Menuju konten utama

Langkah Pemerintah Ambil Saham Freeport Dinilai Terburu-buru

Langkah Jokowi yang mengambil saham freeport dinilai ekonom INDEF terlalu terburu-buru.

Arsip Foto Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wdy

tirto.id - Akhir tahun 2018 Indonesia berhasil mengambil saham kepemilikan 51 persen untuk perusahaan tambang tembaga dan emas di Papua yaitu PT Freeport Indonesia (FI).

Langkah ini merupakan target dari strategi nasionalisasi yang dilakukan pemerintah RI sejak lama.

Namun, di balik kesuksesan RI mendominasi kepemilikan PT Freeport, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai langkah ini dinilai terlalu terburu- buru.

Ia mengatakan, dengan biaya akuisisi yang harus ditanggung Inalum sebagai perusahaan milik pemerintah. BUMN ini tentunya memiliki beban berat untuk membayar utang akuisisi apalagi setelah Inalum menerbitkan global bond.

Global bond sendiri merupakan obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing.

Berbeda dengan utang-utang resmi alias pinjaman pemerintah dari negara-negara donor, kata dia, global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi, di mana alokasi penggunaannya sudah ditentukan.

"Pemerintah terlalu terburu-buru mengakuisisi saham Freeport dengan utang yang harus dibayarkan cukup mahal oleh Inalum. Jadi ini memberatkan keuangan dari BUMN tentu konsekuensi jangka panjangnya. Kemudian utang itu punya resiko bagaimana pun juga apalagi dengan global bond yang diterbitkan," kata dia kepada reporter Tirto, Minggu (17/2/2019).

Ia mengatakan, global bond sendiri memiliki risiko pembengkakan nilai. Mulai dari selisih kurs rupiah dengan mata uang dolar AS sampai bunga yang harus dibayarkan. Ujung-ujungnya jika pemerintah gagal bayar, saham yang dimiliki pemerintah bisa dijual kembali.

"Sehingga menimbulkan risiko gagal bayar. Kalau ada risiko gagal bayar maka dari saham yang di dalam Freeport yang sudah diakuisisi itu biasa kemudian bisa berisiko dijual kembali ketika si BUMN dalam kondisi pailit," jelas dia.

Ia melihat langkah terburu-buru pemerintah jika salah langkah akan berujung ke penjualan kembali saham yang sudah diakuisisi.

"Ada potensi kesana (gagal bayar)," kata dia.

Dengan kondisi seperti ini, Bhima menyarankan pemerintan untuk melakukan ancang-ancang di tahun 2021. Saat kontrak PT Freeport habis, pemerintah perlu bertahan untuk menaikkan nilai kontrak.

"Kalau kita lihat 2021 kan itu kontrak abis kan. ketika kontrak abis. Apakah strateginya dengan mengakuisi saham itu sudah tepat. Ataukan sebenarnya 2021 itu kesempatan pemerintah untuk meningkatkan kekuatan tawar menawar kalau Freeport mau lanjut lagi harus membayar royalti yang lebih besar kepada negara," terang dia.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno