Menuju konten utama

Kronologi Dugaan Penganiayaan Lima Warga Pubabu vs Satpol PP

Tim Hukum Masyarakat Pubabu menjelaskan kronologis dugaan penganiayaan terhadap masyarakat adat Pubabu oleh personel satpol PP.

Kronologi Dugaan Penganiayaan Lima Warga Pubabu vs Satpol PP
Ilustrasi penganiayaan. FOTO/iStockphoto.

tirto.id - Ketua Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae Akhmad Bumi menceritakan kronologi dugaan penganiayaan terhadap masyarakat adat Pubabu oleh personel satpol PP.

Pada 14 Oktober, sekira pukul 11.48, rombongan Pemprov Nusa Tenggara Timur bersama delapan anggota TNI, tiga personel Polri, dan 200 orang lainnya mendatangi kampung tersebut.

Tujuan kedatangan rombongan itu hendak melakukan penghijauan dengan menanam lamtoro di lahan masyarakat adat. Namun, warga setempat menolaknya lantaran belum rampungnya konflik tanah di sana, serta masih dalam situasi pandemi COVID-19.

"Pukul 13.00, terjadi keributan antara masyarakat adat dan rombongan pemprov. Tindakan represif dilakukan kepada warga di hadapan anak-anak dan perempuan," ujar Akhmad ketika dihubungi Tirto, Kamis (15/10/2020).

Terduga pelaku merupakan personel Satuan Polisi Pamong Praja, sedangkan lima warga menjadi korban.

Mereka adalah Debora Nomleni (perempuan, 19 tahun, tangan diputar sampai keseleo); Demaris Tefa (perempuan, 48 tahun, dicekik, dibanting, lehernya luka dan pingsan); Garsi Tanu (laki-laki, 10 tahun, ditarik-tarik); Novi Tamonob, perempuan, 15 tahun, dibanting, ditendang, badan penuh lumpur); dan Marni Taseseb (perempuan, 28 tahun, didorong sampai jatuh).

Tim Hukum mengecam tindakan kekerasan terhadap warga tersebut, serta mendesak DPRD Nusa Tenggara Timur untuk meminta penjelasan resmi Pemprov Nusa Tenggara Timur atas tanah masyarakat adat Pubabu-Besipae.

"Hentikan segala aktivitas di atas tanah adat sebelum adanya penyelesaian masalah tanah, kembali tanah tersebut kepada masyarakat adat," jelas dia.

Warga juga pernah menolak kedatangan rombongan Wakil Rektor II Universitas Nusa Cendana pada 16 September, ketika hendak membersihkan lokasi untuk persiapan kedatangan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laisdokat; dan sembilan hari kemudian saat rektor universitas itu memastikan pembersihan lokasi tersebut.

Akhmad bersama perwakilan warga membuat laporan dugaan penganiayaan ke Polda Nusa Tenggara Barat. Pengaduan itu terdaftar dengan Nomor: LP/B/418/X/RES.1.24/2020/SPKT bertanggal 15 Oktober 2020. Sementara, Kapolres Timor Tengah Selatan AKBP Aria Sandy mengaku pihaknya belum mendapatkan informasi dugaan tindak pidana tersebut.

"Belum ada laporan tentang itu, yang ada laporan pengeroyokan oleh masyarakat kepada salah satu petugas pemprov," kata dia ketika dikonfirmasi, Kamis (15/10).

Kasat Pol PP NTT Cornelis Wadu membantah aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah pria dan anak buahnya di Desa Pubabu-Besipae. "Itu tidak benar. Nanti untuk lebih jelasnya konfirmasi langsung ke Plt Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT Welly Rohimone," ujar dia.

Welly pun membantah kekerasan itu. Menurutnya, anak buahnya yang menjadi korban kekerasan. “Anak buah saya yang justru jadi korban dan mengalami memar di bagian belakang atas kepala,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri