Menuju konten utama

Laporan Keuangan Garuda Diduga Dimanipulasi, Siapa Tanggung Jawab?

Laporan keuangan Garuda Indonesia 2018 menuai kontroversi setelah dua komisarisnya mempermasalahkannya.

Laporan Keuangan Garuda Diduga Dimanipulasi, Siapa Tanggung Jawab?
sebuah pesawat jet Boeing 737 Garuda Indonesia diparkir di apron di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Indonesia. AP / Dita Alangkara

tirto.id - Polemik laporan keuangan PT Garuda Indonesia (GIAA) terus berlanjut. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku otoritas pasar modal bahkan sampai melayangkan surat pemanggilan bagi manajemen Garuda Indonesia untuk dimintai penjelasan terkait laporan keuangan tersebut.

Selaku otoritas pasar modal, BEI jelas punya kepentingan menjaga kredibilitas kinerja perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan pertemuan antara BEI dengan Garuda akan digelar Selasa (30/4/2019).

“Jadi besok ketemu jam 08.30 WIB. Kalau kami minta, kan, pasti dari direksi mereka akan hadir tapi sampai saat ini mereka belum menyampaikan siapa saja yang hadir,” kata Gede usai menghadiri acara di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Senin (29/4/2019).

Selain itu, kata Gede, BEI juga memanggil auditor yang memeriksa laporan keuangan Garuda Indonesia, yakni Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan yang merupakan anggota dari BDO International.

“Iya confirm, yang datang juga dari auditornya,” kata Gede.

Analis pasar modal dari Samuel Sekuritas, Muhammad Alfatih berpandangan, wajar saja sengkarut laporan keuangan Garuda Indonesia ini sampai menyita perhatian otoritas bursa. Sebab, kata dia, kondisi ini sangat mungkin memengaruhi kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Alfatih menyoroti soal panjangnya durasi kerja sama antara Garuda Indonesia dan PT Mahata Aero Teknologi. Alasannya, kata dia, piutang yang sudah dicatat sebagai pendapatan memang bisa berdampak pada membaiknya kinerja perusahaan 'di atas kertas'.

Namun, kata Alfatih, jika dalam perjalanan 15 tahun itu realisasi kerja sama tak berjalan sesuai rencana, maka bukan tidak mungkin Garuda Indonesia bakal kembali mencatat rugi.

“Bagaimanapun kuatnya kontrak, tetap saja kontrak itu bisa gagal. Jadi bisa saja risiko. Pendapataan yang sudah dicatatkan, tapi belum terealisasi bisa saja kemudian akhirnya batal. Itu, kan, bisa menjadi satu kerugian yang mendadak dicantumkan juga buat laporan keuangan,” kata dia kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Jumat (26/4/2019).

Polemik ini berawal dari penolakan dua komisaris perseroan, yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.

Keduanya mencurigai transaksi yang berkontribusi besar terhadap kondisi keuangan Garuda dari rugi besar menjadi untung hanya dalam 3 bulan. Transaksi yang dicurigai itu adalah Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia, pada 31 Oktober 2018.

Dari perjanjian itu, pendapatan GIAA dari Mahata sebesar 239,94 juta dolar AS yang di antaranya sebesar 28 juta dolar AS merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sri Wijaya Air. Menurut kedua komisaris, seharusnya catatan transaksi itu tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018. Apalagi, durasi kerja samanya cukup panjang yakni mencapai 15 tahun.

Hal senada diungkapkan ekonom Indef, Bhima Yudhistira. Ia menilai meskipun Garuda dan Mahata telah menjalin kontrak kerja sama dan telah menetapkan proses pembayaran atas transaksi kerja sama itu, namun tak serta merta transaksi tersebut dilaporkan sebagai pendapatan.

Bima menegaskan, kondisi ini jelas akan menimbulkan kerugian bagi pemerintah. Sebab, kata dia, bila Garuda benar-benar untung, harusnya pemerintah bisa memperoleh pendapatan dari pajak penghasilan (PPh).

“Pajak yang sebelumnya disetor ke pemerintah karena Garuda catat laba bisa dipermasalahkan. Karena Garuda faktanya rugi, jadi enggak bayar PPh," jelas Bhima.

Untuk itu, Bhima menyarankan agar otoritas seperti BEI dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit mendalam untuk menjawab kecurigaan yang ada. Bhima bahkan menyarankan dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) untuk membahas kembali laporan keuangan Garuda yang dianggap janggal itu.

Hasil audit, kata Bhima, akan sangat menentukan, benarkah Garuda Indonesia untung? Sebab, kata Bhima, jika tidak untung, maka bisa dianggap manajemen perusahaan dengan sengaja telah memanipulasi laporan keuangan untuk memengaruhi pemegang saham.

“Hukumannya bisa perdata, dan jika disengaja sampai timbulkan kerugian ke pemegang saham bahkan bisa dikategorikan fraud dan masuk pidana,” kata Bhima.

Bhima menambahkan “sanksi hukum bagi pihak atau oknum yang melakukan fraud dan merugikan pihak lain bisa dilakukan secara perdata atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata,” kata dia.

Menurut Bhima, pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini adalah akuntan yang mengesahkan laporan serta Direktur Keuangan Garuda selaku pihak yang menyusun laporan keuangan tersebut.

Dalih Garuda Soal Laporan Keuangan

Terkait masalah ini, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Fuad Rizal akhirnya angkat bicara. Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, ia mengklaim perusahaannya tidak melanggar Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23 karena secara subtansi pendapatan dapat dibukukan sebelum kas diterima.

“PSAK 23 menyatakan kategori pengakuan pendapatan yaitu penjualan barang, penjualan jasa dan pendapatan atas bunga, royalti dan dividen di mana seluruhnya menyatakan kriteria pengakuan pendapatan yaitu pendapatan dapat diukur secara handal, adanya manfaat ekonomis yang akan mengalir kepada entitas dan adanya transfer of risk,” kata Fuad, Senin (29/4/2019).

Fuad meyakinkan semua pihak agar tak perlu curiga dengan laporan keuangan Garuda. Apalagi, kata dia, auditor yang memeriksa laporan keuangan Garuda, yakni Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan merupakan anggota dari BDO International.

Namun demikian, Ketua Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Cris Kuntandi mengatakan, bisa saja hasil audit yang dilakukan auditor salah.

Menurut dia, banyak faktor yang bisa terjadi dalam proses pemeriksaan sehingga membuat hasil audit salah. Misalnya, tidak lengkapnya data yang disajikan perusahaan yang bersangkutan, atau bisa juga kesalahan penyajian data keuangan sehingga mengakibatkan kesimpulan audit yang disusun menjadi salah.

“Kalau standar akuntansinya, [biasa] standar akuntansi Indonesia. Auditornya juga KAPI Indonesia yang punya afiliasi dengan lembaga audit yang punya standar internasional. Kalau soal kemungkinan [salah] ada. Terutama si auditor itu melakukan audit sesuai dengan standar auditornya,” kata Cris saat dihubungi reporter Tirto, Senin (29/4/2019).

Namun, kata Cris, seperti apa pun bentuk laporan keuangan, hal tersebut merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan.

“Artinya ketika, auditor yang menyajikan laporan keuangan, kemudian auditor itu memeriksa, kemudian ternyata ada kesalahan itu dilihat. Itu dari pihak mana? Apakah perusahaan yang belum menyampaikan semua lampiran informasi atau KAP yang salah dalam mengaudit,” kata Cris.

Karena itu, kata Cris, untuk menjawab kecurigaan perihal kesalahan dalam proses audit yang dilakukan, maka jalan satu-satunya memang adalah dilakukan audit ulang.

Jika kecurigaan tersebut terbukti, kata Cris, maka bukan tidak mungkin kesimpulan audit yang sudah diterbitkan diubah atau dalam istilah akuntansi lebih dikenal dengan sebutan re-statmen.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz