Menuju konten utama

Kronologi Penangkapan Massa Aksi Tolak Otsus Jilid II di Nabire

Juru Bicara PRP Jefry Wenda mengatakan aksi tolak Otonomi Khusus Jilid II, Kamis (24/9/2020) berujung pada penangkapan peserta aksi.

Kronologi Penangkapan Massa Aksi Tolak Otsus Jilid II di Nabire
Ilustrasi Konflik Papua. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ribuan orang dari Petisi Rakyat Papua (PRP) Wilayah Meepago berkumpul untuk aksi tolak Otonomi Khusus Jilid II, Kamis (24/9/2020), sekira pukul 06.30 di daerah Siriwini, Karang Tumaritis, Universitas Satya Wiyata Mandala, Kalibobo, SP, dan Wadio/Wonerejo.

Tempat tujuan aksi damai yakni kantor Bupati Kabupaten Nabire dan mereka telah mengirimkan surat pemberitahuan demonstrasi empat hari sebelumnya ke pihak Polres Nabire. Juru Bicara PRP Jefry Wenda mengatakan polisi tidak menerbitkan tanda terima surat.

“Kami sadar tugas polisi untuk mengamankan jalannya aksi, tidak ada alasan membatasi aksi,” ucap dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (25/9/2020).

Saat aksi berlangsung, anggota TNI dan Polri datang untuk berjaga. Aparat berseragam dan bersenjata lengkap, mobil water canon pun dikerahkan, mereka datang lebih dahulu ketimbang massa.

Begitu demonstran datang, polisi mulai menangkap sebagian massa. “Sekitar 100 orang dibawa ke Polres Nabire. Kesalahan polisi, dong tak tahu kalau ada barisan massa yang cukup besar, ribuan [orang datang] dari arah SP hingga Wadio. Mereka longmarch,” jelas Jefry.

Ada polisi, lanjut dia, yang merampas ponsel massa, mengancam, dan pemukulan ‘yang tidak parah’. Mengetahui rekannya ditangkap dan digiring ke kantor polisi, massa menyambanginya. Mereka membatalkan orasi di depan kantor bupati.

Kehadiran massa ke Polres Nabire guna meminta kepolisian melepaskan kawan-kawannya. Perwakilan massa dan polisi bernegosiasi. Hasilnya, di depan markas polisi itu demonstran yang juga ditemani oleh kepala-kepala suku setempat, dipersilakan berorasi dan membacakan sembilan tuntutan yang isinya, jika disarikan, yakni:

Menolak perpanjangan Otsus Jilid II di Papua dan Papua Barat; memberikan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri via referendum; penarikan aparat; juga mengutuk penembakan terhadap pendeta.

Usai pembacaan tuntutan, 100 orang peserta aksi itu dibebaskan. Massa mulai membubarkan diri sekitar pukul 17.30. Jefry menyatakan para demonstran paham agar tak terprovokasi karena penangkapan, namun watak kepolisian ia sebut reaksioner dan arogan. “Berhadapan dengan mereka itu sudah konsekuensi kami.”

Rencana aksi lanjutan tolak Otsus Jilid II akan berlangsung, belum diketahui waktu pastinya. Menurut Jefry, rakyat perlu berekspresi karena otsus di sana dianggap tak bermanfaat, ‘hanya menciptakan raja-raja baru di Papua yang menindas orang Papua’.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal menyangkal ada penangkapan massa. “Tidak ada. Mereka pasca-orasi di Polres Nabire, bubar. Massa mau ke kantor bupati, karena bupati tidak ada, maka massa diarahkan ke polres dan temu beberapa tokoh,” ucap dia ketika dikonfirmasi Tirto, Jumat (25/9).

Sementara, berdasarkan keterangan tertulis dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua pada 23 September, ada tujuh demonstran yang ditangkap dalam aksi serupa di Timika yaitu Petrus Aim, Fredy Yeimo, Ardi Murib, Dorlince Iyowau, Melvin Yogi, Penehas Nawipa, dan Deborius Selegani. Demonstrasi damai itu dibubarkan paksa oleh polisi.

Kepala Sekretariat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk menyatakan kurang dari satu pekan ini banyak rentetan pelanggaran yang menimpa orang Papua, seperti penembakan yang berakibat kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa; aparat gabungan TNI-Polri merazia KTP dan kartu mahasiswa terhadap mahasiswa Papua di asrama Kota Manado, Tomohon.dan Tondano; maupun pengepungan dan intimidasi dari ormas di Kota Makassar bagi pendukung Petisi Rakyat Papua.

Markus berpendapat, selama 57 tahun (1963-2020) Indonesia menduduki Papua, ruang demokrasi dibungkam dengan hukum dan senjata militer.

”Pembunuhan terhadap rakyat dan bangsa Papua terjadi depan mata rakyat pun selalu disangkal dan dianggap hal biasa. Nyawa manusia Papua dianggap benda yang tidak ada nilainya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (25/9).

Baca juga artikel terkait OTSUS PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri