Menuju konten utama

Laporan Kekejian Israel Pada Palestina yang Dibungkam PBB

Laporan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) mengungkapkan bahwa Israel memberlakukan rezim apartheid terhadap warga Palestina. Laporan ini ditolak PBB.

Laporan Kekejian Israel Pada Palestina yang Dibungkam PBB
Aktivis Palestina dengan mengenakan cadar, melakukan aksi protes terhadap Israel di pantai utara, Durban, menjelang Apartheid Week Israel (IAW) pada Maret 2013 di Afrika Selatan. Foto/AFP/Getty Images/Rajesh Jantilal.

tirto.id - Tepat 14 tahun lalu, bulldozer milik tentara Israel (IDF) melindas tubuhnya yang gigih melawan penindasan Israel terhadap warga Palestina. Saat itu, 16 Maret 2003, ia bersama rekan-rekan seperjuangannya sedang melawan penggusuran pemukiman warga Palestina di Rafah, Gaza, Palestina.

Dengan gagah berani, ia menghalangi proses penggusuran yang dilakukan Israel. Namun bulldozer yang menggusur pemukiman Palestina bukannya berhenti tetapi malah menabrak dan melindasnya hingga tewas. Sejak kecil, ia sudah bermimpi untuk dapat menolong sesama, terutama bermimpi bisa menolong anak-anak yang kelaparan.

Ketika di bangku kelas 5 SD, ia sudah berani berpidato mengenai mimpi-mimpinya untuk menolong yang kelaparan, yang tertindas dan membuat anak-anak di dunia kembali tersenyum. Ketika dewasa, ia bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi kemanusiaan untuk menolong sesama, dan Palestina adalah medan perjuangannya.

Hingga pada akhirnya ia harus menyerahkan nyawanya demi Palestina. Ia dianggap sebagai pahlawan bahkan syuhada oleh warga Palestina. Yasser Arafat pun menganggap sosoknya sebagai perempuan Palestina pemberani, meskipun ia merupakan warga keturunan Yahudi Amerika.

Ia adalah Rachel Aliene Corrie, perempuan berkebangsaan Amerika Serikat. Rachel adalah pegiat HAM dan aktivis dari International Solidarity Movement (ISM). Rachel hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang mencoba melawan kekejaman Israel terhadap warga Palestina.

Penderitaan warga Palestina sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, saat Israel mulai mengokupasi tanah Palestina. Pada tahun 1917 hingga 1939 baru 3 persen wilayah yang dikuasai Yahudi. Saat itu Inggris memfasilitasi Yahudi dari Eropa untuk pindah ke Palestina pada 1920 an hingga 1930an.

Yahudi terus membanjiri Palestina sehingga yang sebelum hanya 3 persen menjadi 33 persen dari warga Palestina pada tahun 1947. Hingga pada 14 Mei 1948 negara Israel dideklarasikan. Tentara Israel mengusir sekitar 750 ribu penduduk Palestina dan pada 1949, Israel menjadi anggota PBB.

Israel terus mengokupasi Palestina. Laporan pelanggaran HAM Israel seperti ditelan bumi. Ketegangan antara Israel dan Palestina pun berbuntut pada perang yang tentu menghancurkan kehidupan penduduk sipil. PBB sebagai organisasi internasional dan dunia internasional seakan “buta” dengan kekejaman Israel tersebut.

Hingga Rabu 15 Maret lalu, sebuah laporan yang berjudul “Israeli Practices towards the Palestinian People and the Question of Apartheid” yang diterbitkan oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) di Beirut dianggap sebagai laporan pertama sebuah badan PBB yang bertindak tegas terhadap Israel.

Laporan ESCWA mengungkapkan Israel telah memberlakukan rezim apharteid dengan melakukan diskriminasi rasial terhadap warga Palestina. Laporan tersebut menganalisis secara rinci dari undang-undang Israel, kebijakan dan praktek" yang menyoroti bagaimana Israel mengoperasikan rezim apartheid, termasuk melalui rekayasa demografi.

Warga Palestina oleh Israel digambarkan sebagai sasaran penindasan atas dasar tidak ingin menjadi Yahudi, menurut laporan tersebut. Rakyat Palestina tertindas melalui hukum, kebijakan dan praktik yang berbeda.

Israel juga menggunakan strategi fragmentasi warga Palestina sejak tahun 1967. Mereka membagi menjadi empat kelompok yakni warga Israel keturunan Palestina, orang Palestina di Yerusalem Timur, orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta orang Palestina yang hidup sebagai pengungsi atau di pengasingan.

Sekitar 1,7 juta warga Israel adalah orang Palestina. Menurut laporan ESCWA, mereka ditindas, pekerjaan mereka dibatasi termasuk peluang-peluang dalam profesi mereka. Selain itu, sekitar 300 ribu orang Palestina di Yerusalem Timur dilaporkan mengalami diskriminasi dalam akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, tempat tinggal dan hak bangunan, serta pengusiran dan rumah mereka dihancurkan.

Keturunan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza juga diatur oleh hukum militer sedangkan pemukim Yahudi diatur oleh hukum sipil Israel. Sekitar 4,7 juta warga Israel berdarah Palestina mendiami Tepi Barat dan 1,9 juta berada di Jalur Gaza.

Kekejaman Israel tak hanya itu menurut laporan ESCWA. Jutaan pengungsi Palestina dilarang kembali ke rumah mereka di Israel dan wilayah Palestina yang sudah diduduki atas dasar bahwa mereka merupakan 'ancaman demografi'.

Laporan ini juga merekomendasikan agar PBB kembali menghidupkan Special Committee against Apartheid dan United Nations Centre Against Apartheid. ESCWA juga akan menunjukkan laporan ini kepada Mahkamah Internasional.

INFOGRAFIK LAPORAN REZIM APARTHEID

Kekejaman Israel juga pernah dikritik oleh Rabbi Ahron Cohen, pemimpin Masyarakat Yahudi di Inggris. Ia mengungkapkan bahwa pendudukan wilayah Palestina bertentangan dengan Hukum Internasional. Agama juga tak mengizinkan adanya pertumpahan darah rakyat yang tak berdosa. Sedangkan Israel melakukan aksi itu setiap hari.

"Israel mesti berhenti, seperti rezim apartheid di Afrika Selatan." katanya, seperti dikutip Antara.

Namun, ketika Israel ditanya terkait laporan tersebut, sudah tentu pihak Israel tak mengakui perbuatan itu. Utusan Israel untuk PBB, Danny Daron bahkan mengutuk keras laporan ESCWA tersebut.

“Upaya untuk mengolesi dan pelabelan palsu kepada satu-satunya [negara] demokrasi sejati di Timur Tengah dengan menciptakan analogi yang salah adalah tercela dan kebohongan secara terang-terangan,” kata Danny kepada Al Jazeera.

AS juga menjadi negara yang mengecam laporan yang diterbitkan ESCWA tersebut. Mereka menyerukan agar PBB menarik laporan tersebut. Karena kepala penulis laporan ini adalah Richard Falk, yang dikutuk berulang kali oleh Inggris dan pemerintah lainnya karena disebut antisemitisme. Antisemitisme adalah sikap permusuhan terhadap kaum Yahudi.

Pada 2011, Falk juga dikecam oleh Sekjen PBB yang saat itu dijabat oleh Ban Ki-moon karena dalam pengembangan kasus 9/11 ia menuduh pemerintah AS yang melakukan penyerangan teror 9/11 bukan Al Qaeda.

Sedangkan Stephen M. Greenberg dari Conference of Presidents memuji kecaman yang dilancarkan AS terkait laporan ASCWA dan menegaskan komitmen AS untuk menentang prasangka anti-Israel di sistem PBB dan di dunia.

“.....Richard Falk dan Rima Khalaf adalah pemasok serial fitnah anti-Israel yang menyalahgunakan posisi resmi mereka di PBB untuk memulai serangan yang tidak benar dan keterlaluan bagi Israel,” kata Stephen.

PBB yang menjadi organisasi menaungi ESCWA pada akhirnya menolak laporan tersebut yang di dalamnya terdiri dari 18 negara Arab yang mengatakan Israel lakukan rezim apartheid. Menurut juru bicara PBB Stephane Dujarric, laporan itu diterbitkan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Sekretariat PBB.

“[Laporan] tidak mencerminkan pandangan dari sekretaris jenderal,” kata Dujarric, seperti dikutip unwatch.org.

Sehingga, jika PBB saja menolak untuk mendengar suara warga Palestina melalui laporan tersebut, lalu kepada siapa lagi warga Palestina harus mengadu?

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra