Menuju konten utama

Langgar Syariah, Pria Gay di Aceh Dihukum Cambuk 85 Kali

Kedua pria tersebut dinyatakan bersalah karena melanggar hukum Islam yang ketat di Aceh dan masing-masing akan menerima hukum cambuk.

Langgar Syariah, Pria Gay di Aceh Dihukum Cambuk 85 Kali
Ilustrasi. Terpidana (tengah) menjalani hukum cambuk di halaman Masjid Baitul Mukminin, Desa Lamteh, Banda Aceh, Aceh, (20/3). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra.

tirto.id - Mahkamah syariah di Aceh telah menghukum dua pria gay untuk dicambuk di depan umum karena melakukan hubungan seks.

Kedua pria tersebut dinyatakan bersalah karena melanggar hukum Islam yang ketat di Aceh dan masing-masing akan menerima cambukan. Hukuman tersebut akan dilakukan minggu depan.

Sebagaimana diwartakan BBC, pasangan gay berusia 20 dan 23 tahun itu ditemukan di tempat tidur bersama oleh warga pada Maret lalu.

Hubungan seksual kaum gay tidak dinyatakan ilegal di wilayah Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim. Namun, Aceh adalah satu-satunya provinsi dimana hukum syariah berkuasa.

Meskipun hakim tidak memberikan hukuman maksimal sebanyak 100 kali cambuk, hukuman itu justru lebih berat dari 80 cambuk yang diminta oleh jaksa penuntut.

Hukuman cambuk di depan publik ini telah diturunkan sebelumnya menjadi hanya untuk kasus perjudian dan minum alkohol.

Aceh dinyatakan telah menjadi semakin konservatif dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari undang-undang ketat melawan homoseksualitas yang telah disahkan pada tahun 2014 dan mulai berlaku tahun berikutnya.

Hakim Khairil Jamal mengatakan kepada pengadilan bahwa orang-orang tersebut "terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan hubungan seks gay," menurut kantor berita AFP.

Saat kalimat itu dibacakan, kedua pria itu menutupi wajah mereka dengan baju dan tangan mereka.

Pejabat lokal mengklaim bahwa hukum syariah sejalan dengan tradisi Islam yang lama ada di Aceh.

Munawar, seorang pejabat yang bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang tersebut, mengatakan bahwa “orang-orang ingin menerapkan ajaran Islam yang komprehensif termasuk pemberlakuan kode kriminalnya.”

Dia juga mengatakan Qanun Jinayat, yakni hukum pidana Islam yang diberlakukan di Aceh pada tahun 2015 dan dikenal secara lokal, menjadi penangkal yang efektif.

Hukum tersebut mencakup konsumsi, produksi, dan distribusi alkohol; perjudian; zina; seks di luar nikah, dan tindakan homoseksual. Hukuman meliputi pencambukan dan pemenjaraan, tapi tidak dirajam.

Aktivis hak asasi manusia pada tahun lalu mencoba tuntuk mencabut beberapa ketentuan di Qanun Jinayat. Alasannya hal tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia dan kode pidana nasional di Indonesia, namun ditolak oleh Mahkamah Agung.

Hukuman cambuk yang diputuskan pada Rabu (17/5/2017) telah dikutuk oleh kelompok hak asasi manusia dan aktivis.

"Saya melihat ini sebagai kriminalisasi, sebuah langkah mundur bagi Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Dede Oetomo, pendiri Gaya Nusantara - sebuah organisasi yang membela hak LGBT - setelah putusan tersebut.

Menjelang putusan tersebut, Human Rights Watch telah meminta Indonesia untuk membebaskan kedua orang tersebut, dengan mengatakan bahwa "vonis tersebut akan meningkatkan rasa takut di kalangan masyarakat LGBT tidak hanya di Aceh tapi juga di banyak provinsi lain, khususnya yang konservatif" di Indonesia.

Orang-orang tersebut akan dicambuk dalam sebuah upacara publik pada tanggal 23 Mei di ibukota provinsi, Banda Aceh, yang juga menjadi tempat mereka ditemukan oleh warga negara.

Kelompok warga setempat merekam diri mereka sendiri daat menendang dan memukul pasangan tersebut. Video tersebut bahkan telah dibagikan secara luas di Indonesia. Menurut kelompok hak asasi manusia, kondisi ini menunjukkan bahwa sentimen anti-gay tumbuh di Indonesia.

Untuk diketahui, Aceh sudah diberi hak khusus untuk menerapkan hukum Islamnya yang ketat sejak lebih dari satu dekade yang lalu.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN CAMBUK atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari