Menuju konten utama

Kritik-Kritik dari Kebiasaan Bongkar Pasang Direksi Pertamina

Pencopotan Dirut Pertamina yang terlalu sering kembali memunculkan pertanyaan, ada agenda apa?

Kritik-Kritik dari Kebiasaan Bongkar Pasang Direksi Pertamina
Dirut Pertamina Elia Massa Manik memberi paparan dalam Sarasehan Nasional Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) bertajuk Pertamina Punya Siapa dan Mau Dibawa Kemana?, Selasa (19/12/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Adanya anggapan posisi direktur utama BUMN PT Pertamina (Persero) adalah kursi panas, maka itu ada benarnya. Elia Massa Manik yang baru genap setahun memimpin di Pertamina sudah lengser sejak mencicipinya pada medio Maret 2017 lalu.

Pada 20 April 2018, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mencopot Elia Massa Manik dari posisinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Nicke Widyawati ditugaskan menggantikannya dengan status Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama sekaligus Direktur Sumber Daya Manusia (SDM).

Selain Elia Manik, ada empat orang lain di jajaran direksi Pertamina yang juga mengalami hal serupa. Keempat orang tersebut adalah Muchamad Iskandar, sebelumnya menjabat Direktur Pemasaran Ritel, Toharso yang sebelumnya menjabat Direktur Pengolahan, Dwi Wahyu Daryoto yang sebelumnya Direktur Manajemen Aset, dan Ardhy N. Mokobombang yang merupakan Direktur Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai pergantian tersebut tidak transparan. Ia menilai Pertamina di bawah pimpinan Elia Manik cukup sukses, salah satu parameternya adalah dapat memenuhi target program BBM Satu Harga di 54 titik sesuai arahan Presiden Jokowi. Menurut Enny, dengan capaian tersebut cukup mengherankan, bahwa Elia yang baru menjabat pada 16 Maret 2017 itu harus lengser.

"Pemegang saham harus menyebutkan alasan pergantian Dirut Pertamina. Bagaimana cara mengelola BUMN, bagaimana pemberhentian dan pengangkatan, semua ada aturannya," kata Enny dikutip dari Antara.

Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Herman Khaeron, pencopotan ini adalah implikasi dari tidak segera dilaksanakannya SK-39/MBU/02/2018. SK ini salah satunya menetapkan agar PT Pertamina memecah Direksi Pemasaran jadi tiga, yaitu Korporat, Ritel serta Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur. Di luar itu ia berpendapat kinerja Elia Manik sebetulnya cukup baik.

Politikus fraksi Demokrat ini mendorong pemerintah mempertimbangkan ulang keputusannya. Menurutnya investor dan publik bisa-bisa hilang kepercayaan karena Dirut Pertamina terlalu sering diganti: sejak empat tahun terakhir. Sejak Karen Agustiawan mundur 1 Oktober 2014, kursi dirut Pertamina silih berganti hingga empat orang, antara lain Plt Muhammad Husein, Dwi Soetjipto, Plt Yenni Adayani, dan Elia Massa Manik.

"Itu berpotensi menyebabkan investasi melambat. Dari situ, dapat berkaitan dengan kinerja perusahaan," ucap Herman.

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menilai hal serupa, bahwa perombakan jajaran direksi yang terlalu sering tidak bagus bagi bisnis. Bongkar pasang tersebut dapat berdampak pada kelanjutan program-program yang sudah disusun.

Pri Agung mengindikasikan bahwa dirinya percaya pemerintah telah mempertimbangkan keputusan tersebut secara matang, terlebih "untuk perusahaan sebesar Pertamina sudah memiliki sistem yang mapan," sehingga agak sulit membayangkan kinerja mereka bakal langsung anjlok ketika salah satu atau beberapa pimpinan diganti.

Ia enggan menilai apakah keputusan pemerintah itu tepat atau tidak. Namun yang jelas, pemerintah, sebagai pemegang saham paling banyak, memang punya kewenangan menunjuk dan mengganti direksi termasuk dirut BUMN.

"Sepanjang sudah didasarkan atas evaluasi yang jelas, menurut saya hal itu (pencopotan) bisa dilakukan," kata Pri Agung.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara punya spekulasi yang lebih liar. Menurut Marwan kepada Tirto, "kebijakan pemerintah lewat Kementerian BUMN tersebut sarat kepentingan politik dan perburuan rente."

Menurut Marwan, pemerintah telah berbuat semena-mena terhadap Pertamina di bawah kepemimpinan Elia Manik. Ia menilai pemerintah hanya menginginkan citra yang baik melalui keputusan untuk tidak menaikkan harga BBM. Padahal di sisi lain, Pertamina cenderung kesulitan untuk memenuhi keinginan pemerintah tersebut di tengah kondisi harga minyak global yang terus naik.

Ia melihat iklim manajerial Pertamina ke depannya bakal bergantung pada jajaran direksi yang baru ditunjuk. Marwan menyebutkan bahwa Pertamina bisa terus mengikuti keinginan pemerintah yang sebetulnya merugikan sisi internal korporasi apabila pemimpinnya cenderung berlaku "yes man."

Sikap "yes man" ini yang menurut Marwan jadi kriteria utama penunjukan orang-orang baru di Pertamina.

"Ini artinya [pengangkatan yes man] kan untuk memuluskan agenda politik Joko Widodo," ungkap Marwan.

Infografik current issue ginta ganti dirut pertamina

Ferry Andrianto Kabag Humas dan Protokol Kementerian BUMN, menampik semua tuduhan itu. Ia mengatakan kepada Tirto pada Minggu (29/4/2018) bahwa "perombakan telah dipertimbangkan berdasarkan poin-poin sebagaimana yang disampaikan pada konferensi pers Jumat lalu."

Pada hari Jumat itu, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan perombakan dilakukan karena evaluasi terhadap beberapa kondisi, seperti holding migas BUMN, kelangkaan BBM, kilang-kilang yang belum jadi sesuai Refinery Development Master Plan (RDMP), hingga terjadinya tumpahan minyak di perairan Balikpapan akhir Maret lalu.

"Pak Tuharso karena kejadian Balikpapan, pak Is (Muchamad Iskandar) karena sakit, sisanya RDMP tidak jalan," kata Fajar di Kementerian BUMN, Jakarta.

Ia mengungkapkan, jajaran komisaris sudah melakukan kajian komprehensif selama satu bulan. "Ini sudah dilaporkan dan sudah diberhentikan dengan hormat," ujarnya.

Fajar menegaskan institusinya berharap dengan perombakan ini tugas-tugas Pertamina dan pembenahan manajemen bakal segera rampung.

Sejak berdiri pada 1957, Pertamina sudah memiliki 17 dirut termasuk Nicke Widyawati yang menjabat sebagai Plt. Artinya rata-rata jabatan dirut Pertamina hanya bertahan 3,5 tahun. Perombakan yang begitu cepat akan menyulitkan Pertamina untuk melakukan transformasi sebagai perusahaan energi yang kuat dan besar.

Infografik Dirut Pertamina

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino