Menuju konten utama
Misbar

Kucumbu Tubuh Indahku: Kisah tentang Manusia yang Kalah

Bisa dibilang, ini karya terbaik Garin Nugroho setelah Daun di Atas Bantal (1998).

Kucumbu Tubuh Indahku: Kisah tentang Manusia yang Kalah
Poster film kucumbu tubuh indahku. FOTO/imdb

tirto.id - Setiap tubuh menyimpan traumanya masing-masing─dan yang bisa kita lakukan adalah menerimanya. Tubuh juga memendam hasrat, ingatan masa lalu, ironi, amarah, hingga ketidakberdayaan yang membuat sang tuan hanya bisa mengutuk atau mungkin justru mensyukurinya.

Dalam film terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) (selanjutnya ditulis Tubuh Indahku), Garin Nugroho mengangkat narasi tentang tubuh beserta segala kompleksitasnya, dari laku hidup dan sudut pandang seorang pemuda bernama Juno (Muhammad Khan).

Juno lahir di sebuah desa kecil di Jawa Tengah yang terkenal dengan seni tari Lengger Lanang. Tari ini menitikberatkan pada penampilan penari laki-laki yang menyerupai perempuan. Para penari Lengger diharuskan meleburkan sisi maskulin dan feminin dalam satu tubuh.

Namun, perjalanan Juno dan pencarian makna dalam tubuh sekaligus hidupnya tak mudah. Ia diharuskan pindah dari satu desa ke desa lainnya karena banyaknya kekerasan yang muncul. Keadaan ini membikin Juno kian terasing, di tengah kesepian yang sedang berusaha ia usir jauh-jauh.

Anak Kandung Konflik

Sejarah tak bisa dihapus. Luka yang pahit akan senantiasa bersemayam dalam kandung.

Inilah yang dialami karakter utama Tubuh Indahku. Sejak kecil, Juno sudah hidup sendirian, tanpa kehadiran kedua orangtuanya. Ayahnya pergi meninggalkan Juno kala ia masih belum bisa mengeja satu-dua patah kata secara betul. Tragedi kelam 1965 membuat sang ayah “terpaksa” meninggalkan Pulau Jawa guna membangun kembali hidupnya.

Apa yang dialami sang ayah seperti menurun pada perjalanan hidup Juno. Kendati tak ada sangkut pautnya terhadap cap komunis, sebagaimana yang dialamatkan orang-orang dan aparat pemerintah untuk sang ayah, konflik yang dialami lebih Juno jauh lebih rumit─melibatkan dimensi sosial, politik, budaya, dan kuasa atas diri yang semuanya dibalut dalam wujud kekerasan.

Ironisnya, Juno bahkan mesti mengalaminya sejak kecil. Saat tinggal di rumah guru tari Lengger (diperankan Sujiwo Tejo), misalnya, ia menyaksikan betapa brutalnya si guru ketika membantai muridnya sendiri dengan clurit karena kedapatan mencumbu istri mudanya.

Aksi sadis ini meninggalkan trauma bagi Juno sampai-sampai ia harus bersembunyi di bawah kolong meja untuk mencari rasa aman.

Belum sembuh benar trauma yang dirasakan, Juno lagi-lagi mendapati kenyataan pahit manakala ia menetap di rumah bibinya (Endah Laras). Ia dirisak teman-temannya sebab jemarinya bau tahi ayam hingga melihat guru tari yang begitu perhatian kepadanya (Winarti) digelandang warga di malam hari, dengan baju bagian atas setengah terbuka, karena dianggap meresahkan serta bertindak asusila─padahal tidak.

Waktu terus bergulir. Juno, sekali lagi, mesti berpindah tempat hidup. Kali ini, Juno menetap bersama pamannya (Fajar Suharno). Kehidupan Juno perlahan mulai tertata rapi. Ia melewati masa remaja dengan membantu sang paman yang membuka bisnis menjahit seragam pengantin.

Di sela-sela kesibukannya membantu sang paman, Juno bertemu dengan petinju desa setempat (Randy Pangalila). Pertemuan tersebut membikin perasaan Juno berdesir tak karuan. Keduanya, secara malu-malu, lantas menjalin kedekatan cukup intens dan saling menambal kerapuhan satu sama lain.

Namun, keindahan yang dirasakan Juno kemudian pupus karena tambatan hatinya ditawan para bandit setelah kalah dalam pertarungan tinju. Para bandit desa ini menganggap jagoannya sengaja mengalah sehingga menyebabkan kerugian materiil yang tak sedikit. Sebagai gantinya, para bandit menjual ginjal jagoannya sendiri.

Juno terpukul. Kesedihannya kian terasa dalam saat pamannya meninggal dengan tenang, bersandar di atas kursi kayu kesayangannya.

Dan untuk keempat kalinya, Juno kembali harus berpindah tempat.

Di ‘rumah’ barunya, Juno tinggal bersama orang-orang dari paguyuban seni Lengger. Dalam fase ini, Juno menyelami lebih jauh tari Lengger. Akan tetapi, konflik masih muncul, dengan skala yang lebih masif karena melibatkan aparat pemerintah berwujud bupati (Rifnu Wikana) yang sedang bertarung dalam kontestasi Pilkada.

Bagi sang petahana, Juno adalah jimat kemenangan. Sang bupati begitu percaya hal-hal mistis. Di samping itu, sang bupati nyatanya memendam perasaan kepada sosok Juno.

Juno paham bahwa ia sedang diperalat. Maka dari itu, Juno memutuskan mencari perlindungan kepada seorang warok (Whani Darmawan). Murka melihat dirinya ditolak Juno, sang bupati pun meluncurkan aksi balas dendam: menghancurkan paguyuban seni Lengger.

Empat fragmen di atas merupakan cara Garin menuturkan dan meramu tiap konflik dalam Tubuh Indahku. Masing-masing fragmen memuat cerita, tokoh, dan konfliknya sendiri. Dalam setiap transisi babak, Garin menampilkan narator (dimainkan Rianto, penari Lengger yang jadi inspirasi dalam Tubuh Indahku) yang akan menceritakan secuil pengantar.

Tubuh adalah hasrat; tubuh adalah senja; tubuh adalah alam; dan tubuh adalah padang perang Kurusetra─merupakan narasi yang selalu ditekankan oleh sang narator.

Lewat sosok Juno, Garin sebetulnya ingin berbicara tentang hal yang mendasar dalam hidup: berkuasa atas tubuh sendiri. Bagi sebagian orang, perkara ini tentu dianggap mudah. Namun, realitanya, tidak dengan orang-orang seperti Juno yang sejak kecil sudah bertarung dengan trauma yang berat.

Persoalan mengenai tubuh, dalam perspektif Tubuh Indahku, akan menjadi rumit ketika ia menghadapi lingkungan yang konservatif, adat masyarakat yang keras, kemiskinan, hingga elit politik yang bebalnya luar biasa. Juno berada di tengah lingkaran itu sehingga membuatnya sulit berkuasa atas tubuhnya sendiri.

Berkali-kali Juno merasa gagal melindungi─dan berkuasa─atas tubuhnya sendiri. Dan berkali-kali pula, sebagai konsekuensinya, ia akan sengaja melukai tubuhnya agar ia mampu merasakan sakit yang sebenarnya.

Saya hampir tidak menemukan celah yang berarti dalam penggarapan Tubuh Indahku. Konflik dijahit sedemikian rapi, lubang cerita yang tak perlu dapat diantisipasi dengan baik, serta penggunaan simbol-simbol juga mudah dipahami secara jelas.

Mungkin tak berlebihan bila pada akhirnya menyebut Tubuh Indahku sebagai film terbaik Garin setelah Daun di Atas Bantal (1998).

Infografik Misbar Kucumbu Tubuh Indahku

undefined

Melarang Film Ini: Wujud Dekadensi

Sayangnya tak semua pihak menerima film Garin dengan kepala yang terbuka.

Beberapa waktu yang lalu, Walikota Depok, Mohammad Idris, melarang Tubuh Indahku diputar di bioskop-bioskop sekitar Depok. Alasannya tentu saja tentang moral: menyebut Tubuh Indahku mempromosikan LGBT sehingga bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Pola pikir semacam ini, yang kemudian direalisasikan dalam bentuk pelarangan, merupakan masalah yang sebenarnya. Sikap mudah memberi kesimpulan dan label tertentu dengan argumen “mempromosikan LGBT” adalah bukti kurangnya pemahaman para elite politik terhadap karya sinema secara komprehensif.

Lewat Tubuh Indahku, Garin berupaya mengangkat narasi sosial yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ia seperti ingin memperlihatkan kepada audiens bahwa orang-orang seperti Juno─orang-orang yang kalah dilibas cara pikir yang konservatif, keculasan politikus, hingga trauma masa lalu yang pedih─ada di tengah-tengah masyarakat.

Melihat film terbaru Garin─dan film-film yang lain─tidak bisa serta merta hanya menggunakan satu perspektif (pertarungan antara sisi maskulin dan feminin, misalnya). Ketika yang terjadi malah seperti itu, yang ada mereka (baik, kita) tak ubahnya mirip bupati dalam Tubuhku Indahku yang mudah tersulut emosinya ketika mengetahui terdapat sesuatu yang tak ideal menurut isi kepalanya.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono