Menuju konten utama

Langkah Hukum yang Bisa Diambil Mahasiswa Jika Diskors Kampus

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh saat diskors oleh kampus.

Langkah Hukum yang Bisa Diambil Mahasiswa Jika Diskors Kampus
Demo menentang skorsing Rezki Ameliyah dan Mohammad Nur Fiqri di Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (8/02/2018). Rezki dan Fiqri diskors selama dua semester karena menempel poster bertuliskan "Kampus Rasa Pabrik". FOTO/Moch Mihram

tirto.id - 18 Januari 2018. Lewat jam 1 malam. Ada pemandangan tak biasa di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Di beberapa titik strategis kampus seperti perpustakaan tertempel poster yang gambarnya cukup provokatif: pabrik dengan asap membumbung ke udara, bendera berlogo "$" yang tengah berkibar, dan dilengkapi dengan kalimat lugas, "Kampus Rasa Pabrik".

Penempel poster hitam-putih itu adalah Mohammad Nur Fiqri dan Rezki Ameliyah Arief, mahasiswa aktif jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (HI FISIP). Melalui keterangan tertulis kepada Tirto, Fiqri dan Rezki mengatakan bahwa isi poster itu memang sesuai dengan kenyataan, bahwa institusi pendidikan kini telah jadi "pabrik", dan "nilai intelektual" adalah komoditasnya.

Selain poster "Kampus Rasa Pabrik", ada pula poster-poster lain yang telah disiapkan, juga dengan kalimat provokatif seperti "Rajin Membaca Jadi Pandai, Malas Membaca Jadi Polisi" dan "Kalau Pembangunan Berarti Tergusur, Kemajuan Berarti Kehilangan Ruang Hidup".

Namun poster lainnya tidak sempat disebarkan. Mereka kadung ditangkap satpam kampus dan ditanyai macam-macam, malah dengan pertanyaan yang sebetulnya sama sekali tidak berkait dengan poster seperti apakah Fiqri dan Rezki dibayar untuk itu; apakah mereka terlibat dalam gerakan anarko; dan apakah mereka dibayar oleh calon wali kota-wakil walikota Makassar.

Malah lebih jauh dari itu, pada 30 Januari keduanya mendapat Surat Keputusan (SK) Rektor Unhas No. 052/UN4.1/KEP/2018 yang berisi keputusan bahwa keduanya diskors selama dua semester.

"Diskors karena melanggar ketertiban kampus. Di Unhas orang mau tempel poster dimana pun tidak ada halangan sepanjang di tempat resmi. Kalau tidak harus izin. Dua mahasiswa ini tidak melakukan izin. Mereka juga menempel dini hari, padahal aktivitas kampus hanya sampai jam lima sore," kata Ishaq Rahman, Kepala Unit Humas dan Protokoler Unhas kepada Tirto via sambungan telepon.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Apa yang terjadi pada Fiqri dan Rezki—meski kemudian skors dicabut melalui rapat Komisi Disiplin Unhas, 8 Februari—adalah peristiwa yang terus berulang dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Di antara banyak kasus itu, apa yang terjadi dengan enam mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pada 2000 lalu patut dibicarakan kembali.

Melalui SK Rektor Nomor 266/SK/R/UI/2000 tertanggal 16 November 2000, Lucky A. Lontoh (Fakultas Hukum angkatan 95) dan Dhoho Ali Sastro (Fakultas Hukum 99) dihukum tidak boleh ikut kuliah selama dua semester. Dipo Asto Prayoga dan Maha Wisnu TA (Fakultas Hukum 99), Dewi Astuti (Fakultas Sastra 97), dan Fezan Gustamo Razak (Fakultas Teknik angkatan 96) juga sama, hanya masa hukumannya satu semester. Sementara Suma Mihardja (Fakultas Hukum angkatan 92), Ai Sukaesih (Fakultas Teknik angkatan 98), dan Ida Ayu Utami Sundari (Fakultas Sastra angkatan 92) mendapat peringatan tertulis.

Mereka dihukum karena dinilai "melakukan gangguan tata tertib" pada HUT emas ke-50 UI pada 2 Februari 2000. Waktu itu UI mengundang banyak "orang elit", termasuk duta besar dan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjabat Wakil Presiden (meski akhirnya tidak datang).

Mahasiswa UI kemudian menempuh jalur hukum yang prosesnya berlangsung bertahun-tahun. Tahapan terakhir terjadi pada 2009 lalu—bertahun-tahun setelah mereka lulus—ketika Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Rektor UI. MA memutus Rektor UI harus memulihkan hak dan kewajiban para penggugat meski secara teknis sulit dilakukan.

Langkah hukum yang dilakukan mahasiswa yang sebagian besar terlibat dalam penggulingan Soeharto ini patut dicontoh oleh mahasiswa lain yang mendapat perlakuan serupa.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Charlie Meidino Albajili, mengatakan bahwa SK Rektor memang dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Skors itu memenuhi syarat untuk disebut sebagai kebijakan yang bisa digugat di PTUN karena ia dibuat oleh pejabat negara yang berwenang dan menimbulkan konsekuensi hukum terhadap seseorang," kata Charlie kepada Tirto.

Pengajuan ke PTUN dapat dilakukan sendiri atau diwakili oleh kuasa hukum, baik yang berbayar atau pro bono seperti LBH. Dalam proses pengajuan, setidaknya pelapor harus menyerahkan berkas berupa dokumen yang digugat, alasan mengapa perkara itu masuk dalam kewenangan PTUN, duduk perkara, dan petitum atau permohonan agar kebijakan itu dibatalkan.

"Kalau gugatan di PTUN ditolak, maka bisa banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), seterusnya hingga tingkat MA," kata pengacara yang sempat mengepalai acara "Manifesto Melawan Oligarki" pada 2016 ini.

Selain ke pengadilan, gugatan juga dapat diajukan ke tiga instansi negara lain: Kemenristekdikti, Komnas HAM, dan Ombudsman. "Kemenristekdikti karena jelas kasus ini terjadi di kampus; Komnas HAM karena ada pelanggaran kebebasan berekspresi dan pelanggaran terhadap akses pendidikan; dan Ombudsman karena bisa jadi ada praktik maladministrasi dalam penerbitan SK," terang Charlie.

Menurut Mustolih Siradj, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor, yang pertama-tama perlu diketahui adalah bahwa kebebasan akademik di kampus itu dijunjung tinggi. Maka, pihak kampus harus melihat ekspresi mahasiswa sebagai bagian dari kebebasan akademik yang harus dijaga, sebagaimana yang diatur Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

"Lain halnya kalau misalnya kritik itu sudah menyerang pribadi dan hal-hal yang sudah tidak ada faktanya. [Kalau seperti itu] mahasiswa patut mendapatkan teguran," katanya kepada Tirto.

Kata Mustolih, sebelum menggugat ke PTUN, korban skors sebetulnya punya hak untuk melakukan banding. Umumnya mekanisme ini diatur dalam statuta—semacam Undang-undang Dasar tingkat kampus. Dalam proses ini penting juga untuk menggalang dukungan mahasiswa lain.

"Prinsipnya yang kritis itu aset kampus, daripada yang diam tapi terus melakukan kegiatan melawan hukum. Jadi kalau cuma mengkritik saya kira kampus harusnya berbesar hati," tutup Mustolih.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Rio Apinino & M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Rio Apinino