Menuju konten utama

KY Didesak untuk Mengevaluasi Hakim Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

LBH Jakarta mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa hakim yang terlibat dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta.

KY Didesak untuk Mengevaluasi Hakim Kasus Reklamasi Teluk Jakarta
Foto udara kawasan pulau reklamasi Pantai Utara Jakarta, Kamis (28/2/2019). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/aww.

tirto.id - Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa dan mengevaluasi para hakim yang menangani kasus reklamasi Teluk Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Arif menilai para hakim telah lalai dalam kewajibannya menghadirkan pihak-pihak nelayan yang terdampak dalam kasus reklamasi di persidangan.

"Kami berencana untuk meminta Komisi Yudisial memeriksa persoalan ini. Meminta KY untuk mengawasi jalannya persidangan reklamasi. Kami berharap proses peradilannya juga berjalan adil, imparsial, dan tanpa ada gangguan kepentingan di luar upaya untuk menegakkan keadilan," kata Arif saat ditemui di LBH Jakarta, Jumat (2/8/2019).

"Ini jadi pertanyaan kami juga di awal. Jelas kami bisa dilibatkan. Masa nelayannya enggak dikasih tahu," lanjutnya.

Arif menilai, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), termasuk LBH Jakarta, sudah sering mempermasalahkan kasus-kasus reklamasi yang pernah diperkarakan sebelumnya, sehingga hakim PTUN seharusnya mengundang pihak-pihak terkait yang merasakan dampaknya, khususnya para nelayan dari koalisi.

"Ini jadi pertanyaan besar untuk PTUN. Ketua pengadilannya. Ini kan sudah menyidangkan kasus reklamasi sudah berulang kali. Kami jadi curiga, jangan-jangan PTUN juga tidak menjalankan kewajibannya dengan benar," katanya.

Karena, menurut Arif, jika merujuk pada dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, dijelaskan hakim dapat memanggil para pihak yang berkepentingan dalam proses pemeriksaan perkara berlangsung, mengingat kegiatan reklamasi berdampak pada penghidupan nelayan.

Hal serupa juga dikatakan pengacara publik Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), Ayu Eza Tiara. Ia menilai hakim memiliki wewenang untuk mengundang para nelayan yang terdampak dalam kasus reklamasi.

"Kalau masyarakatnya tahu [kasus sedang berjalan di pengadilan], kami bisa mengajukan permohonan. Kalau masyarakatnya enggak tahu, maka seharusnya hakim mengundang kami sebagai masyarakat yang terdampak menjadi pihak yang terkait namun sangat disayangkan untuk reklamasi F, I, M, dan H itu kami tidak pernah mendapat informasi apa pun dan kami tak pernah dipanggil hakim untuk menjadi pihak terkait," katanya.

Ayu mengatakan, dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, "pihak yang membela haknya" dapat dimasukkan ke dalam sengketa tata usaha negara.

"Dijelaskan dapat memasukan di sengketa Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai, pertama pihak yang membela haknya. Jadi nelayan bisa membela haknya. Kedua, bisa bergabung bersama pihak yang bersengketa yaitu gubernur. Ada dua, kami bisa jadi pihak terkait, atau jadi pihak di kubu gubernur," katanya.

"Lagi-lagi karena kami enggak pernah tahu proses persidangan ini maka kami enggak jadi kedua pihak itu. Kami enggak bisa bergabung membantu kasus Gubernur," lanjutnya.

Gugatan Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

Langkah PTUN Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah tentang pencabutan izin reklamasi Pulau H, ternyata berbuntut panjang.

Gugatan hukum yang dilayangkan pada 18 Februari 2019 itu dikabulkan majelis hakim PTUN pada 9 Juli 2019. Putusan itu termuat dalam laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara sipp.ptun-jakarta.go.id dengan nomor 24/G/2019/PTUN.JKT.

Tak hanya PT Taman Harapan Indah, lawan Anies bertambah lagi tiga pihak. Pertama, PT Manggala Krida Yudha sebagai pengembang Pulau M, melayangkan gugatan serupa PTUN pada tanggal 27 Februari 2019. Gugatan diajukan sembilan hari setelah PT Taman Harapan Indah.

Kasusnya masuk dengan nomor perkara 31/G/2019/PTUN.JKT. Saat ini persidangan sedang berlangsung dan sudah pada tahap pembuktian para pihak.

Di Pulau M, Anies digugat karena mengeluarkan Kepgub Nomor 1040/-1.794.2 tertanggal 6 September 2018. Kepgub ini menerangkan perihal Pencabutan Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 nomor 1283/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau M atas nama PT Manggala Krida Yudha.

Kedua, PT Jaladri Kartika Pakci sebagai pengembang Pulau I. Mereka melayangkan gugatan pada 27 Mei 2019 ke PTUN, empat bulan setelah PT Taman Harapan Indah dan PT Manggala Krida Yudha.

Dikutip dari sipp.ptun-jakarta.go.id gugatan kasusnya tercatat dengan nomor perkara 113/G/2019/PTUN.JKT. Saat ini persidangan sedang berjalan dan sudah pada tahapan replik (tanggapan atas jawaban Tergugat) dari Penggugat.

Ketiga, PT Agung Dinamika Perkasa sebagai pengembang Pulau F. Pengembang ini adalah mitra kerja dari PT Jakarta Propertindo (BUMD milik Pemprov DKI).

Mereka mengajukan gugatan pada 26 Juli 2019, atau setelah terbitnya putusan PTUN mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah pada 9 Juli. Saat ini, proses gugatan sedang masuk tahap pemeriksaan persiapan.

Kasus ini tercatat dengan nomor perkara 153/G/2019/PTUN.JKT. Anies digugat karena mengeluarkan Kepgub yang mencabut Keputusan Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo.

Diketahui, PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci--dua pengembang terakhir yang mengajukan gugatan--adalah anak perusahaan Agung Podomoro Land.

Baca juga artikel terkait PROYEK REKLAMASI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra