Menuju konten utama

Larangan Rayakan Valentine di Sekolah Tak Selesaikan Masalah Sosial

Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok, M. Thamrin beralasan bahwa hari valentine bukanlah bagian dari budaya Indonesia, sehingga sepatutnya tidak dirayakan.

Siswa SMP Muhammadiyah 2 Surabaya memegang poster saat mengikuti aksi stop peringatan Hari Valentine di Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/2). Mereka mengajak masyakat untuk tidak merayakan Hari Valentine yang diperingati setiap 14 Februari tersebut karena dinilai bukan budaya Indonesia. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/kye/17

tirto.id - Perayaan hari valentine atau hari kasih sayang yang rutin jatuh tiap 14 Februari mendapat penolakan di berbagai daerah, salah satunya di Depok.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok, M. Thamrin melarang murid SD, SMP dan SMA sederajat untuk tidak merayakan valentine.

Thamrin mengaku memang tidak mengeluarkan surat edaran terkait pelarangan tersebut, namun ia tetap mengingatkan kepada kepala sekolah masing-masing untuk mentaati hal tersebut.

"Kami tidak mengeluarkan surat edaran ya. Memang setiap tahun [di Depok] ada larangan seperti itu. Keadaan sekolah sudah biasa, tidak merayakan," ujarnya kepada Tirto, Kamis (14/2/2019).

Ia beralasan bahwa hari valentine bukanlah bagian dari budaya Indonesia. Sehingga sepatutnya tidak dirayakan.

"Kalau bukan budaya Indonesia, yah tidak perlu dirayakan juga," tuturnya.

Senada dengan Depok, Kota Malang juga melarang kepada sekolah untuk merayakan valentine. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Kepada Dina Pendidikan Kota Malang, Zubaidah.

"Di sekolah sebaiknya tidak merayakan valentine," ujarnya kepada Tirto, Kamis (14/2/2019).

Kendati demikian ia, enggan menjelaskan alasannya kenapa pelarangan itu diterapkan.

"Yang jelas mengimbau kepada kepala sekolah agar sekolah tidak usah mengadakan valentine," tuturnya.

Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan justru bingung dengan adanya pelarangan hari valentine yang dikeluarkan untuk sekolah-sekolah. Menurutnya hal tersebut tidak menjelaskan permasalahan sosial apapun.

"Pelarangan atas perayaan valentine itu tidak menjelaskan atau mengatasi masalah sosial apapun," ujarnya kepada Tirto, Kamis.

Menurutnya, pelarangan valentine justru menguatkan konservatisme yang ada di Indonesia, khususnya dunia pendidikan.

"Karena hampir seluruh pelarangan itu disandarkan pada argumentasi-argumentasi simbolik keagamaan," ujarnya.

Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang juga menilai pelarangan hari valentine di sekolah adalah bentuk kekhawatiran yang berlebihan.

"Soal valentine itu tergantung sekolah atau anaknya saja. Karena ada anak yang menganggap itu sebagai sesuatu yang fun, bukan menjadi suatu keyakinan," ujarnya kepada Tirto, Kamis sore.

Menurutnya sekolah tidak perlu khawatir karena pada akhirnya murid-murid akan bisa menilai sendiri makna valentine tersebut.

Ia juga mengatakan, murid yang merayakan valentine itu sah-sah saja sebagai bentuk ekspresi diri. Selama memang tidak berlebihan. Ia memberikan contoh, semisalnya dirayakan dengan pesta berskala besar-besaran dan melibatkan minuman keras.

"Namun kalau hanya mengungkapkan kasih sayang kepada sahabat, keluarga atau siapapun. Tidak perlu dikhawatirkan," tandasnya.

Baca juga artikel terkait VALENTINE atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
-->