Menuju konten utama

Larut Bersama Pendukung FC St. Pauli di Stadion Millerntor

Pendukung klub sepakbola St. Pauli adalah kelas pekerja progresif, anti-kapitalis, anti-rasis, dan anti-homofobia.

Larut Bersama Pendukung FC St. Pauli di Stadion Millerntor
Bangunan Stadion Millerntor, markas klub St. Pauli FC di Hamburg, Jerman. tirto.id/Widia Primastika

tirto.id - “Orang Jerman adalah penggila sepakbola. Dari usia muda hingga kakek-nenek, hampir semua suka sepakbola,” begitu kata Connie, perempuan Jerman berusia 68 tahun yang tinggal di Amerika Serikat. Kami bertemu di sebuah tempat penginapan di Hamburg, akhir September.

Connie tidak berlebihan. Saya bukan penggemar fanatik sepakbola. Tapi, sejak SD, saya memang punya keinginan untuk menonton sepakbola di Jerman. Ketika menghadiri konferensi jurnalis di Hamburg, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan pertandingan Sankt Pauli FC melawan SV Sandhausen di Stadion Millerntor, markas St. Pauli.

Menurut saya, St. Pauli adalah klub yang wajib diketahui bagi para penggila bola.

Nick C. Davidson dalam Pirates, Punks & Politics: FC St. Pauli: Falling in Love with a Radical Football Club (2014) mengatakan St. Pauli memang kalah populer dibandingkan klub tetangganya Hamburger SV.

“Dalam banyak hal, hubungan antara HSV dan FC St. Pauli serupa dengan distrik St. Pauli dan kota Hamburg,” ujar Davidson dalam bukunya.

Hamburg adalah kota modern dan kaya raya di Jerman. Menurut data European Commission, Hamburg adalah kota dengan daya beli per penduduk tertinggi di Jerman dan menempati posisi ketiga di Eropa, di bawah London dan Luksemburg. Sedangkan distrik St. Pauli adalah kawasan miskin di Jerman Barat.

“Jika HSV memiliki silsilah dan darah biru aristokrasi Bundesliga yang mengalir, maka FC St. Pauli adalah saudara kandung yang paling rendah, yang terusir dari dunia dan dibiarkan berjuang sendiri. Mereka hanya sesekali dianggap di pertemuan keluarga, berpakaian tidak pantas, berperilaku rasis, hanya untuk mengingatkan kepada 'si abang' bahwa mereka itu ada,” kata Davidson.

Mungkin memang benar St. Pauli tak begitu populer. Ketika saya riang bercerita akan pergi ke Millerntor untuk menyaksikan St. Pauli bermain, rekan-rekan saya dari Indonesia pun mengatakan, “Apa itu klub bola St. Pauli? Apakah pertandingan yang kamu tonton itu semacam pertandingan tarkam (antar kampung)?”

Klub Progresif di “Kawasan Gelap”

Untuk sampai ke Stadion Millerntor, markas sepakbola kebanggaan penduduk distrik St. Pauli, hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit berjalan kaki dari kawasan Reeperbahn, pusat hiburan malam kota Hamburg.

Pertandingan mulai pukul 13.30 waktu Hamburg. Saya sedikit was-was saat berjalan, sebab daerah itu seperti kota mati. Belum banyak kafe, bar, pertokoan, dan tempat hiburan malam lainnya yang buka. Jalan-jalan sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang “asyik” berteriak-teriak di jalan sambil mabuk, ada yang bergerombol, ada pula yang berjalan sendirian.

Pertandingan St Pauli vs Sandhausen

Logo St. Pauli FC di depan Stadion Millerntor, Hamburg. tirto.id/Widia Primastika

“Saya perempuan dan pendatang, bagaimana jika ada yang menguntit?” kalimat itu menghantui saya selama perjalanan.

Atmosfir mencekam yang saya temui di setiap ujung gang kawasan St. Pauli berubah drastis ketika saya menginjakkan kaki di Millerntor. Stadion terlihat jelas dari jarak 200 meter berkat logo besar “St. Pauli 1910” berwarna cokelat-putih. Ribuan penonton bergaya punk memadati stadion.

Khawatir kehabisan tiket, saya bergegas menuju loket. Mulanya saya sempat kecewa karena tak bisa mendapat tiket di tribun berdiri dan terpaksa menonton di tribun duduk bagian utara, sebab tiket berdiri hanya dijual online dan untuk anggota klub. Saya kira awalnya saya tidak akan bisa merasakan kekompakan para pendukung fanatik St. Pauli. Rupanya saya keliru.

Seluruh sisi stadion Millerntor berisi pendukung St. Pauli. Nyaris tak ada tempat bagi pendukung Sandhausen di stadion berkapasitas 29.546 orang itu. Jika dibandingkan dengan penduduk St. Pauli yang hanya berjumlah 27 ribu jiwa, saya jadi paham mengapa jalanan sepi. Penduduk St. Pauli rupanya sedang berkumpul di Millerntor.

Meski bukan klub divisi satu Bundesliga, tapi St. Pauli punya kekuatan suporter yang luar biasa. Davidson mengatakan, para suporter rata-rata adalah kelas pekerja di Hamburg, pekerja seks di kawasan St. Pauli, atau pendatang.

Mereka memang salah satu klub bola di Jerman yang punya suporter fanatik dan barangkali terbesar di Jerman, meski klub itu punya aturan bagi pendukungnya: “Tidak ada tempat bagi Homofobia, Fasisme, Seksisme, Rasisme”. Prinsip yang tampaknya sederhana, tapi sulit dilakukan, dan nyaris tak bisa ditemukan di klub-klub Eropa lainnya, termasuk tim tetangga, Hamburger SV, yang dianggap sebagai klub kapitalis di Hamburg.

Kekompakan mereka sangat terasa sejak saya berkeliling stadion sembari menunggu pertandingan dimulai, para suporter menggelar sejumlah lapak kaki lima untuk menjual pernak-pernik tak resmi dari St. Pauli. Uang penjualan itu dipakai untuk donasi bagi para pendukungnya, seperti mengongkosi perjalanan ke pertandingan tandang.

Udara dingin Hamburg saat itu (sekitar 10o celcius) menjadi hangat setelah lagu “Das Herz von St. Pauli” dari Phantastix & Elf berkumandang di stadion, lagu pembuka untuk pertandingan St. Pauli. Kecemasan saya akan “sendiri” pun perlahan hilang. Saya merasa menjadi bagian dari mereka.

St. Pauli memang kawasan bisnis gelap di Hamburg, kota pelabuhan yang sibuk di Jerman. Kesuraman wajah dari St. Pauli tergambar dari logo tengkorak dan tulang bersilang yang jadi aksesoris kebanggaan para suporter. Tapi kengerian itu tak nampak di stadion. Para suporter St. Pauli pun bersikap ramah kepada saya, termasuk Markus dan pasangannya, dua penduduk St. Pauli yang sempat menawari saya dan orang lain di sekitarnya untuk minum bir bersama saat para pemain sedang turun minum.

“Apa kamu mau ikut beli bir? Kita bisa cheers untuk klub kebanggaan kita,” ujar Markus.

St. Pauli unggul 2-0 atas Sandhausen sejak babak pertama hingga pertandingan usai. Finn Ole Becker dan Viktor Gyökeres menjadi penyumbang gol untuk mereka di menit ke-8 dan ke-45+1.

Dukungan Kuat Bagi LGBT-QI

Selain anti rasisme, pendukung St. Pauli juga konsisten menyuarakan kesetaraan sosial, termasuk dukungan kepada kaum LGBT-QI. Dukungan itu terlihat dari bendera pelangi yang dikibarkan para suporter, sejajar dengan bendera berlogo tengkorak dan bendera coklat-putih.

Pertandingan St Pauli vs Sandhausen

Salah satu sisi dinding di Stadion Millerntor bercat pelangi. tirto.id/Widia Primastika

Tak hanya itu, logo St. Pauli yang ditampilkan di videotron stadion pun dilatari bendera pelangi. Salah satu tembok di bawah tulisan Millerntor Stadion juga dicat pelangi. Di beberapa sudut stadion, suporter memasang tulisan, “Football has no gender” sebagai tanda perlawanan terhadap seksisme. Ban kapten pun berwarna pelangi.

Situs resmi St. Pauli menuturkan bahwa para suporter St. Pauli dengan kompak membela Corny Littmann, presiden Klub St. Pauli (2002-2010), yang menjadi sasaran orang-orang homofobik. Corny Littmann adalah seorang gay yang pertama kali coming out di dunia sepakbola Jerman. Bendera pelangi memenuhi stadion Millerntor saat pertandingan kandang untuk melawan diskriminasi itu.

“Ini soal membela pria kecil itu [sang Presiden klub]. Membela apa yang kau yakini,” tulis Josh Ferry Woodard.

Protes para pendukung St. Pauli terhadap klub-klub homofobik pun tak main-main. Mereka tak malu memasang bendera pelangi dengan logo tengkorak milik St. Pauli FC di rumah-rumah mereka. Apalagi jika lawan main mereka adalah klub-klub homofobik atau golongan kanan.

Saat pertandingan pada akhir September kemarin pun, beberapa kali saya melihat orangtua datang bersama anak mereka dengan mengenakan baju St. Pauli berwarna pelangi.

Infografik St Pauli

Infografik St Pauli. tirto.id/Fuadi

Bahkan saat saya berbelanja di toko resmi pendukung St. Pauli, ada satu desain kaos yang mereka jual seharga 24,95 euro, tapi 3 euro dari hasil penjualan itu mereka pakai untuk donasi kepada pengungsi queer.

Selain memerangi homofobik, Woodard menulis bahwa para fans pernah beramai-ramai mengecam iklan dari majalah pria Maxim yang ada di stadion karena telah berlaku seksis terhadap perempuan.

Lirik “Das Herz von St. Pauli” berbunyi:

Das Herz von St. Pauli

(Jantung St. Pauli)

Das ist meine Heimat,

(Itulah rumahku)

In Hamburg, da bin ich zu Haus.

(Di Hamburg, kampung halamanku)

St. Pauli, die Freiheit

(St. Pauli adalah kemerdekaan)

Das liegt uns so im Blut

(Itulah yang mengalir di darah kita)

Para pendukung klub ini bisa nyaman menjadi diri mereka sendiri tanpa diskriminasi. Karena bagi mereka, klub ini adalah rumah yang nyaman, termasuk bagi kelompok terpinggirkan, tak hanya di Jerman saja, tapi di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA EROPA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Olahraga
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Windu Jusuf