Menuju konten utama

Lagu Lama Hapus Premium, 3 Kali Ganti Menteri Tak Juga Terealisasi

Wacana penghapusan Premium muncul lagi. Apakah kali ini benar-benar terealisasi?

Lagu Lama Hapus Premium, 3 Kali Ganti Menteri Tak Juga Terealisasi
Petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan memasang segel pengaman saat melakukan tera ulang takaran bahan bakar minyak di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (14/7/2020). (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc)

tirto.id - Rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium kembali mengemuka. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah mengatakan PT Pertamina (Persero) akan menghapus Premium pada 1 Januari 2021. Kebijakan tersebut rencananya mulai dilakukan di Pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).

“Pada Senin lalu saya bertemu dengan Direktur Operasional Pertamina. Beliau menyampaikan per 1 Januari 2021 Premium di Jamali akan dihilangkan,” katanya dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (13/11/2020).

Namun, rencana tersebut langsung dimentahkan Pjs VP Communication Pertamina Heppy Wulansari. Pernyataan MR Karliansyah, berdasarkan keterangan Heppy, terbalik. Bukan Pertamina yang meneken keputusan penghapusan, tapi pemerintah.

“Kebijakan penyaluran BBM RON 88/Premium sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. Pertamina akan menyalurkan selama masih ada penugasan,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (16/11/2020). Penugasan yang dimaksud saat ini terdapat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2018.

Sambil menunggu arahan pemerintah, ia menjelaskan Pertamina akan terus mengedukasi konsumen untuk menggunakan BBM ramah lingkungan dan BBM yang lebih berkualitas. BBM dengan RON lebih tinggi akan berdampak positif bagi mesin kendaraan dan emisi gas buangnya lebih rendah. Premium tak termasuk.

“Selain edukasi, Pertamina juga memberikan stimulus berupa promo-promo BBM kepada konsumen agar tergerak untuk mencoba BBM dengan kualitas lebih baik, antara lain melalui Program Langit Biru. Di sisi lain, program Langit Biru juga sejalan dengan komitmen pemerintah dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi hingga 29 persen pada 2030 yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement,” katanya panjang lebar.

Kalkulasi

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai kebijakan penyediaan Premium sebenarnya merugikan Pertamina selaku korporasi dan pemerintah sebagai pemilik saham mayoritas.

“Hanya ada delapan negara yang masih konsumsi RON 88 (Premium). [Akibatnya] untuk mencari bahan baku semakin sulit. Itu akan merugikan perusahaan ketika harus memproduksi Premium,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.

Berdasarkan paparan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perseroan pelat merah itu hanya membukukan laba sebesar Rp5 triliun pada kuartal III/2018. Angka itu turun cukup jauh jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,99 miliar dolar AS atau setara Rp26,8 triliun. Sementara di akhir tahun 2017, Pertamina berhasil membukukan laba sebesar Rp35 triliun.

Kondisi ini terjadi karena mereka memiliki banyak beban penugasan dari pemerintah untuk mendistribusikan BBM bersubsidi di tengah harga minyak dunia yang mengalami tren kenaikan dan rupiah yang tidak stabil. Jika ingin untung, mau tak mau subsidi untuk BBM pemerintah untuk Pertamina harus dikurangi.

Meski demikian, perlu dicatat laba Pertamina yang merosot tersebut belum termasuk penggantian yang akan diberikan pemerintah atas penyaluran Solar tahun 2017. Besarnya mencapai 1,3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp18,8 triliun (dengan kurs Rp14.528 per dolar AS). Alas hukum penggantian biaya itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 43/2018.

Jika benar dihapus, maka beban yang selama ini ditanggung Pertamina dari penyediaan Premium bisa ditekan. Di sisi lain, masyarakat juga memperoleh keuntungan berupa kualitas bahan bakar yang lebih baik, dan bisa menekan pencemaran udara. “Keuntungannya juga kita akan memperbaiki reputasi Indonesia di mata Internasional, bahwa pemerintah dan masyarakat sudah punya komitmen dan mengimplementasikan gerakan untuk memperbaiki lingkungan.”

Namun penghapusan Premium tak bisa dilakukan serta merta. Ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan. Pengamat BUMN Toto Pranoto mengatakan salah satunya adalah pemerintah harus tahu kapasitas produksi BBM yang kualitasnya lebih tinggi dari Premium. “Seberapa jauh kemampuan oil refinery untuk bisa juga langsung mencukupi kebutuhan domestik,” katanya kepada reporter Tirto, Senin. Jangan sampai ternyata kapasitas BBM non-Premium tidak mencukupi kebutuhan.

Selain itu, yang patut juga dijawab adalah, “apakah masyarakat sudah siap harus bayar BBM dengan harga mahal? Kira-kira, gejolak yang akan timbul seberapa besar?” Sebelum subsidi Premium dihapus, di era Presiden SBY, sangat sering demonstrasi pecah ketika pemerintah berencana menaikkan harga minyak.

Pada 2014 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres 191/2014 yang intinya membatasi distribusi Premium di Jawa, Madura, dan Bali, sekaligus mencabut subsidinya. Perpres itu sejalan dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas tahun 2015. Salah satu alasan kala itu adalah sudah tak ada negara dunia yang memproduksi Premium.

Pertamina pada waktu itu berjanji pada tim untuk menghapus Premium dalam dua tahun. Namun, jelang Idulfitri 2018 dan Pemilu 2019, perpres direvisi. Imbasnya, Pertamina menyalurkan Premium lagi di seluruh wilayah. Pemerintah waktu itu beralasan harga minyak dunia sedang naik sehingga perlu menjaga daya beli masyarakat lewat BBM berharga murah.

Artinya, wacana ini sudah berusaha direaliasikan oleh Menteri ESDM Sudirman Said, Arcandra Tahar, dan Ignasius Jonan. Lalu, apakah menteri saat ini, Arifin Tasrif, benar-benar dapat merealisasikannya?

Baca juga artikel terkait PENGHAPUSAN PREMIUM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino