Menuju konten utama

La Mulatresse Solitude, Sang Simbol Perlawanan dari Guadeloupe

Solitude adalah perempuan pejuang Guadeloupe yang melawan perbudakan Prancis.

La Mulatresse Solitude, Sang Simbol Perlawanan dari Guadeloupe
Header Mozaik Hidup Bebas Atau Mati. tirto.id/Fuad

tirto.id - Code Noir, dikenal juga dengan dekrit Raja Louis XIV, adalah hukum tentang perbudakan di wilayah koloni Prancis. Dekrit yang dilembagakan mulai 1685 itu memengaruhi tatanan sosial dan politik Prancis secara umum, terutama budak keturunan Afrika dan kaum Yahudi yang saat itu dimusuhi gereja Katolik Roma.

Secara umum, Code Noir mengatur status hukum para budak. Mulai dari agama Katolik sebagai agama wajib, larangan-larangan yang harus dipatuhi, syarat pembebasan budak, hingga jenis hukuman yang diperbolehkan majikan.

Akibatnya, perbudakan merajalela di koloni Prancis yang ada di wilayah Eropa maupun Amerika. Di Kepulauan Karibia, ada dua wilayah koloni yang terkena dampak akibat Code Noir, yakni Guadeloupe dan Martinique. Di dua wilayah ini, industri perkebunan gula, kakao, dan kopi berkembang pesat, menghadirkan kekayaan berlimpah bagi ekonomi Perancis.

Sempat dihapuskan, perbudakan kembali dilegalkan ketika Napoleon Bonaparte naik takhta. Para budak tidak tinggal diam, mereka berusaha melakukan perlawanan.

Di Guadeloupe, seorang budak perempuan menjadi simbol legenda masyarakat karena keberaniannya melawan kolonial Prancis. Meski sedang hamil, ia tetap ikut naik turun gunung, angkat senjata dan bertempur demi membebaskan masyarakat Guadaloupe dari perbudakan.

Kelak, namanya diabadikan dengan sebutan La Mulâtresse Solitude.

Krisis yang Melahirkan Revolusi Prancis

Di daratan Prancis, beberapa deputi mulai gerah dengan perlakuan para bangsawan dan kaum feodal yang memiliki hak istimewa seperti bebas penghapusan pajak. Para deputi melihat kesenjangan sosial akan makin lebar jika hal tersebut dibiarkan terus menerus.

Selama ini para petani di desa-desa dipungut pajak tinggi dengan dalih pemasukan negara dan pengembangan ekonomi gereja. Di sisi lain, Prancis di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI berada di ambang kebangkrutan karena kebijakan ekonomi politik yang serampangan, terutama banyaknya anggaran untuk perang.

Faktor lain adalah hasil panen di beberapa wilayah koloni yang tidak sesuai harapan. Disinyalir karena mulai adanya perlawanan banyak orang di wilayah koloni.

Maka, didahului penyerbuan Penjara Bastille yang dianggap sebagai simbol monarki pada 14 Juli 1789, Majelis Konstituante Nasional memutuskan adanya penghapusan hak-hak kaum bangsawan dan feodal pada 4 Agustus 1789.

Kedua momen ini menjadi awal gejolak dari rangkaian lahirnya Revolusi Prancis yang ditandai dengan jatuhnya monarki absolut. Keluarga raja kemudian dipenjara pada 10 Agustus 1792.

Prancis yang belum memiliki identitas butuh waktu panjang saat menyatakan diri sebagai negara republik. Mereka melewati beberapa masa pemerintahan dan pergantian konstitusi. Mulai dari Kekaisaran Pertama, Republik Kedua, Republik Ketiga, Republik Keempat, hingga Republik Kelima yang dibentuk tahun 1958 dan berlaku sampai sekarang.

Begitu juga hukum-hukumnya yang mengikat, mulai dari wilayah daratan Perancis hingga wilayah koloni di Eropa dan Amerika.

Sebelum Napoleon Bonaparte mendirikan Kekaisaran Pertamanya, Prancis sudah mengumumkan untuk menghapus perbudakan di seluruh wilayah hukum Prancis yang diputuskan melalui konvensi pada tanggal 4 Februari 1794.

Keputusan tersebut dipicu oleh gelombang pemberontakan besar-besaran di Saint-Domingue--sekarang Haiti—pada 1791 dan 1793 yang memakan korban jiwa orang kulit putih dan komisaris Republik yang kehilangan kekuasaannya. Wilayah tersebut merupakan wilayah sangat penting karena koloni terbesar dalam menyumbang kekayaan bagi Prancis.

Penghapusan perbudakan disambut suka cita para budak yang sebagian besar merupakan keturunan Afrika di wilayah Karibia, termasuk di Guadeloupe. Mereka bisa pulang dan membangun kembali masa depan bersama keluarga.

Hal serupa yang dirasakan La Mulâtresse Solitude, mesikupun ia baru dilanda duka setelah kematian ibunya.

Memimpin Perlawanan

Rosalie adalah nama kecil La Mulâtresse Solitude. Ibunya adalah seorang budak yang dibawa melalui kapal laut dari Afrika ke Amerika. Ayahnya adalah seorang kulit putih sekaligus awak kapal laut yang memperkosa ibunya selama perjalanan menuju Amerika.

Ibunya sudah merasakan penderitaan bagaimana menjadi budak dan korban pemerkosaan. Ia hidup sebatang kara ketika mengandung Rosalie. Bahkan mereka sudah dipisahkan sejak dirinya masih kanak-kanak.

Ibunya kemudian kabur dari perkebunan, tempat ia diperbudak dan melarikan diri ke pergunungan untuk bergabung dengan komunitas Maroon, wadah perkumpulan bagi keturunan Afrika yang kabur dari perbudakan.

Tidak banyak yang mencatat masa kecil Rosalie selain titimangsa kelahirannya adalah sekitar tahun 1772. Dari lukisan dan gambaran tentangnya, Rosalie digambarkan punya kulit sedikit cerah karena gen ayahnya yang kulit putih sehingga ketika beranjak remaja ia diperlakukan sedikit lebih baik ketimbang budak lain.

Ia dipekerjakan di rumah perkebunan untuk memasak dan mengurus kebersihan. Sementara teman sebayanya banyak ditempatkan di ladang perkebunan sebagai buruh. Dari sini pula ia mulai mendapat julukan La Mulâtresse yang artinya wanita Mullato, didasari kulit dan matanya yang pucat.

Rosalie lantas mengganti namanya menjadi Solitude ketika ibunya meninggal, tak lama sebelum penghapusan perbudakan. Ia sempat merasakan menjadi remaja bebas hanya delapan tahun.

Saat Napoleon berkuasa, perbudakan kembali diaktifkan melalui dekrit tertanggal 20 Mei 1802. Dalihnya adalah ekonomi Prancis bisa dipulihkan hanya dengan mengambil keuntungan dari koloni yang ada.

Solitude, demikian namanya dikenang dalam sejarah rakyat Guadeloupe, dianggap menginspirasi ketika bergabung dan aktif di komunitas Maroon. Ide dan semangat perjuangannya tak terbendung ketika membaur dengan kelompok perlawanan La Voyage. Kelompok ini banyak berisi tentara kulit hitam yang pernah bergabung dengan Tentara Republik Prancis ketika revolusi meletus.

Infografik Mozaik Hidup Bebas Atau Mati

Infografik Mozaik Hidup Bebas Atau Mati. tirto.id/Fuad

Joseph Ignace dan Louis Delgrès adalah dua mantan perwira yang bergabung di La Voyage dan cukup disegani. Keduanya memimpin dan mengatur strategi dalam peperangan melawan pasukan Prancis yang tiba di Pointe-à-Pitre, kota terbesar di Guadeloupe, pada awal Mei 1802.

Sebanyak 3.500 Pasukan Prancis telah bersiaga, dipimpin Jenderal Antoine Richepance yang ditugaskan Napoleon untuk menegakkan dekrit dan menumpas para pemberontak yang terus mengobarkan perlawanan.

Sementara Solitude lebih banyak mengumpulkan pasukan dan beberapa kali menginterogasi para tentara Prancis yang ditangkap.

“Ini adalah bagaimana saya akan memperlakukan Anda ketika saatnya tiba!” ujarnya kepada para tawanan Prancis sembari membawa kelinci yang ditusuk tombak.

Beberapa kemenangan dicapai Pasukan Perlawanan sebelum akhirnya terdesak dalam Pertempuran Matouba yang berlangsung dari 10 hingga 28 Mei 1802.

Pasukan perlawanan bersembunyi di sekitar benteng perbukitan Matouba yang banyak menyimpan mesiu. Joseph Ignace dan Louis Delgrès kemudian membuat siasat ketika tentara Prancis terus mengepung mereka selama 18 hari.

Mereka membagi pasukan jadi dua kelompok. Satu kelompok sebagai pengalih perhatian akan dipimpin Ignace, satu bagian lagi bertahan di sekitar benteng yang dipimpin Delgrès dan Solitude.

Ketika peperangan terjadi, pasukan perlawanan sadar akan jumlah personil yang terus berkurang. Sementara Prancis terus mendekat seraya meminta mereka untuk menyerahkan diri.

Delgrès yang enggan menyerah begitu saja kemudian membuat rencana lain. Ia mengizinkan pasukan Prancis untuk maju dan masuk ke dalam benteng. Ia melakukan aksi bom bunuh diri bersama anak buahnya dengan membakar gudang mesiu dan berhasil menewaskan sekitar 400 tentara Prancis.

Solitude terluka dalam insiden ini. Ia kemudian ditangkap dan dikirim ke penjara bersama pasukan perlawanan yang masih hidup.

Semua pasukan perlawanan dihukum mati melalui pengadilan militer, kecuali Solitude yang mendapat pengampunan sementara karena sedang hamil.

Ia melahirkan anaknya pada tanggal 28 November 1802 dan hanya diizinkan 24 jam untuk menggendong dan menyusui anak semata wayangnya. Setelahnya Solitude dihukum mati menyusul rekan-rekannya.

Sebelum dieksekusi, Solitude meneriakkan kalimat terakhir.

"Hidup bebas atau mati!”

Pemberontakan di Guadeloupe menginspirasi para budak di Saint-Domingue untuk melakukan pemberontakan keduanya pada 18 November 1803. Mereka memukul mundur sekitar 33.000 pasukan Prancis. Dua bulan kemudian, tepatnya 1 Januari 1804, Saint-Domingue menyatakan kemerdekaannya dan mengganti nama menjadi Haiti.

Tak banyak yang mengenang La Mûlatresse Solitude seperti dua koleganya, Joseph Ignace dan Louis Delgrès yang lebih dulu dikenal publik.

Solitude hadir sebagai simbol perjuangan perempuan dalam upaya pembebasan perbudakan. Ia layak disandingkan dengan berbagai tokoh penting karena kisahnya yang hidup dapat terus menginspirasi siapapun yang ada di jalur pergerakan dalam melawan penindasan demi kesetaraan dan keadilan.

Patung-patungnya kini menghiasi sudut-sudut kota dan taman di Guadeloupe dan satu patung di utara Paris. Ada juga yang mengapresiasinya menjadi nama jalan, galeri, dan karya sastra.

Solitude terus hidup dan jadi inspirasi.

Baca juga artikel terkait LA MULATRESSE SOLITUDE atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Nuran Wibisono