Menuju konten utama

Lagu Perjuangan dan Nasionalisme Kosong

Dulu lagu dipakai sebagai instrumen untuk membakar perjuangan. Kini, selain untuk kepentingan pasar, banyak lagu nasionalisme berisi pepesan kosong, tidak relevan dan abai dari realitas sosial.

Lagu Perjuangan dan Nasionalisme Kosong
Sejumlah penumpang, petugas PT KAI dan anggota Pramuka memberikan hormat dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat perjalanan KRL Commuter Line Bogor-Jakarta, Senin (17/8). [ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/ama/15]

tirto.id - Musik memang tak bisa dilepaskan dari hal-hal lain yang menaunginya.

Dalam kasus Alfred Simanjutak, hal lain itu adalah perasaan anak dari negeri yang terjajah. Pada 1943 Indonesia dijajah oleh Jepang. Saat itu Alfred, pemuda Tapanuli yang cerdas, mengajar di sebuah sekolah di Semarang. Cintanya pada musik sudah dikenal luas. Ia seorang multi-instrumentalis.

Di tahun itu ia menulis lagu 'Bangun Pemudi Pemuda'. Kenapa ada pemudi di awal, Alfred mengatakan bahwa ia terinspirasi kebiasaan masyarakat luar negeri yang umumnya menyebutkan wanita di bagian depan. Seperti damen und herren di Jerman atau ladies and gentleman di Amerika dan Inggris. Liriknya, sebagaimana banyak lagu perjuangan, mempunyai nada yang menggugah. Terutama bagi anak muda yang kala itu bersemangat melawan penjajah.

Bangun pemudi pemuda Indonesia

Tangan bajumu singsingkan untuk negara

Tak usah banyak bicara trus kerja keras

Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih

Gara-gara lagu itu, Alfred masuk dalam daftar hitam untuk dibunuh oleh tentara Jepang. Tapi takdir berkata lain. Alfred hidup panjang umur. Setelah Jepang minggat dari Indonesia dan negara ini merdeka, Alfred sempat menuntut ilmu di Belanda. Lalu kembali ke Indonesia untuk meneruskan pekerjaannya sebagai guru. Pria yang pernah menjadi konduktor Istana Negara meninggal pada 25 Juni 2014 saat berumur 93 tahun.

Alfred tidak sendirian dalam menulis lagu perjuangan. Lagu memang kerap dipakai sebagai salah satu instrumen perjuangan. Tak hanya perjuangan, lagu bisa dijadikan instrumen protes. Alasannya ia bisa menyebar dengan cepat. Kalau dibikin dengan baik, ia bisa jadi bensin untuk api. Cepat menyebar dan efektif.

Sosiolog Serge Denisoff menggolongkan lagu semacam ini menjadi dua: magnetis dan retorika. Magnetis adalah lagu yang sejak awal memang mengajak orang untuk bersolidaritas. Di Indonesia, lagu 'Bangun Pemudi Pemuda' atau 'Bongkar' dari Iwan Fals masuk dalam kategori ini. Adapun kategori retorika lebih bersifat protes personal dan karenanya kerap tak sekuat jenis lagu pertama.

Di tanah Afrika Selatan, saat era apartheid, musisi Vuyisile Mini membuat lagu 'Ndodemnyama we Verwoerd', atau kalau diterjemahkan bisa berarti: 'Hati-hati, Verwoerd'. Nama yang dimaksud adalah Hendrik Verwoerd, Perdana Menteri Afrika Selatan sejak 1958 yang dianggap sebagai arsitek apharteid. Dan tentu saja "hati-hati" yang dimaksud Vuyisile bukanlah ungkapan hati-hati dalam bentuk kasih sayang. Lagu ini begitu populer di masyarakat asli Afrika Selatan.

"Lagu seperti cerminan dari realitas masyarakat," kata penyair Jeremy Cronin. Dalam realitas masyarakat Afrika Selatan yang sedang terinjak-injak di tanah sendiri, lagu yang ditulis Vuyisile berhasil menggambarkan mereka sekaligus berlaku seperti yang dibilang oleh Denisoff, yakni lagu magnetis.

"Lagu itu dinyanyikan seperti lagu gembira," kata musisi Hugh Masekela. "Tapi isinya seperti menghantui, 'Awas Verwoerd, orang-orang kulit hitam mendatangimu. Harimu akan berakhir.'"

Di Indonesia, amat banyak lagu perjuangan yang bersifat magnetis. Menyebut dua di antaranya 'Maju Tak Gentar' dan 'Halo-Halo Bandung'. Dua lagu itu, juga lagu perjuangan lain, biasanya memiliki stanza yang pendek. Karenanya mudah diingat dan dinyanyikan bersama. Lagu 'Bagimu Negeri', misalkan, hanya memiliki satu paragraf berisi empat larik dan kalimat yang berima.

Setelah Indonesia merdeka, lagu-lagu kebangsaan masih tetap ada dan berlipat ganda. Namun, berbeda dari lagu perjuangan sebelum kemerdekaan, lagu-lagu nasionalis setelah kemerdekaan berubah kulit. Lebih bertema mencintai negara ketimbang mengajak berjuang.

Salah satu yang paling legendaris adalah 'Kebyar-Kebyar' ciptaan musisi Gombloh. Tak seperti lagu kebangsaan prakemerdekaan yang simpel, apa yang diciptakan Gombloh lebih bersayap dan bermain majas. Hingga sekarang, lagu ini tetap populer dan terus direproduksi (salah satunya berakhir bencana, ketika Arkarna, band Inggris yang sudah kehilangan popularitasnya, mendaur ulang lagu ini dengan autotune. Hasilnya: Bencana total).

Grup band Cokelat juga punya lagu 'Bendera' yang sepertinya selalu diputar ketika 17 Agustus tiba. Lagu ciptaan Eross Chandra ini masuk dalam album Rasa Baru Special Edition. Karena kesuksesan ini, semakin banyak band yang membuat lagu bertema nasionalisme. Mulai dari Netral dengan lagu 'Garuda di Dadaku', Pee Wee Gaskins 'Dari Mata Sang Garuda', bahkan band punk Superman is Dead membuat 'Jadilah Legenda'.

Namun, karena banyak sekali lagu bertema nasionalisme yang digarap dengan seadanya, rasanya malah bikin kuping begah. Apalagi liriknya tak jauh-jauh dari kecintaan “kosong” terhadap negara. Sedikit mengingkari apa yang disebut oleh Jeremy Cronin sebagai "...cerminan realitas masyarakat."

Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja. Semua pantai, gunung, sawah, lembah, yang pernah dipuja-puja sebagai Mooi Indie, nyaris tak ada lagi. Masih banyak rakyat kelaparan. Korupsi juga belum bisa disikat habis. Kekerasan dan intoleransi makin berbiak dan seperti tak bisa dicegah. Di saat seperti ini, lagu-lagu yang mempertanyakan nasionalisme buta justru terdengar lebih kencang dan masuk akal ketimbang lagu-lagu nasionalis buta.

Lagu 'Kenyataan Dalam Dunia Fantasi' dari band Koil, misalkan, rasanya lebih penting dan relevan ketimbang semua lagu-lagu pemuja nasionalisme itu. Kecintaan terhadap Indonesia digambarkan dengan berbeda. Koil melukiskan hubungan cinta-benci terhadap Indonesia. Negara ini indah, tetapi membuat kita tak berpenghasilan. Nasionalisme, tulis Koil, "menuntun bangsa kami menuju kehancuran."

Tapi tentu saja lagu sinis dan masuk akal seperti itu tak akan laris di upacara kemerdekaan. Tidak akan diputar di Istana Negara. Tak akan berkumandang di lapangan-lapangan tempat bocah kecil berlomba makan kerupuk. Lagu jargonlah yang masih dan akan tetap berputar dan laris manis dinyanyikan. Selama itu pula, lagu bertema nasionalisme masih akan tetap ada.

John Lennon boleh bermimpi tak ada negara. Baginya, entitas bernama negara adalah yang melahirkan perang. "Imagine there's no country. It isn't hard to do, Nothing to kill or die for," nyanyinya. Tapi apa daya, negara masih ada hingga sekarang.

Begitu pula lagu-lagu tentang negara dan nasionalismenya.

========

Naskah kali pertama dipublikasikan pada 17 Agustus 2016. Dimutakhirkan ulang karena relevan dengan topik laporan mendalam soal Indonesia Raya tiga stanza

Baca juga artikel terkait LAGU INDONESIA RAYA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti