Menuju konten utama

Kuasa Penerbitan SP3 KPK Bisa Jadi Kesalahan Fatal DPR

Setelah ditolak berkali-kali oleh Mahkamah Konstitusi, DPR akhirnya menyepakati pemberian kuasa SP3 kepada KPK

Kuasa Penerbitan SP3 KPK Bisa Jadi Kesalahan Fatal DPR
Anggota Wadah Pegawai KPK menaburkan bunga diatas nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/9/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

tirto.id - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak ragu sedikit pun saat pengambilan keputusan pengesahan Undang-undang KPK yang baru. Sebelum peserta sidang paripurna DPR menjawab “setuju”, Fahri sudah bersiap mengangkat palunya. Tidak sampai sedetik kemudian gema suara kesepakatan sampai ke telinga Fahri, dia mengayunkan palu satu kali.

“Baik,” satu kata singkat yang keluar dari mulut Fahri setelah pengesahan, Selasa (17/9/2019).

Fahri terlihat senang dengan putusan tersebut. Sejak dulu, mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang senang mengkritik KPK. Dia menyebut KPK layaknya lembaga kultus, padahal ada setan di dalamnya.

Ketika pemerintah juga ikut satu suara dengan DPR, Fahri angkat bicara soal sikap Presiden Joko Widodo. Biasanya, dia mengkritik. Namun kali ini, Fahri justru menganggap KPK menjadi biang kerok yang menghabiskan batasan kesabaran Jokowi.

“Nah, inilah yang menurut saya puncaknya, Pak Jokowi merasa KPK adalah gangguan,” kata Fahri lewat pesan singkat kepada wartawan, Selasa (17/9/2019).

Yang mendasari penilaian Fahri adalah penetapan tersangka terhadap Kepala Badan Intelijen Negara, Budi Gunawan. Pada tahun 2015, Budi Gunawan (BG) dijadikan tersangka oleh KPK. Namun, lewat praperadilan, pria kerap disapa BG itu berhasil lolos. Kala itu, dia batal menjadi Kapolri.

“Jadi KPK itu membunuh karier orang dengan seenaknya saja, tanpa argumen, dan itu mengganggu kerja pemerintah, termasuk mengganggu kerja Pak Jokowi,” ucapnya lagi.

Padahal, bebasnya BG waktu itu tak lepas dari kontroversi. Sepanjang sejarah, KPK jarang meloloskan orang yang sudah menjadi tersangka. Hanya enam orang yang lolos dari KPK setelah menyandang status tersangka. Cara tersangka lolos adalah dengan memenangkan gugatan praperadilan.

Sedangkan satu orang yang berhasil lolos setelah mendapatkan vonis pengadilan yakni mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung.

Prinsip Waspada KPK : Didukung MK, Dihancurkan DPR

Salah satu ketetapan yang direvisi dalam UU KPK ada di Pasal 40. Sebelumnya, beleid itu tidak mengizinkan penghentian penyidikan oleh KPK. Namun, setelah direvisi, KPK boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti halnya polisi dan kejaksaan.

Perubahan ini sebenarnya menentang prinsip pengadaan UU Nomor 40 tersebut. Dalam Jangan Bunuh KPK (2016) mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menjelaskan bagaimana Pasal 40 bisa ditulis dan bertahan hingga sekarang.

Sebelum terbentuk KPK, Indonesia mempunyai Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang dibentuk melalui Undang-undang tahun 1999. Lima tahun berselang, KPKPN dilebur ke dalam KPK.

Menurut Denny, pihak KPKPN saat itu mempermasalahkan Pasal 40 yang ada dalam UU KPK. Tidak adanya kewenangan menghentikan penyidikan dianggap KPKPN bertentangan dengan hak asasi manusia.

Ada 32 anggota KPKPN yang memohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Namun melalui putusannya, MK berpandangan KPK mempunyai hukum acara khusus yang sifatnya lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

“Ketentuan tersebut justru untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar. […] Jika KPK diberikan wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara korupsi yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain, dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan,” kutip Denny dari pendapat MK.

Pasal ini kembali mencuat dalam uji materi tahun 2006 yang diajukan oleh mantan anggota-anggota KPU, salah satunya Mulyana Wira Kusumah. Dengan tidak adanya SP3, nama mereka akan selalu tercoreng dengan lekatnya identitas “tersangka” kasus korupsi.

Namun, MK bergeming. Dalam pendapat MK yang dikutip Denny, meski nantinya KPK keliru dan tidak menemukan tindak pidana, perkara korupsi tetap harus disidangkan. Di dalam persidangan, KPK harus berani mengajukan tuntutan untuk membebaskan tersangka.

“Hal demikian adalah lebih baik daripada memberi kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, baik dari perspektif kepentingan terdakwa, dari perspektif kepentingan publik, maupun dari perspektif kepentingan aparat penegak hukum sendiri,” tulis Denny.

Dengan adanya persidangan yang memberikan vonis bebas pada tersangka (dalam persidangan menjadi terdakwa), maka seharusnya pertanggungjawaban KPK akan lebih besar. Publik bisa melihat apabila KPK memang melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.

MK, masih dari Denny, berpandangan ketiadaan SP3 akan “menjauhkannya (KPK) dari purbasangka akan adanya 'permainan'". Yang dimaksud permainan di sini adalah kesepakatan tertentu yang mungkin terjadi untuk meneruskan atau menghentikan penyidikan.

Menurut Denny, KPK sebenarnya tak lepas dari kesalahan. Kekalahan KPK di praperadilan pada 2004 dan 2006 sudah menunjukkan fakta tersebut, bahwa penetapan tersangka tidak tepat.

Prosedur hukum itu yang seharusnya digunakan untuk menghentikan kasus, bukan dengan SP3. Bagi Denny, menyoal Pasal 40 adalah tindakan yang menihilkan hormat pada putusan MK, lembaga peradilan tertinggi.

“Memperdebatkan dan mempersoalkan lagi ketiadaan kewenangan SP3 KPK karenanya adalah bentuk pelecehan dan ketidakhormatan para penyoal itu—yang beberapa di antaranya adalah penyelenggara dan pejabat tinggi negara—atas putusan Mahkamah,” tegas Denny.

Seakan tak peduli pada tulisan Denny tiga tahun lalu, DPR dan pemerintah sepakat kewenangan SP3 harus diberikan pada KPK.

Koruptor Belum Aman dari KPK

Di luar gedung DPR, kala UU KPK yang baru disahkan, ratusan orang rela membiarkan peluh membasahi wajah. Mereka menuntut DPR berpikir ulang dua kali untuk mengesahkan UU KPK. Tapi, rupanya percuma.Wacana revisi ini sudah bergulir sejak 2015. Di pengujung masa jabatannya, DPR dan Jokowi menginjak pedal gas penuh.

Jokowi beralasan, perlunya wewenang SP3 dalam batasan waktu penyidikan dua tahun semata demi menjaga hak asasi manusia dan kepastian hukum –mengesampingkan pendapat MK.

Alasan Jokowi sebenarnya tak relevan. Selain karena pendapat MK, mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samat Rianto dalam buku Koruptor Go to Hell! Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia (2009) menilai, selain praperadilan, tersangka korupsi nantinya bisa menuntut rehabilitasi nama baik atau bahkan kompensasi akibat tindakan KPK.

Hal itu cukup untuk menghukum kelalaian KPK menetapkan tersangka tanpa dasar yang kuat.

Ada beberapa alasan berhentinya penyidikan, misalnya kurangnya alat bukti, tidak adanya tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia. Namun, tidak jelasnya tolak ukur penerbitan SP3 dari kepolisian bisa menjadi pengalaman buruk untuk pemberantasan korupsi mendatang.

Dalam kasus chat mesum pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab, polisi menerbitkan SP3. Mabes Polri hanya menjelaskan, penyidik punya alasan sendiri dengan keputusan itu. Namun, alasan konkretnya tak pernah terungkap sampai sekarang.

Mantan Kepala Bareskrim Polri Komjen (purn) Susno Duadji menyebut banyak makelar kasus di tubuh Polri.

Bagaimana bila di KPK menerapkan sistem yang serupa?

Nantinya KPK bisa mengeluarkan SP3 hanya dengan pertimbangan tidak jelas, yang sudah dilihat oleh MK sejak lama sebagai “permainan”.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar sepakat dengan MK: SP3 bisa dimanfaatkan oleh oknum di KPK untuk kepentingan ekonomi.

Kemungkinan buruk lainnya dari SP3 adalah memburuknya kinerja dan integritas KPK.

Sejauh ini KPK sangat berhati-hati menetapkan seseorang sebagai tersangka, bahkan melakukan penahanan. Dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara Rp2,3 triliun, KPK membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menyelesaikannya.

Hasilnya sejalan, tidak ada satu pun tersangka yang mendapat vonis bebas.

Infografik SP3 KPK

Infografik SP3 KPK. tirto.id/Fuadi

Kerumitan bagi KPK soal SP3 ini adalah, mereka hanya punya waktu dua tahun untuk menyidik. Sedangkan bila kasus terus berada di penyelidikan, gerak mereka terbatas. KPK tidak bisa melakukan penyadapan misalnya.

Di sisi lain, penyelidikan dalam waktu lama juga bisa membuat pelaku mengamankan diri, misalnya pergi ke luar negeri sebelum penyidikan. Ketika kasus sudah disidik, tersangka menunggu dua tahun agar kasusnya dilakukan SP3.

Apabila KPK diberikan kewenangan melakukan SP3, kemungkinan untuk menjadikan orang sebagai tersangka dengan seenaknya juga akan terbuka lebar. Memakai prinsip kepolisian, seseorang sudah bisa jadi tersangka hanya dengan dua alat bukti saja.

Alat bukti itu juga belum tentu pasti membawa pelaku ke dalam jeruji besi atau penuntutan.

Namun, celah yang bisa dimanfaatkan KPK sebenarnya adalah ketiadaan aturan kedaluwarsa penanganan kasus korupsi. Keberadaan SP3 tidak menutup kemungkinan penyidikan dibuka kembali kapan saja dengan adanya alat bukti tambahan. SP3 bisa sia-sia belaka.

“Jika dalam perkembangan ada bukti baru ditemukan, kasus dapat ditindaklanjuti, SP3 bisa dicabut kembali,” kata anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu kepada Tirto, Rabu (18/9/2019).

Kekhawatiran pemberantasan korupsi memburuk karena pimpinan KPK yang baru dan revisi UU KPK memang wajar. Pada 2015, banyak yang mengira pimpinan KPK yang dilantik akan membuat pemberantasan korupsi melempem. Nyatanya, operasi tangkap tangan (OTT) banyak dilakukan. Pemerintah dan DPR sekarang justru menjadi musuh pimpinan KPK 2015-2019 yang dulu mereka percaya.

Sekarang? Kondisinya mirip. Meski pimpinan KPK dan UU KPK yang baru didukung DPR dan pemerintah, belum tentu KPK bisa jadi pemuas nafsu keduanya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf