Menuju konten utama

KY Didesak Periksa Hakim Kasus Pinangki, Suparman: Tidak Usah Takut

Rekam jejak hakim dalam putusan dan penelusuran Komisi Yudisial dinilai mampu melihat sejauh mana hakim tepat memutus vonis rendah Pinangki.

KY Didesak Periksa Hakim Kasus Pinangki, Suparman: Tidak Usah Takut
Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mendorong agar Komisi Yudisial untuk turun tangan menilai putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus eks jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Ia mendorong agar KY tidak takut dengan dalih Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut adalah ruang independensi hakim.

"Tidak perlu risau dengan argumen independensi. Ini sudah selesai harusnya. Independensi itu yuridiksinya ada di wilayah ketika hakim memeriksa, memeriksa dan mengadili perkara itu, tetapi begitu perkara ini sudah diputus ya ini milik publik. Sudah dilepas dan itu menjadi bahan untuk bisa dieksaminasi apalagi cuma dikomentari," tegas Marzuki dalam diskusi Indonesia Corruption Watch, Minggu (27/6/2021).

Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun. Hakim yang mengadili kasus Pinangki adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik. Pinangki menjadi terpidana karena kasus makelar kasus dalam pelarian Djoko Tjandra. Pinangki menerima duit dari Djoko Tjandra dengan tujuan untuk mengurus perkara di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Marzuki mengatakan ada beberapa cara untuk menilai putusan tepat atau tidak. Di antaranya publik bisa melihat dari eksaminasi putusan. Salah satu contoh adalah melihat isi dakwaan dan membandingkan antara pertimbangan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Ia beralasan putusan adalah ruang gelap hakim karena mereka bisa memainkan putusan. Hal tersebut diketahui Marzuki saat melakukan sesi uji calon hakim agung di masa aktif sebagai Ketua KY 2011-2015. Salah satu kandidat mengakui bahwa hakim bisa memainkan proses hukum.

"Saya tanya sekali lagi apa benar putusan itu ruang gelap di mana hakim bisa memainkan untuk kepentingan-kepentingan tidak profesional? Dijawab sekali lagi. Iya, bisa. Dia bisa mainkan pertimbangan, dia bisa mainkan alat bukti dan seterusnya. Tidak semua bukti-bukti dipertimbangkan, kesaksian tidak semua diangkat sebagai pertimbangan dan dalam putusan, apalagi perkara perdata," kata Marzuki.

Marzuki juga menyarankan agar ada penelusuran rekam jejak hakim. Hal tersebut bisa dilihat sebab ada 10 putusan kontroversial oleh hakim yang mengadili perkara Pinangki. Kemudian, KY bisa mengecek para hakim Pinangki pernah dilaporkan atau diproses KY.

Rekam jejak dalam putusan dan KY, kata dia dinilai mampu melihat sejauh mana hakim tepat memutus vonis rendah terhadap Pinangki.

"Kita tidak bisa membuktikan ada hal-hal yang tidak profesional misalnya di balik putusan itu, itu hal lain. Tetapi berhasil menemukan ketidakberesan putusan itu karena sesuatu atau gini. Kita bisa menyampaikan satu pernyataan bahwa di balik putusan ada sesuatu yang rasanya kita sebut sebagai unprofesional conduct. Tidak apa-apa," kata Marzuki.

Marzuki mengingatkan, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap kasus korupsi Jaksa Pinangki tidak hanya berpengaruh hanya untuk Pinangki sebagai terdakwa, tetapi mempengaruhi situasi publik secara politik, hukum dan moral masyarakat.

"Putusan itu bukan sekadar untuk mengadili atau menyelesaikan perkara saja dalam hal ini tentu suap-menyuap korupsi gratifikasi yang diterima oleh Pinangki, tapi putusan itu itu berimplikasi kepada kepentingan publik, berimplikasi sangat luas bagi sesuatu bangsa dalam rangka membangun peradaban hukum," ujar Marzuki.

Baca juga artikel terkait JAKSA PINANGKI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali