Menuju konten utama

Laode Syarif Bacakan Puisi untuk Mahasiswa yang Tewas di Kendari

Himawan Randi dan Yusuf Qardhawi merupakan dua mahasiswa yang tewas saat aksi reformasi dikorupsi di Kendari.

Laode Syarif Bacakan Puisi untuk Mahasiswa yang Tewas di Kendari
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan keterangan pers tentang penetapan tersangka kasus dugaan suap perdagangan minyak mentah dan produk kilang Pertamina Energy Service Pte. Ltd yang merupakan Subsidiary Company Pertamina di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif membacakan puisi karyanya sendiri untuk mendiang Himawan Randi. Laode membacakan puisi tersebut dalam acara peresmian Auditorium Randi-Yusuf di Gedung Pusat Antikorupsi (ACLC), Jakarta Selatan.

"Saya masih ingat itu Kira-kira jam 2 subuh. Saya menulis sesuatu tentang Randi, subuh-subuh di HP. Saya baca, dan saya mohon maaf kepada anak keempat. Saya nulis puisi juga tentang mereka," ujarnya di Gedung Pusat Antikorupsi (ACLC), Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).

Himawan Randi dan Yusuf Qardhawi merupakan dua mahasiswa asal Kendari, Sulawesi Tenggara, yang tewas saat demo reformasi dikorupsi pada 26 September 2019.

Puisi yang diberi judul Anak Laut-Matahari Negeri itu berbunyi sebagai berikut:

Anak laut itu tumbuh ditanah cadas bebatuan Pantai Lakarinta, Pulau Muna.

Tumbuh dari singkong dan jagung yang nembus cadas dan air laut yang menggarami hidupnya.

Tanpa peluh, tanpa kesah menjalani hidup yang memang keras dari awalnya.

Di mata Lasali dan Nasrifa, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati.

La Sali tekun mengajari mataharinya arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut.

Nasrifa tekun mendidiknya mengenal aksara semampu yang dia pahami.

Lasali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mataharinya.

Satu-satunya asa hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya.

Sang anak laut, tumbuh sesuai kehendak alam menembus cadas menyelami karang.

Sang anak laut tidak bermimpi menjadi matahari, tetapi dilubuk hatinya, dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya.

Melebarkan dapur ibunya, dan meluaskan pikiran kakak dan adik-adik perempuannya.

Lewat bidik misi dia awali perantauannya, mengejar matahari menyalami jala memuliakan ikan.

Bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan demi doa dan harapan orang tuanya.

Hari Kamis 26 September 2019, Pantai Lakarinta tenang.

Air semilir memanjakan ikan yang melompat riang dibalik matahari sore.

La sali sedang melaut dengan jaring dan kail satu-satunya, demi matahari dan dua bulan yang merantau.

Burung laut bersuara lirih menghampiri perahunya, tetapi tak dihiraukan karena angannya dipenuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau.

Ia tambatkan perahunya lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya.

Tetapi kali ini berbeda, karena kerabat menjemputnya dalam diam.

"ohaini.. ohainiii..." artinya ada apa ini.. ada apa ini.

Tak ada suara, tak ada jawaban. Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam.

Anak laut itu melejit jadi matahari, membumbung, menyebar sinarnya, melelehkan, merenggut raganya dan jiwanya tetap hidup bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan.

Duka anak laut, mengenang Randi.

Pada kesempatan itu, Laode juga meninjau lima ruang sindikat yang berada di lantai 2 gedung ACLC yang diperuntukan untuk lima korban meninggal dunia demonstrasi Reformasi Dikorupsi. Kelima ruang itu diberinama Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Himawan Randi dan Yusuf Qardhawi.

Baca juga artikel terkait DEMO KENDARI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan