesia-AS. Menurut dokumen yang telah dideklasifikasikan, setelah kegagalan pemberontakan Permesta yang mendapat sokongan dari Central Intelligence Agency (CIA), pemerintah AS baru memulai kerjasama bantuan militer ke Indonesia (1958) dengan nilai kontrak 20 juta dollar per tahun.

Bantuan diberikan langsung pada Angkatan Darat yang dalam dokumen tersebut dinyatakan sebagai “satu-satunya kekuatan non-komunis … dengan kemampuan menghancurkan PKI” (1982, 002386; 1981, 367A). Pada saat itu, hubungan militer yang paling kuat adalah dengan Uni Soviet, yang membatalkan kerjasama militer dengan Indonesia setelah terjungkalnya Sukarno.

Pada 1975, Menlu AS Henry Kissinger memberikan lampu hijau kepada Indonesia untuk menyerbu Timor Leste. Bantuan militer AS ke Indonesia menggelembung dari jumlah yang sebelumnya disetujui oleh Kongres untuk keperluan-keperluan defensif. Dalam penyerbuan itu, AS mengirimkan perlengkapan berat, termasuk pesawat Rockwell OV-10 Bronco yang dirancang khusus untuk operasi kontrainsurgensi. Jumlah bantuan semakin meningkat pada masa kepemimpinan Presiden Jimmy Carter.

Jurnalis Washington Post Dana Priest mencatat, pasukan khusus AS telah menggelar 41 kali latihan gabungan bersama militer Indonesia sejak 1991. Kongres telah menentang pelatihan tersebut dengan alasan rekam jejak pelanggaran HAM Indonesia.

Infografik F-16 Hibah

“Sebagian besar latihan itu melibatkan Kopassus, yang dituding oleh para pejabat AS terlibat dalam penculikan dan penyiksaan para aktivis anti-pemerintah,” tulis Priest.

Ketika Clinton memutuskan penghentian pelatihan dan bantuan militer ke Indonesia pada 1999, kebijakan tersebut juga berlaku untuk Kolombia dengan alasan yang sama: militer Kolombia terlibat perdagangan obat terlarang, pembunuhan politik, dan penduduk sipil yang tinggal di sekitar area yang dikuasai gerilyawan FARC.

Pasca tragedi 9/11 di New York, embargo ini mengendur. Council on Foreign Relations, think-tank yang berbasis di Washington, menyebutkan bahwa sejak 2002 beberapa lembaga kementerian AS meluncurkan inisiatif jutaan dolar untuk Indonesia terkait kepentingan keamanan dan pertahanan.

Pada 2002, Kementerian Pertahanan AS kembali meneruskan program senilai $600 ribu bernama International Military Education and Training (IMET), yang sempat terhenti sejak 1999 sampai 2002 akibat blunder tentara di Timor Leste. Pada 2006, Kementerian Luar Negeri AS mengucurkan dana sebesar $6 juta melalui Antiterrorism Assistance Program untuk melatih dan mempersenjatai Densus 88 yang dibentuk pasca-Bom Bali (2003).

Tahun 2000, AS mengizinkan Indonesia membeli suku cadang peralatan militer untuk kepentingan-kepentingan non-perang, misalnya suku cadang pesawar Hercules C-130 yang digunakan untuk mengangkut bantuan kemanusiaan ke Aceh setelah tsunami. Lima tahun kemudian, Kongres mengizinkan secara terbatas akses Indonesia ke hibah dan pinjaman untuk peralatan dan pelatihan militer. Selama 2001 hingga 2004, CFR menyebutkan pemerintah AS telah memberikan bantuan militer senilai $23,2 juta.

Konteks Regional

Di luar latar belakang kerjasama keamanan dan pertahanan AS-Indonesia, sulit untuk mengabaikan situasi geopolitik di balik transaksi jangka panjang F-16 dari Amerika ke Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, anggaran pertahanan Beijing meningkat drastis hingga 143 persen. Dampaknya besar bagi industri senjata Tiongkok yang semakin berorientasi ekspor dan mengurangi impor.

Situs Financial Times (2015) menyebutkan bahwa impor senjata Tiongkok berkurang drastis (42 persen) ketimbang lima tahun sebelumnya. Anggaran pertahanan Tiongkok sendiri kini hanya setingkat lebih rendah dibandingkan dengan AS. Empat puluh satu persen ekspor senjata Tiongkok dibeli oleh Pakistan; 28 persen ke Bangladesh dan Myanmar; 18 persen ke negara-negara Afrika.

Pada saat bersamaan, kasus-kasus sengketa teritorial di kawasan Laut Cina Selatan yang melibatkan Tiongkok dan negara-negara ASEAN semakin santer. Penguatan armada perang di masing-masing negara ASEAN paralel dengan agresitivitas klaim-klaim wilayah Tiongkok di kawasan tersebut. Dua negara Asia Tenggara yang paling agresif menambah anggaran belanjanya adalah Vietnam dan Filipina. Dua negara ini, dan sejumlah negara ASEAN lainnya mempercanggih armada perang dengan membeli peralatan tempur tidak hanya dari AS, tetapi juga Inggris, Rusia, Jepang, dan Brazil.

Sejauh ini para diplomat ASEAN menyatakan bahwa hubungan antara Tiongkok dan ASEAN cenderung diarahkan ke kerjasama ekonomi. Hanya dengan Thailand dan Myanmar, relasi Tiongkok lebih dari sekadar dagang.

Baca juga artikel terkait MILITER atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS