Menuju konten utama

Kualitas Garam Hanya Lagu Lama Pemerintah Biarkan Petani Terpuruk

Ketua APGI Jakfar Sodikin menilai jika pemerintah serius menjaga harga garam dan memastikan produksi petani diserap, maka importasi sebesar itu seharusnya tidak terjadi.

Kualitas Garam Hanya Lagu Lama Pemerintah Biarkan Petani Terpuruk
Petani memanen garam di Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (12/11/2019). ANTARA FOTO/Saiful Bahri/hp.

tirto.id - Petani garam kembali mengeluh soal harga komoditas garam rakyat. Sebab, harga di sejumlah wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah jatuh di angka Rp150 per kilogram. Sementara di wilayah lain, seperti Madura agak beruntung karena masih sedikit lebih tinggi di kisaran Rp200 per kilogram dan ada yang menyentuh Rp300 per kilogram.

Asosiasi Petani Garam (APGRI) hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. Pasalnya ada kelebihan pasokan garam. Imbasnya garam rakyat banyak yang tak terserap dan berujung pada jatuhnya harga garam.

“Benar harga garam di kisaran Rp150 per kilogram di Jabar dan Jateng. Saat ini kami bertahan dengan pasrah pada nasib,” ucap Ketua APGI Jakfar Sodikin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/1/2020).

Soal kelebihan pasokan ini, Jakfar yakin kalau importasi pemerintah jadi penyebab utamanya. Sebab, dari hitung-hitungan sederhana, ia mencatat kebutuhan garam nasional mencapai 4,2 juta ton per tahun.

Sementara itu, produksi garam dalam negeri hanya mencukupi 2,7 juta ton per tahun sehingga jumlah yang harus diimpor sebenarnya hanya 1,5 juta ton. Namun, kenyataannya importasi garam lebih dari itu.

Jumlah importasi garam bahkan menyentuh 3,7 ton selama 2018 dan 2,7 ton selama 2019.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang pun mengakui kalau akhir-akhir ini impor garam masih tinggi. Namun, ia beralasan kebutuhan komoditas garam di industri cukup tinggi dan importasi menjadi sesuatu yang tak bisa dtunda.

Masalahnya, kata Agus, kualitas garam rakyat tak memenuhi keinginan industri dengan kadar senyawa pembentuk garam atau Natrium Chlorida (NaCl) yang harus di kisaran 98-99 persen. Alhasil, ia menilai industri tidak boleh mati hanya karena tidak tersedia bahan baku garam yang mereka butuhkan di dalam negeri.

“Selama pasokan garam dan gula industri tidak mempunyai requirement tinggi untuk produk-produknya, mau tidak mau terpaksa kita harus impor, karena kita tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku,” ucap Agus saat ditemui di Kementerian Perindustrian, Senin (13/1/2020).

Pembicaraan mengenai kualitas garam rakyat ini memang bukan hal baru. Tatkala harga garam jatuh di pertengahan 2019, Kemenperin dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menggunakan alasan serupa kalau kualitas garam rakyat tak memenuhi standar.

Alasan ini juga dipakai untuk membendung kritik dari Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang sempat menuding ada kebocoran importasi garam, alih-alih digunakan di kalangan industri saja sehingga harga garam rakyat jatuh.

Menariknya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sudah sempat menyatakan pemerintah berkomitmen menyerap garam rakyat. Edhy juga meminta agar ada data produksi garam yang akurat sehingga pemerintah bisa memetakan kebijakan mana yang dapat mendukung garam rakyat.

“Kalau kita punya (produksi) 2,1 juta ton per tahun, semuanya harus terserap. Kalau kebutuhan nasional 4-5 juta ton per tahun, sisanya baru boleh impor. Yang jelas, kuota impor yang diberikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan,” ucap Edhy pada 27 November 2019 seperti dikutip dari Antara.

Hanya saja, sikap Edhy memang tak sepenuhnya tegas. Ia menyadari kalau importasi memang tidak bisa terlalu dibatasi karena khawatir akan terjadi permainan di petambak.

Edhy menghendaki agar ada keseimbangan karena ia juga tak mau kalau seandainya garam yang diimpor malah bocor ke pasaran dan harga kembali jatuh serta petambak merugi.

Namun, Ketua APGI Jakfar pun mempertanyakan langkah pemerintah. Menurut dia, jika pemerintah serius menjaga harga garam dan memastikan produksi petani diserap, maka importasi sebesar itu seharusnya tidak terjadi.

“Pemerintah? Solusinya saya dengar malah meningkatkan kuota impor. Biar petambak garamnya tambah sekarat,” ucap Jakfar.

Jakfar juga tak setuju soal argumentasi pemerintah dan industri yang mempersoalkan rendahnya kualitas garam petambak.

Ia menilai tak adil bila garam petambak dibandingkan dengan kualitas garam seperti di Australia selaku negara sumber impor garam terbesar Indonesia yang produknya sudah melalui proses pengolahan yang panjang.

“Yang jelas garam rakyat adalah garam bahan baku yang langsung dari tambak, belum terjadi proses pengolahan sama sekali. Tidak fair apabila dibandingkan dengan garam Australia yang sudah dilakukan pengolahan atau pencucian garam sampai 2 kali,” ucap Jakfar.

Respons PT Garam

Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko mengatakan importasi yang dilakukan pemerintah tanpa disadari malah berdampak pada efektivitas penyerapan garam rakyat. Ia bilang perusahaannya sudah berupaya semaksimal mungkin menyerap garam rakyat.

Di Madura misalnya, kata dia, gudang PT Garam sudah kepenuhan sampai-sampai mereka harus membuka fasilitas penyimpanan secara terbuka di luar gudang. Selama 2019 saja ada penyerapan sebanyak 24 ribu ton dan 15 ribu ton lagi di 2020.

Menurut dia, semua dilakukan dengan keterbatasan dana penyertaan modal negara (PMN). Namun, lagi-lagi dampaknya harga masih stagnan dan cenderung menurun. Di tengah kondisi ini, ia menyebutkan serapan garam rakyat juga semakin terbatas karena adanya impor.

“Besar-kecilnya penyerapan itu seharusnya memengaruhi kondisi garam rakyat. Ada perbaikan secara psikologis. Tapi dengan penyerapan kami dan produsen lain, secara psikologis tidak menolong banyak karena impor masih digelontorkan terus,” ucap Budi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (13/1/2020).

Baca juga artikel terkait GARAM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz