Menuju konten utama

Lahan Sengketa untuk Kepentingan Publik

Pemprov DKI Jakarta ingin mengambil alih sementara lahan-lahan yang sedang dalam sengketa. Lahan itu akan digunakan sebagai fasilitas publik, hingga muncul ketetapan hukum.

Lahan Sengketa untuk Kepentingan Publik
Memanfaatkan lahan kosong di kawasan Jl. Pramuka, Jakarta Timur, untuk pertanian. Tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Pemprov DKI Jakarta akan mengambil alih lahan sengketa. Lahan-lahan itu akan disita sebelum adanya ketetapan hukum dan selanjutnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Lahan sengketa itu akan digunakan untuk kepentingan rakyat seperti taman, jogging track, ruang publik terpadu ramah anak, lahan perkebunan, parkir, tempat berjualan pedagang kaki lima dan sebagainya.

"Seluruh lahan sengketa di Jakarta, kami mau kuasai dan manfaatkan untuk kepentingan rakyat," kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam rapat pimpinan di Balai Kota DKI Jakarta seperti dikutip beritajakarta.com, Jakarta, Senin (15/8/2016)

Jika direalisasikan, tambahan fasilitas publik di Jakarta bakal semakin banyak. Berdasakan data Badan Pertanahan Nasional, pada September 2013 terdapat 4.233 sengketa lahan di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 2.014 (47,69%) kasus yang terselesaikan. Sisanya masih bersengketa hingga saat ini. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, jumlah lahan sengketa mencapai 103 kasus. Yang terselesaikan hanya 50 kasus, sisanya masih bersengketa hingga sekarang.

Jumlah lahan sengketa di DKI Jakarta bisa saja lebih dari catatan dari Badan Pertanahan Nasional. Gubernur Ahok menugaskan semua lurah dan camat untuk mendata lahan-lahan kosong dan yang bersengketa.

"Lurah langsung mendata. Kami sita dulu buat tanam buah, urban farming, parkiran pedagang kaki lima atau pasar malam. Jadi lebih bermanfaat," kata Ahok.

Selain menyediakan tempat untuk publik, kebijakan ini diharapkan bisa mencegah kehadiran mafia tanah.

Wacana tersebut juga disambut positif oleh warga Jakarta Barat, Sri Handayani. Selama ini, Jakarta kekurangan lahan untuk taman dan bermain anak-anak. Lahan-lahan sengketa itu juga memunculkan pemandangan yang tidak sedap karena umumnya tidak terurus. "Ya, daripada lahan sengketa enggak terurus, lalu merusak pemandangan kota ya enggak masalah dibuat taman," kata Sri kepada tirto.id.

Hal serupa juga diungkapkan Ayu. Perempuan kelahiran Solo tersebut mengapreasiasi terobosan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Lahan sengketa itu sering merusak pemandangan kota Jakarta. "Daripada tidak dimanfaaatkan lahan tersebut, terus rusak pemandangan kota, lebih baik bangun taman. Apalagi ruang terbuka hijau kita tidak sampai 10%," kata Ayu.

Dukungan tak hanya dari masyarakat, tetapi juga pemerintah pusat. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI Sofyan Djalil mengatakan lahan sengketa tidak semuanya salah pemerintah. Karena itu, pemerintah akan bekerja sama dengan kota-kota besar agar lahan yang disengketakan dimanfaatkan untuk kegiatan publik. Lahan itu ditanam pohon, jogging track dan lapak pedagang kaki lima. Jika pengadilan telah mengambil keputusan tetap, maka lahan itu akan dikembalikan kepada pemenang sengketa.

"Semua tanah bersengketa, semakin lama lahan bersengketa semakin bagus untuk publik. Ini salah satu supaya kota indah dan biar orang sehat. Tapi ada juga sengketa tanah di Sudirman mencapai 12 pihak, saya pikir sampai kiamatpun sengketa itu enggak akan selesai," kata Sofyan saat menghadiri Indonesia Property and Bank Award 2016 di Jakarta, Kamis malam (18/8/2016).

Bagi negara tetangga, kebijakan pemerintah ini bukan hal baru. Mereka sudah jauh lebih dulu membuat kebijakan tersebut. Menurut Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisaki Nirwono Joga, lahan sengketa biasanya dijadikan ruang terbuka hijau tanpa unsur pedagang kaki lima.

"Belajar dari luar seperti Singapura dan Melbourne. Biasanya lahan sengketa tersebut dijadikan ruang terbuka hijau tanpa unsur komersial seperti pedagang kaki lima. Murni untuk ruang terbuka hijau yang berfungsi ekologis," kata Nirwono kepada tirto.id.

Tiga Daerah Percontohan

Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional akan membuat tiga daerah percontohan dalam memanfaatkan lahan sengketa. Daerah tersebut seperti DKI Jakarta, Surabaya dan Batam. "Kota-kota besar ini akan menjadi pilot project, jika DKI Jakarta, Surabaya dan Batam berhasil 100% maka akan kita gunakan untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia," kata Sofyan.

Untuk mendukung kegiatan itu, kementerian akan mengeluarkan kebijakan terkait tanah sengketa di Indonesia. Namun, formula aturannya belum dijelaskan apakah peraturan menteri atau peraturan pemerintah.

Nirwono mengakui, pemerintah belum punya regulasi terkait lahan sengketa dimanfaatkan untuk publik. Pemerintah cenderung membiarkan lahan sengketa terlantar sehingga merusak wajah kota. Padahal untuk menyelesaikan kasus lahan sengketa membutuhkan waktu yang lama.

"Rata-rata sengketa lahan bisa memakan waktu 5-20 tahun. Makanya kalau lahan tersebut dijadikan ruang terbuka hijau akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi kota serta warga kota," kata Nirwono.

Nirwono juga memberikan masukan atas regulasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Menurutnya, selama lahan masih bersengketa maka negara/pemerintah daerah bisa menjadikan lahan tersebut sebagai ruang terbuka hijau kota dengan fungsi utama ekologis kota tanpa ada kegiatan di dalamnya seperti pedagang kaki lima.

Lahan tersebut, lanjutnya, akan diambil dan dipakai oleh pemerintah hingga pengadilan mengeluarkan keputusan berkekutan hukum. Saat lahan sudah memiliki ketetapan hukum maka pemerintah mengembalikan kepada pemiliknya. Selain itu, ketika lahan sudah berkekuatan hukum maka pemilik lahan berkewajiban mengganti biaya pembangunan dan pemeliharaan ruang terbuka hijau yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.

"Tetapi, jika sudah batas waktu 20 tahun tidak ada keputusan hukum maka negara berhak mengambil alih lahan tersebut untuk kepentingan publik seperti ruang terbuka hijau," kata Nirwono.

Baca juga artikel terkait SENGKETA LAHAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti