Menuju konten utama

Kultum Ramadhan 2021: Tingkatan Puasa Menurut Imam Ghazali

Kultum Ramadhan 2021: 3 tingkatan puasa menurut Al-Ghazali yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khususnya khusus.

Kultum Ramadhan 2021: Tingkatan Puasa Menurut Imam Ghazali
Ilustras Dzikir. foto/IStockphoto

tirto.id - Terdapat 3 tingkatan orang berpuasa menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin, yaitu puasanya orang awam (shaumul umum), puasa khusus (shaumul khusus), dan puasa khusus dari khusus (shaumul khususil khusus).

Puasa memiliki kedudukan istimewa dibandingkan dengan ibadah lainnya karena puasa mendapatkan ganjaran langsung dari Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, Setiap kebaikan diberi pahala sebanyak 10 kali lipat hingga 700 kali lipat, sedangkan puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahala puasanya (tanpa batasan jumlah pahala)" (H.R Tirmizi 695).

Demikian istimewanya puasa, sehingga disebutkan bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misk (minyak wangi). Selain itu, jika ada seseorang yang mengajak untuk bertengkar, maka umat Islam diminta untuk menahan diri, sembari berkata, "sesungguhnya saya sedang berpuasa."

Bagi umat Islam yang telah terbebani syariat, menjalankan puasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib. Seorang muslim mesti menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri sejak terbitnya fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib). Selain itu, ia juga mesti menghindari berbagai hal yang dapat merusak pahala puasanya.

Allah membanggakan orang-orang yang mau berjuang mengendalikan hawa nafsunya. Nabi Muhammad saw. bersabda, Allah 'Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah kepada hambaKu yang meninggalkan hawa nafsunya, kesenangannya, dan makan minumnya karena Aku".

Tingkatan Puasa Menurut Al-Ghazali

Dalam menjalani puasa, tidak semua orang sama pengalamannya. Hal ini sudah dipaparkan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid I. Terdapat 3 tingkatan orang berpuasa sebagai berikut.

Puasa Umum

Puasa umum adalah puasanya orang awam. Dalam puasa ini, orang melakukannya untuk mencegah perut dari makan, minum, dan menjaga diri dari godaan syahwat kemaluannya. Jenis puasa ini terbilang tingkatan puasa paling rendah.

Alasannya, orang melakukan puasa hanya sekadar memenuhi persyaratan dalam ibadah ini yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh suami istri di siang hari. Mereka tetap mendapatkan balasan pahalanya, namun sedikit.

Umat Islam mesti senantiasa berhati-hati menjaga puasanya agar tidak hanya sekadar rutinitas semata, atau sekadar menggugurkan kewajiban, karena Rasulullah saw. bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang salat malam tidak mendapatkan selain begadang". (H.R. Ibnu Majah 1680).

Puasa Khusus

Dalam puasa khusus, orang yang berpuasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Namun, dia juga mempuasakan indera dan alat geraknya dari melakukan berbagai hal yang dilarang dalam agama. Pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan maksiat.

Dalam Ihya Ulumuddin, puasa khusus ini adalah puasa orang-orang shalih. Untuk bisa masuk ke dalam tingkatan ini, seorang muslim mesti menjauhkan diri dari 6 perbuatan berikut.

  • Menahan diri dari melihat dan memandang segala hal yang dicela dan dimakruhkan, yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah.
  • Menjaga lidah dari perkataan sia-sia seperti mengumpat, berbohong, berkata keji, ucapan yang dapat merenggangkan persaudaraan, ucapan kebencian, atau mengandung riya'. Alih-alih demikian, seorang muslim yang berpuasa lebih baik berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah, dan membaca Al-Qur'an.
  • Menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik. Ucapan yang haram diucapkan, haram pula untuk didengarkan.
  • Mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Ini mulai dari tangan dan kaki atas segala yang makruh, juga mencegah perut untuk mengonsumsi hal-hal syubhat waktu berbuka. Tidak ada artinya puasa jika kemudian berbuka dengan makanan yang haram.
  • Tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sehingga perut sampai kepenuhan makanan. Imam Al-Ghazali, perut yang penuh sesak dengan yang halal, dalam konteks berbuka puasa, berbahaya. Pasalnya, bagaimana mungkin seseorang dapat mendapatkan faedah berpuasa dengan menghancurkan hawa nafsu, jika ketika tiba waktu berbuka, ia hanya mengincar apa yang tidak didapatnya pada siang hari kala berpuasa?
  • Mempunyai hati yang diliputi rasa cemas dan harap karena ketidaktahuan apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Dengan demikian, ia senantiasa berusaha untuk memperbaiki diri, dan tidak berpuas pada level yang didapatkannya sekarang.
Puasa yang khusus dari khusus

Ini adalah puasa dalam level nabi-nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang muqarrabin. Dalam puasa tingkat ini, hati berpuasa dari segala cita-cita yang hina, segala pikiran duniawi, juga mencegahnya dari selain Allah 'Azza wa Jalla.

Dia tidak rela saat berpuasa justru lalai dari mengingat Allah. Fokus berpuasanya semata-mata untuk mencari ridha Allah. Oleh sebab itu, puasa di tingkatan ini adalah yang paling utama.

Biografi Singkat Imam Al-Ghazali

Imam Al Ghazali yang bernama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali memiliki gelar Hujjatul islam. Ia seorang ulama, pemikir, ahli dan ahli filsafat terkemuka. Karya-karyanya demikian monumental, di antaranya Ihya Ulumuddin, Tahafut al-Falasifah, Kimiya as-Sa'dah, hingga Misykat al-Anwar.

Kunyahnya Abu Hamid karena salah satu putranya bernama Hamid. Gelarnya, al-Ghazali, bermakna tukang tenun, berkaitan dengan sang ayah yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing. Tempat kelahirannya Ghazalah, Bandar Thus, Khurasan.

Dalam Ngaji Filsafat bagian 156, oleh Fahruddin Faiz, secara khusus dibahas tentang bab Rahasia Puasa (Asrorus-Shiyam) yang tercantum di Ihya Ulumuddin.

"Kedudukan puasa bagi umat Islam, puasa itu seperempatnya iman. Kenapa disimpulkan seperempat? Ada hadis yang menyebutkan ash-shoummu nishfush-shobri (puasa itu setengah dari sabar). Hadis yang lain berbunyi ash-shobru nishful-iman (sabar itu setengahnya iman)," papar Fahruddin Faiz dikutip dari kanal Youtube Masjid Jenderal Sudirman (MJS).

Seorang beriman memiliki ciri antara lain sabar. Orang yang bisa sabar adalah orang yang mau puasa. Orang yang tidak siap puasa biasanya tidak sabar. Di antara jalan untuk menemukan sabar, ada puasa, tidak hanya puasa lahir, tetapi juga puasa batin.

Sabar adalah inti puasa. Kesabaran dalam menahan segala larangan dhahiriah yang dapat membatalkan puasa, dan larangan batiniah yang mengurangi makna puasa. Larangan lahiriah dan batiniah ini menjadi barometer kualitas keimanan seseorang.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fitra Firdaus