Menuju konten utama

Lampu Lalu Lintas Bersuara Bukan Penghibur di Kala Macet

Lampu lalu lintas bersuara merupakan fasilitas keamanan bagi pejalan kaki, bukan untuk menghibur pengendara bermotor.

Lampu Lalu Lintas Bersuara Bukan Penghibur di Kala Macet
Ilustrasi lampu lalu lintas. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Peter Backhaus (44 tahun) seorang Professor dari Waseda University di Tokyo bercerita pengalamannya selama tinggal di Jepang. Tanpa pernah ia sadari, ternyata hampir setiap hari ada banyak suara terdengar di sekitarnya.

Pengalamannya tinggal di Jepang mungkin jadi yang paling bising, bahkan di lingkungan yang tenang sekalipun. Menurut Backhaus, jarang sehari berlalu tanpa banyak suara terdengar. Dalam aktivitas sehari-hari, lanjutnya, akan ada beragam alunan nada atau musik yang ada di sekitar kita.

"Pedagang kentang, tahu, ramen, serta minyak tanah menjajakan barang jualannya mengumumkan lewat suara-suara yang khas. Begitu juga truk sampah yang lewat depan rumah menggunakan kotak suara," katanya seperti dilansir Japan Times.

Hal ini makin ia sadari ketika ada dua peneliti Jepang yang melakukan survei tentang suara di Jepang kepada warga asing yang tinggal di sekitar Fukuoka. Secara khusus mereka ingin tahu tentang suara yang sering terdengar di Jepang tetapi tidak di negara asal peserta.

Ternyata yang paling sering disebut adalah berbagai sinyal suara dari lampu lalu lintas pejalan kaki. Ada dua tipe suara yang digunakan pada alat tersebut, melodi dan onomatopoeia. Untuk tipe melodi menggunakan musik anak-anak atau lagu tradisional Jepang. Sementara itu, tipe lampu lalu lintas kedua menggunakan suara jangkrik ataupun kicauan burung.

Bukan Peredam Stres

Tak hanya di Jepang, audible pedestrian signals turut dipakai di sejumlah negara. Dalam “Accessible Traffic Signals for Blind and Visually Impaired Pedestrians” disebutkan jika lampu lalu lintas bersuara atau sinyal aman bagi pejalan kaki itu telah ada di Amerika Serikat sejak 1920.

Chen-Fu Liao dari Minnesota Traffic Observatory, Department of Civil Engineering, University of Minnesota, yang meneliti hal tersebut juga menuliskan bahwa suara kicauan burung atau beep signal mulai diterapkan di beberapa lampu lintas pada pertengahan 1970-an.

Suara-suara ini sejatinya berfungsi untuk membantu kaum tuna netra keluar dari situasi berbahaya ketika menyeberang jalan. Adanya informasi suara ini memungkinkan mereka paham bahwa ketika bunyi-bunyian itu terdengar, maka saat itulah mereka dapat menyeberang jalan dengan aman.

Di samping itu bagi pengendara yang abai dengan keadaan di sekitar, lampu lalu lintas yang bersuara ini dapat meningkatkan kewaspadaan mereka sehingga mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.

Studi Japan Automobile Federation sementara itu mengungkap sifat mengkhawatirkan pengemudi: tidak berhenti saat pejalan kaki menyeberang. Dilansir dari Asian Correspondent, survei yang dilakukan antara 1 Agustus sampai 1 September 2016 itu menemukan bahwa hanya kurang dari 10 persen kendaraan mau menunggu pejalan kaki menyeberang.

Sisanya atau lebih dari 90 persen dilaporkan tidak berhenti. Tak ayal kehadiran audible pedestrian signal dirasa penting bagi pejalan kaki. Apalagi undang-undang di Jepang sebetulnya telah memprioritaskan pejalan kaki.

Di Jepang, apabila kendaraan telah mendekati persimpangan dan menemui seseorang yang akan menyeberang, maka pengemudi harus segera melambatkan kendaraan bahkan berhenti sesaat meski pejalan kaki itu belum tentu akan menyeberang. Pengemudi hanya diperbolehkan melewati persimpangan jika telah memastikan bahwa tidak ada pejalan kaki yang menyeberang.

Langkah ini dilakukan sebab survei dari Japan’s Institute for Traffic Accident Research and Data pada tahun 2008 hingga 2012 menunjukkan jika pejalan kaki yang tertabrak saat menyeberang jadi korban kecelakaan terbanyak kedua (14 persen) di jalan, setelah faktor pelanggaran lalu lintas yang mencapai 67,9 persen.

Hal inilah yang sejatinya ingin dicapai dari penggunaan lampu lalu lintas bersuara oleh pemerintah Jepang.

Tujuan tersebut tentunya berbeda dengan tujuan dari program Pemkot Depok bernama Joyful Traffic Management (Joytram) yang bertujuan membuat pengendara terhibur setelah lelah bermacet-macetan.

Program ini jelas bukan ditujukan bagi pejalan kaki, seperti yang sudah diterapkan di beberapa negara. Padahal Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad mengatakan jika rencana tersebut berdasarkan studi banding ke Jepang yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan.

"Kemarin itu ketika Diklat PIM untuk eselon II, dimintalah Kadishub untuk ikut serta Diklat PIM yang diselenggarakan oleh Kemenhub. Nah, di antara tema pembahasan di dalam pelatihan ini ada Joytram, best practice-nya itu di Jepang," ujarnya kepada Detik.

Tirto sebelumnya melaporkan, Wali Kota Depok itu telah berencana untuk memutar lagu di lampu merah. Lagu-lagu yang bakal disajikan adalah lagu tradisional Betawi hingga lagu ciptaannya sendiri.

Selain mempersiapkan lagu, Pemkot Depok juga mempersiapkan pengeras suaranya. Rencananya pengeras suara pertama terpasang dipasang di beberapa titik kemacetan yang cukup parah, seperti Margonda Raya dan Juanda.

"Nanti akan dilengkapi dengan speaker untuk imbauan dan musik. Nanti juga kalau ada kendaraan melanggar, lewat garis pembatas jalan, kami imbau melalui speaker. Mudah-mudahan inisiatif seperti itu bisa mengurangi stres orang menghadapi kemacetan," ujar Kabid Bimkestib Dishub Kota Depok Agus Tamim.

Sinyal yang Berbahaya?

Meski dirasa efektif menanggulangi banyaknya kecelakaan, sinyal penyeberang jalan dengan suara ternyata masih menimbulkan kekhawatiran. Sinyal bersuara itu dinilai dapat membingungkan pejalan kaki, terutama di daerah dengan banyak persimpangan.

Laporan The Irish Times menyebutkan, Dewan Kota Dublin telah menerima beberapa laporan tentang hal tersebut di beberapa persimpangan. Pejalan kaki dapat saling mendengar sinyal suara dari persimpangan yang berdekatan. Hal ini berpotensi membuat pejalan kaki, terutama kaum tuna netra, menjadi bingung, jelas Kepala Layanan Teknis Bagian Lalu Lintas dari Dewan Kota, Brendan O’Brien.

Tak heran sinyal bersuara lantang ini akan dimatikan sementara, khususnya di wilayah yang berdekatan itu. Sebagai gantinya, sebuah tombol besar yang bergetar diletakkan dekat area penyeberangan. Khususnya di beberapa wilayah dengan persimpangan yang dekat satu sama lain.

"Pejalan kaki yang tuna netra dapat memencet tombol ini, selama lampu merah bagi penyeberang jalan menyala, maka tombol bergetar perlahan yang artinya mereka tidak boleh berjalan. Ketika hijau menyala, tombol akan bergetar lebih cepat," imbuh O’Brien.

Infografik Lampu Lalu Lintas Bersuara

Infografik Lampu Lalu Lintas Bersuara. tirto.id/Fuadi

Selain menggunakan suara, ada beragam jenis sinyal bagi pejalan kaki di dunia. Di Dubai, misalnya, sebuah sensor dengan lampu yang menyala di sekitar area zebra cross tengah diuji coba Otoritas Jalan dan Transportasi (RTA) setempat, guna mengurangi tingginya angka kecelakaan lalu lintas.

Sebagai catatan, dilansir Gulf News, Kepolisian Dubai mencatat dari 198 kematian di jalan pada tahun 2016, sebanyak 47 orang tewas karena tertabrak kendaraan. "Hampir 25 persen dari total korban kematian merupakan orang yang menyeberang jalan," kata Asisten Komandan Operasi Kepolisian Dubai Mohammad Saif Al Zafeen.

Sistem ini mungkin agak mirip dengan lampu pejalan kaki pada umumnya, namun bedanya ia bisa menyala tanpa harus menekan tombol apapun. Sistem akan menyala sendiri bila terindikasi ada orang yang akan menyeberang jalan.

CEO dari RTA Maitha Mohammad Bin Adai mengatakan jika lampu lalu lintas pejalan kaki berbasis sensor ini menggunakan optical ground system yang bekerja secara harmoni dengan lampu lalu lintas. Alat ini akan melihat pergerakan pejalan kaki di trotoar atau di persimpangan dan secara otomatis menyalakan sinyal lampu.

Sementara menurut Nadeem Shakir, ahli manajemen lalu lintas dan perencanaan jalan yang berbasis di Dubai, sistem lalu lintas dengan sensor ini memungkinkan fleksibilitas lebih besar serta membuat jalan lebih aman bagi pejalan kaki.

"Sistem ini akan memberikan keselarasan dan sinkronisasi yang antara pejalan kaki dan gerakan kendaraan. Ini akan meningkatkan keselamatan pejalan kaki, serta menghemat waktu pengguna jalan,” ujarnya, masih dari Gulf News.

Baca juga artikel terkait KEMACETAN atau tulisan lainnya dari Dio Dananjaya

tirto.id - Otomotif
Penulis: Dio Dananjaya
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara