Menuju konten utama

Laporan Jurnalis Korban Kekerasan Ditolak, Polisi Tak Paham UU Pers

Polisi tampak tidak paham UU Pers. Mereka menggantung laporan kekerasan terhadap dua jurnalis, salah satunya Haris dari Tirto.

Laporan Jurnalis Korban Kekerasan Ditolak, Polisi Tak Paham UU Pers
Suasana titik tengah rel kereta api antara dua Jalan Tentara Pelajar saat pihak kepolisian dan massa bentrok, Rabu (25/9/2019) malam. tirto.id/Haris Prabowo

tirto.id - Hanya dua dari empat kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang diterima Polda Metro Jaya (PMJ). Padahal mereka semua diintimidasi polisi saat meliput demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lain menentang berbagai RUU bermasalah di DPR RI, 24 hingga 30 September 2019.

Dua jurnalis ini—Haris Prabowo (Tirto) dan Vany Fitria (Narasi)—didampingi LBH Pers dan Aliansi Jurnali Independen (AJI) Jakarta mendatangi PMJ, Jumat (4/10/2019) pekan lalu.

Erick Tanjung, dari Divisi Advokasi AJI Jakarta, yang turut mendampingi Haris dan Vany, mengatakan saat itu Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Kriminal Khusus (SPKT Krimsus) PMJ menganggap keduanya tak memiliki bukti yang kuat. Padahal Haris membawa serta bukti suara, foto, dan saksi atas kejadian yang menimpanya.

"Kami merasa itu sudah cukup untuk bukti awal," kata Erick, Senin (7/10/2019).

Haris dipiting polisi. Ia dituduh perusuh kendati sudah menunjukkan kartu pers.

Sementara Vany telepon genggamnya dirampas polisi dan belum dikembalikan hingga sekarang. Ia juga mengalami kekerasan fisik saat meliput aksi di sekitar DPR, Senayan.

Polisi, kata Erick, masih meminta bukti autentik agar laporan bisa dibuatkan. "Seharusnya untuk bukti selanjutnya itu, kan, tugasnya penyidik dalam penyelidikan. Bukan kami."

Erick enggan menyebut dua laporan jurnalis itu ditolak. Ia lebih suka menggunakan istilah dipersulit dengan mengulur-ulur waktu.

"Karena bahasa mereka, petugas SPKT Krimsus, akan dikoordinasikan dulu ke pimpinan, apakah ini bisa direkomendasikan," tegas Erick. "Aparat itu, kan, tidak boleh menolak laporan warga."

Karena itu Erick dan sejumlah tim hukum tetap berencana membuat laporan ke Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri dalam waktu dekat.

"Kami juga akan membuat laporan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI mengenai malaadministrasi," tuturnya.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan dua jurnalis lain yang laporannya diterima adalah Nibras Nada Nailufar (Kompas) dan Tri Kurnia Yunarto (Katadata). Laporan mereka teregistrasi dengan nomor LP/6371/X/2019/PMJ/Dit.Reskrimum dan LP/6372/X/2019/PMJ/Dit.Reskrimsus tanggal 4 Oktober 2019.

Pasal yang disangkakan terhadap pelaku kekerasan adalah Pasal 352 KUHP tentang Penganiayaan dan Pasal 4 Ayat (3) Jo Pasal 18 Ayat (1) tentang Penghalangan Kerja Jurnalistik, Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers.

"Laporan jurnalis Katadata [diterima] pakai pasal penganiayaan KUHP. Sedangkan yang [jurnalis] Kompas, diterima karena alasan videonya viral," kata Wahyu.

Adapun laporan Haris dan Vany, kata Ade, ditolak lantaran polisi kesulitan mengategorikan pasal atas perkara keduanya.

"Di SPKT hanya ada ruang konseling pidana umum dan khusus. Kedua konseling ini merasa tidak berwenang menangani pidana UU pers," imbuhnya.

Polisi Kebal UU Pers?

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mempertanyakan sikap polisi yang demikian. Polisi harusnya dapat bersikap tegas lantaran bertindak sebagai penegak hukum, bukan penafsir hukum.

Dan aturan yang dapat dipakai sudah jelas: UU Pers.

"Apakah UU Pers itu tak berlaku untuk anggota polisi yang menghalangi kerja pers? Apakah anggota kepolisian itu makhluk lain, sehingga UU Pers tak berlaku bagi dia?" ujar Bambang kepada reporter Tirto.

Pernyataan Bambang jelas retoris karena bunyi Pasal 18 dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 sangat terang dan jelas: "setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja-kerja jurnalistik, "dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta."

Bambang juga menilai polisi terlalu defensif menyikapi laporan para jurnalis. Dan itu menyalahi prosedur, katanya, sebab semua laporan harusnya bisa ditindaklanjuti.

"Tugas polisi bukan memutuskan benar atau salah, tetapi menjadi penyelidik dan penyidikan yang akan ditentukan pada pengadilan," tegasnya.

Jika laporan warga—dalam hal ini warwatan—ditolak, petugas SPKT bisa ditindak secara hukum, dengan cara dilaporkan ke bagian profesi dan pengamanan (propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum Polri.

"Fungsi pelayanan itu, salah satunya menerima laporan. Artinya di sini SPKT tidak menjalankan tupoksinya," terangnya.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Iwan Kurniawan enggan memberikan penjelasan soal mangkraknya laporan Haris dan Vany. Ia juga tak menanggapi pertanyaan soal jajarannya yang diduga menghambat pelaporan kedua jurnalis tersebut.

Dia hanya menegaskan dua laporan atas nama Nibras dan Tri sudah diterima.

"Laporan terkait dengan bidang tugas krimsus sudah diterima. Yang bersangkutan membuat dua LP, yang satu ditangani krimum," tuturnya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Hendra Friana