Menuju konten utama

Larangan Ekspor Bijih Nikel Amanat UU, Enggar Tak Perlu Keberatan

Enggar diminta tak perlu risau soal larangan ekspor bijih nikel. Sebab, hilirisasi pertambangan yang diamanatkan UU Minerba justru akan memberikan keuntungan lebih.

Larangan Ekspor Bijih Nikel Amanat UU, Enggar Tak Perlu Keberatan
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjawab pertanyaan anggota Komisi VI DPR saat rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/2). Rapat tersebut membahas rencana program kerja Kementerian Perdagangan tahun 2017 dan jaminan pasokan serta stabilitas harga barang. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengeluh karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ingin mempercepat penerapan larangan ekspor bijih nikel atau ore. Enggar menilai kebijakan yang dipercepat dari target 2022 ini mengganggu karena bisa memangkas nilai perdagangan sampai 4 miliar dolar AS kalau ekspor ore benar-benar dibatasi.

“Kalau dari kacamata perdagangan, kalau dibatasi segera ekspor (biji nikel) kita akan terganggu 4 miliar dolar AS. Juga dari industri lain yang dalam proses,” ucap Enggar dalam paparannya di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada Jumat (9/8/2019).

“Dari kacamata saya ekspor akan terganggu,” tegas Enggar.

Meski demikian, Enggar mengaku memahami jika kebijakan Kementerian ESDM ini ditujukan untuk mendorong hilirisasi di sektor pertambangan. Apalagi larangan ekspor ore ini diamanatkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

Hal ini berdasarkan Pasal 103 ayat (1) yang mengamanatkan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki rencana untuk menutup ekspor ore pada 2022. Ini bersamaan dengan target penyelesaian pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter.

Belakangan kebijakan ini dimajukan dan diproyeksikan berlaku pada 2021. Dengan demikian perusahaan mineral yang memproduksi nikel hanya memiliki waktu sampai 2021 untuk melakukan ekspor ore.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, pada Senin, 12 Agustus 2019 sempat mengatakan bahwa larangan ini pasti akan dipercepat pemberlakuannya. Bahkan soal dampak stok nikel akan berlebih dalam negeri, Luhut yakin industri mampu menyerapnya.

Namun, pada Selasa (13/8/2019) usai mengikuti rapat di istana negara, Luhut tampak menahan diri. Kepada para pewarta di Senayan Jakarta Convention Center (JCC), ia tak mau blak-blakan lagi meski ia yakin betul bila pelarangan ekspor ore ini bisa berdampak positif bagi investasi di sektor hilirisasi mineral.

Luhut mengatakan bijih nikel yang tidak diolah hanya dihargai minimal 36 dolar AS. Sedangkan jika sudah diolah menjadi fero nikel, maka harga komoditas ini minimal meningkat menjadi 6 kali lipatnya.

“Kita lihat saja keputusan presiden beberapa waktu ke depan. Tapi seperti saya jelaskan dalam keadaan tradewar kita perlu menarik investasi sebanyak mungkin,” ucap Luhut.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan hilirisasi memang sepatutnya segera dilakukan.

Sebab, kata Bhima, selama ini kinerja ekspor Indonesia masih terlampau bergantung pada komoditas. Meskipun mampu menahan defisit neraca perdagangan seminimal mungkin, tapi Bhima melihat itu tidak cukup berkelanjutan.

“Hilirisasi sektor pertambangan ini, kan, strategis dan selama ini memang ketika menjual mentah terus sementara nilai tambah yang dihasilkan tidak optimal. Ini justru menggerogoti neraca perdagangan kita dalam jangka panjang,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (14/8/2019).

Bhima mengatakan bila ekspor bijih nikel ini dilarang memang akan berdampak pada kinerja ekspor. Namun, ia mengingatkan hal ini seharusnya tidak dijadikan alasan karena selama ini industri hilir Indonesia cukup mandek.

Jika dihitung dengan cermat, porsi ekspor nikel dari total non-migas Indonesia yang mencapai 180 miliar dolar AS di tahun 2018 hanya 0,348 persen setara 628 juta dolar AS. Kalau pun digabung dengan ekspor konsentrat dan olahan, nilainya mentok di angka 790,5 juta dolar AS.

Dengan demikian, kehilangan ekspor bijih nikel belum tentu membuat neraca perdagangan Indonesia semakin tekor.

Apalagi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia di awal tahun, senilai 3,7 persen juga belum tentu masih berlaku. Sebab, per Juli 2019, IMF telah memangkas pertumbuhan ekonomi dunia di angka mencapai 3,2 persen. Alhasil pertumbuhan permintaan barang non-migas yang seharusnya menguat 0,3-3,9 persen masih bisa terkoreksi lagi.

Lagi pula, kata Bhima, bila nikel Indonesia dapat diolah dulu, maka produk ini akan dicari perusahaan-perusahaan teknologi seperti semikonduktor, smartphone, sampai komputer. Kuantitasnya, kata Bhima, dibutuhkan cukup besar.

“Jadi kita jangan kalah dengan kebijakan jangka pendek yang menyengsarakan Indonesia dalam jangka panjang karena ekspornya tidak berkualitas. Kita harusnya sudah melakukan hilirisasi dari dulu dan itu enggak bisa ditawar lagi,” ucap Bhima.

Direktur Center For Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus) Budi Santoso sepakat bahwa konsep hilirisasi ini perlu didorong. Selain diamanatkan UU Minerba, Budi menyatakan, jika hilirisasi bisa dilakukan, maka efek yang dirasakan bagi masyarakat akan lebih besar.

“Konsep hilirisasi memang harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Jangan sampai yang menikmati asing dan sumber daya terkuras, tapi ekonomi tidak beranjak naik,” ucap Budi saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (14/8/2019).

Akan tetapi, Budi mengatakan pemerintah terutama Kementerian ESDM perlu menjamin bahwa ke-34 [versi ESDM 35] fasilitas pengolahan dan peleburan logam atau smelter nikel harus sudah beroperasi pada 2022. Tepatnya ketika larangan ekspor sudah resmi diberlakukan.

Sebab, kata Budi, perusahaan-perusahaan pemilik 34 smelter yang ditargetkan selesai pada 2022 itu masih menikmati pendapatan dari ekspor bijih nikel. Untuk hal ini, Budi mengingatkan pemerintah untuk benar-benar menjamin realisasinya agar hilirisasi yang dituju tidak terbatas sekadar jargon.

“Di atas kertas ESDM seolah-olah menjamin smelter akan berproduksi di tahun 2022, tetapi secara praktis masih bisa diragukan,” ucap Budi.

Kementerian ESDM memang masih mendorong para pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) untuk merampungkan pembangunan smelter hingga 2022. Rencananya, akan ada 57 smelter yang akan beroperasi seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah (ore) pada 2022.

Namun, hingga 2018, kata Direktur Jendral Minerba Bambang Gatot Ariyono, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi, 13 di antaranya merupakan smelter nikel.

“13 perusahaan sudah jalankan smelter nikel (per-Desember 2018). 22 sedang direncanakan, jadi totalnya untuk nikel ada 35. Nikel ini merupakan yang paling maju dari logam lain, penyediaan bahan baku dari industrialisasinya sudah besar,” kata Gatot.

Baca juga artikel terkait EKSPOR NIKEL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz