Menuju konten utama

Langkah Strategis Jepang Sebelum Terjun dalam Perang Dunia I dan II

Restorasi Meiji mendorong Jepang dalam mengembangkan teknologi. Hal ini berguna dalam sejumlah peperangan yang dilakoni Negeri Matahari Terbit itu.

Langkah Strategis Jepang Sebelum Terjun dalam Perang Dunia I dan II
Tentara jepang di puncak rumah merayakan penangkapan Tienyuehssu di Manchuria, (Manchukuo) China, pada 19 Maret 1932. FOTO/AP

tirto.id - Sebelum kedatangan Kapal Hitam--sebutan pada kapal-kapal bangsa Barat yang tiba di Jepang antara 1637-1854--Negeri Matahari Terbit menutup diri dari bangsa asing, kecuali dengan Korea, Tiongkok, dan Belanda.

Sebelum mengisolasikan diri, seperti disebut Jared Diamond dalam Guns, Germs & Steel (2016:319), Jepang sempat belajar ihwal senjata api dari Portugis pada tahun 1543. Mereka kemudian memproduksinya sendiri secara besar-besaran. Pada tahun 1600, Jepang punya banyak senjata api yang lebih bagus daripada negara lainnya. Meski demikian, kaum samurai kolot yang pengaruh politiknya cukup besar tidak menyukai perkembangan senjata api.

Setelah kedatangan Komodor Perry pada 1853 dan Restorasi Meiji pada 1868, Jepang mulai membuka diri dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat. Jepang juga memperkuat dunia pendidikan, perdagangan, perindustrian, dan militer. Pada abad-abad sebelumnya, peradaban Jepang terpengaruh Tiongkok.

Banyak orang Jepang yang dikirim ke Barat untuk belajar. Pemerintah juga tak ragu menyewa para ahli dan pengajar dari Barat. Meski demikian, mereka tetap memegang kuat tradisinya.

Setelah tahun 1872, Jepang membangun 54 ribu sekolah. Dan pada awal abad ke-20 sekitar 95 persen orang Jepang sudah bisa baca tulis. Jadi, sebelum 1945, penduduk Jepang lebih bebas buta huruf daripada negera-negara Asia lainnya.

Di bidang militer juga dilakukan perombakan. Kali ini kebanyakan kelas samurai harus tahu diri. Dalam Jepang Tersulut Perang (1986:39) disebutkan bahwa banyak samurai menyesuaikan diri dengan baik. Bahkan seorang bekas samurai, Arimoto Yamagata, yang menjadi pimpinan militer Jepang terbuka dalam menerima tentara.

“Orang Jepang, entah dari golongan militer (samurai) entah tidak, pada mulanya lahir dengan darah yang sama dan bila dilatih berdisiplin secara teratur, mereka hampir pasti menjadi prajurit yang layak..,” kata Yamagata. Disiplin jiwa, menurut Yamagata jauh lebih penting daripada baris-berbaris dan buku pedoman senjata.

Sejak Restorasi Meiji, muncul istilah Bushido (jalan ksatria), yakni jalan laki-laki Jepang di era menguatnya militerisme. Terlibatnya Jepang dalam Perang Dunia II menyeret banyak anak muda Jepang untuk berani mati demi kejayaan Kaisar.

Mengirim Mata-mata

Jauh sebelum Jepang menduduki Indonesia, menurut Kees van Dijk dalam Hindia Belanda dan Perang Dunia 1 1914-1918 (2014:351), mereka sudah diwaspadai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan Politieke Intelichtingen Dienst (PID) pada Mei 1916. Lembaga ini bertugas mengumpulkan informasi bahaya spionase dari luar, dalam hal ini Jerman dan Jepang. Allan Akbar dalam Memata-matai Kaum Pergerakan (2013:40) mencatat bahwa PID di Surabaya terdapat seksi yang mengurusi orang-orang Jepang.

Kitamura adalah seorang mata-mata Jepang. Dia masuk ke Hindia Belanda dengan menyaru sebagai anemer atau kontraktor bangunan. Di Tarakan, Kitamura yang sedang menyamar itu dapat tender penting.

“Ia membangun banyak bangunan pertahanan di Tarakan [...] jauh sebelum perang pecah,” tulis Iwan Santosa dalam Tarakan: Pearl Harbor Indonesia, 1942-1945 (2003: 23).

Di Balikpapan, seperti dicatat Agus Suprapto dalam Perang Berebut Minyak (1996:71), terdapat mata-mata lain bernama Hashima dan Ishitasi. Hashima menyamar sebagai pedagang sayur dan Ishitasi menyamar menjadi petani sayur. Pada hari pendaratan tentara Jepang di Balikpapan, mereka memberikan informasi untuk kepentingan militer Jepang dalam mengalahkan Belanda. Para mata-mata itu kemudian memakai seragam militer setelah Jepang menduduki Hindia Belanda.

Jepang memiliki Nakano Gakko (sekolah intelijen tentara). Menurut Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1988:16), Nakano Gakko mencetak ribuan agen intelijen tentara yang disebar ke sejumlah negara di Asia Tenggara yang di antaranya menyamar sebagai diplomat, wartawan, dan pedagang, beberapa bulan sebelum Perang Pasifik.

Merekrut Pemuda di Daerah Pendudukan

Tersebutlah Attun Palalin asli Formosa alias Taiwan. Dia salah satu pemuda dari banyak pemuda yang direkut jadi tentara oleh militer Jepang yang menduduki tanah airnya. Attun Palalin mendapat nama Jepang sebagai Teruo Nakamura. Dia dikirim ke Morotai, Maluku Utara, dan akhirnya bergerilya melawan tentara Amerika Serikat. Setelah Jepang menyerah, karena tidak tahu bahwa Perang Pasifik telah berakhir, dia terus bersembunyi hingga tahun 1975.

Kisah Attun Palalin dari Taiwan ini dimuat di majalah Tempo (04/01/1975). Dia kemudian pulang ke kampung halamannya dan mendapati kenyataan bahwa istrinya sudah menikah lagi dengan orang lain karena mengira suaminya sudah mati.

Tak hanya Taiwan, orang-orang Korea juga ada yang direkrut menjadi serdadu Jepang. RHA Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali (2000:27) menyebut orang-orang Korea ditawari gaji menarik agar mau menjadi tentara Jepang, yang di antaranya dikirim ke Indonesia. Mereka sulit dibedakan dengan orang Jepang, karena ciri fisik dan kemampuannya berbahasa Jepang.

Sementara di Indonesia, Jepang membentuk tentara sukarela atau gyugun yang terdiri dari ribuan pemuda. Namun, milisi bentukan Jepang ini tidak diarahkan sebagai tentara ekspedisi yang akan berperang di luar negeri, melainkan hanya mempertahankan daerahnya sendiri.

Infografik Kenapa Jepang Bisa Menduduki Hindia Belanda

Infografik Kenapa Jepang Bisa Menduduki Hindia Belanda. tirto.id/Quita

Mengembangkan Teknologi dan Industri

Tahun 1897, senapan standar infanteri Jepang adalah Tipe 30. Sembilan tahun kemudian, senjata itu didesain ulang oleh Mayor Kijiro Nambu dan Baron Arisaka Nariakira menjadi Arisaka Tipe 38. Nambu dikenal juga sebagai perancang Pistol Nambu yang mirip Luger Jerman.

Jerman adalah negara penting bagi Jepang. Mereka telah menjalin kerjasama di bidang teknologi sebelum Perang Dunia II. Jepang juga belajar dari Jerman untuk membangun angkatan darat. Sementara Angkatan Laut belajar dari Inggris.

Mistubishi, yang di Indonesia dikenal sebagai prosuden mobil, sudah ada sejak 1870 atau dua tahun setelah Restorasi Meiji. Iwasaki Yataro (1835-1885) pada mulanya mendirikannya sebagai perusahaan pengiriman. Warsa 1940-an, Mitsubishi pernah memproduksi pesawat terbang bernama Mitsubishi A6M Zero, yang menakutkan di awal Perang Dunia II.

Tak hanya Mitsubishi, Toyota yang berdiri sebelum tahun 1940 juga terlibat dalam Perang Pasifik. Selama Perang Dunia II, seperti disebut Kenneth E. Hendrikson dalam The Encyclopedia of The Industrial Revolution (2015: 965-966), Toyota terlibat dalam pembuatan kendaraan militer di Pulau Honshu. Truk-truk tahan banting ini bahkan menjadi cikal bakal Toyota Land Cruiser. Sementara Kawasaki, masih menurut Hendrikson, pernah memproduksi sejumlah kapal perang.

Teknologi dan industri Jepang yang dibangun sejak lama, tentu ikut mendukung keunggulan Jepang di sejumlah pepeprangan. Di sisi lain, mereka juga membutuhkan bahan mentah dari beberapa daerah pendudukan di Asia Tenggara. Namun, karena ketersediaan bahan mentah tak bisa terpenuhi, maka keunggulan teknologi militer Jepang menjadi mandek. Jepang pada akhirnya kalah dalam Perang Dunia II setelah dikeroyok negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh