Menuju konten utama

Larangan Unjuk Rasa saat Pelantikan Jokowi Dikritik Mahasiswa

Beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda mengkritik kebijakan Polda Metro Jaya yang memutuskan tidak akan menerbitkan perizinan demonstrasi hingga Jokowi dilantik.

Larangan Unjuk Rasa saat Pelantikan Jokowi Dikritik Mahasiswa
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di sekitaran Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Dalam aksinya mereka menolak RUU KUHP dan UU KPK yang telah direvisi. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda mengkritik kebijakan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya yang memutuskan tidak akan menerbitkan perizinan penyampaian aspirasi (unjuk rasa) mulai Rabu (15/10/2019) sampai Minggu (20/10/2019).

Tujuannya agar menjaga situasi kondusif hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada 20 Oktober nanti.

Salah satunya dari Badan Eksekutif Mahasiswa UPN Veteran Jakarta (BEM UPNVJ), yang juga merupakan bagian dari BEM SI. Kepala Kajian Aksi Strategis BEM UPNVJ, Dzuhrian Ananda, menilai bahwa pihak kepolisian tak memiliki kewenangan dalam melarang unjuk rasa.

"Terkait pelarangan kepolisian, polisi itu kan sekarang posisinya bukan untuk mengizinkan. Karena balik lagi, surat ke kepolisian hanya pemberitahuan yang mana berguna untuk mereka pengamanan," kata Dzuh saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (15/10/2019) malam.

Menurut Dzuh, jika pihak kepolisian enggan melakukan pengamanan lewat surat itu artinya unjuk rasa tetap boleh ada. Mengingat itu hanya surat pemberitahuan.

"Kalau mereka melarang, tidak mengizinkan, pertanyaannya mereka siapa? Karena mereka hanya mengamankan jalannya penyampaian pendapat di muka umum. Untuk kawan-kawan yang lain, yang ingin turun ke jalan, tetap turun dan menjaga kondusivitas. Biar fokus enggak kepecah lagi," lanjutnya.

Hal senada juga dikatakan Ketua Umum Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Yusri Mas'ud. Ia menilai pelarangan unjuk rasa oleh pihak kepolisian tak memiliki dasar hukum sama sekali.

"Polisi tidak punya hak untuk melarang organisasi atau lembaga untuk unjuk rasa. Pernyataan bahwa polisi melarang untuk unjuk rasa sebelum sampai pelantikan presiden dan wakil presiden, tidak ada dasar hukumnya. Jadi, kawan-kawan yang hendak melakukan unjuk rasa seharusnya tetap unjuk rasan yang penting tidak anarkis," katanya.

Ketua Umum Nasional Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Ade Irwan, menilai kebijakan pihak kepolisian tersebut akan menjadi salah satu kebijakan mengaburkan esensi demokrasi.

Ade menuding bahwa kebijakan pelarangan unjuk rasa tersebut untuk menahan akumulasi kemarahan masyarakat sipil dan mahasiswa atas berbagai rencana perubahan kebijakan yang tak pro rakyat dari pemerintah untuk sementara waktu.

"Karena kalau tidak ada tekanan politik dari kaum muda, masyarakat sipil, dan mahasiswa di hari-hari menuju pelantikan maka dapat dipastikan selesai pelantikan presiden, semua perubahan kebijakan yang ditunda kemarin akan disahkan dan Perppu KPK pun tak akan dikeluarkan," katanya.

Ade menilai kebijakan pelarangan tersebut akan menghambat pendewasaan dan kemajuan demokrasi yang lebih berkualitas bagi segenap warga negara. Kebijakan pelarangan tersebut, kata Ade, memungkinkan legitimasi pihak kepolisian melakukan kriminalisasi, bahkan mencabut nyawa, massa aksi seperti aksi-aksi sebelumnya.

"Usaha kepolisian mengkerdilkan hak berdemokrasi dan pembungkaman demokrasi bagi rakyat di hari-hari menuju pelantikan presiden dan wakil presiden, merupakan hal yang konyol, brutal, dan cacat sejak dalam pikiran bagi kami. Karena menyampaikan aspirasi dan demonstrasi itu adalah hak batin dikarenakan hak lahir kami sebagai warga negara tidak diberikan oleh pemerintah," katanya.

"Dengan kebijakan itu, tetap kami lawan dengan aksi-aksi kecil munuju aksi akbar rakyat bulan ini," lanjutnya.

Polda Metro Jaya memutuskan tidak akan menerbitkan perizinan dari Rabu hingga Minggu untuk menjaga situasi kondusif hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Hal itu disampaikan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Gatot Eddy Purnama usai rapat koordinasi antara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan aparat keamanan, baik dari Komando Daerah Militer (Kodam) Jayakarta, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kepolisian Republik Indonesia.

"Kami akan memberlakukan mulai besok sampai 20 Oktober. Kalau ada pihak yang mau memberitahukan terkait unjuk rasa, kami akan memberi diskresi tidak akan memberikan perizinan. Tujuannya agar kondisi tetap kondusif," ujar Kapolda, di Jakarta, Senin (14/10/2019), seperti dilansir dari Antara.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia dan BEM Nusantara sebelumnya berencana menggelar unjuk rasa pada tanggal tersebut jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu/Perpu KPK) belum diterbitkan. Jika hal itu dilakukan, maka polisi memastikan aksi tersebut berlangsung tanpa izin (ilegal).

Hal itu ditegaskan oleh Panglima Kodam Jayakarta Mayor Jenderal TNI Eko Margiyono sesuai dengan pemberitahuan dari pihak Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya.

"Kalau ada yang unjuk rasa, itu adalah bahasanya ilegal. Oleh karena itu kami sudah menyiapkan parameter yang sudah disiapkan di sekitaran gedung DPR/MPR ini. Kami sudah buat pengamanan seperti saat menghadapi unjuk rasa beberapa hari lalu. Tidak ada yang spesifik," ujar Mayjen Eko.

Pelantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden rencananya akan digelar pada Minggu, 20 Oktober 2019 pukul 14.30 WIB. Ketua MPR Bambang Soesatyo sudah memastikan rencana pelantikan tersebut.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri