Menuju konten utama

Kritik Koalisi: Omnibus Law Merusak Ekologi & Pinggirkan Perempuan

Pemerintah Indonesia memaksakan pembuatan Omnibus Law. Parahnya, rakyat dan lingkungan akan terpinggirkan, sedangkan kelompok pemodal diuntungkan.

Kritik Koalisi: Omnibus Law Merusak Ekologi & Pinggirkan Perempuan
Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Joko Widodo menargetkan jajarannya untuk merampungkan draf undang-undang ‘sapu jagat’ Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebelum 100 hari menjabat sebagai Presiden RI di periode kedua.

Ia memerintahkan kepada Kapolri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan seluruh kementerian yang berkaitan dengan komunikasi untuk mendekati organisasi-organisasi agar Omnibus Law diterima.

Omnibus Law akan merevisi 1.244 pasal pada 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster mencakup penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri.

Koalisi masyarakat sipil terdiri atas LBH Jakarta, SINDIKASI, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan serikat buruh menyuarakan kegeramannya.

Menanggapi arahan Jokowi agar aparat mendekati organisasi masyarakat, Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengkritiknya.

Menurut dia, lembaga negara yang ditugaskan mendekati, diprediksi tak tercipta sebuah dialog, melainkan akan rawan terjadi intimidasi dan represi, merujuk tindakan aparat selama yang terkesan represi.

“Pak Jokowi bilang, itu teman-teman yang menolak Omnibus Law, tolong diajak diskusi. Tapi yang disuruh siapa? BIN, Polisi, Jaksa. Ini diskusi atau intimidasi?” katanya.

Arif menduga langkah Jokowi tersebut seolah menegaskan bahwa rakyat tak boleh mengkritisi Omnibus Law. Serta memiliki anggapan penolakan terhadap Omnibus Law adalah pemikiran yang keliru.

Kata Arif, seharusnya pembentukan aturan menyertakan semua pemangku kepentingan, termasuk rakyat. Salah satunya adalah masyarakat yang nantinya akan terdampak.

Namun, menurut Arif, sejauh ini orang-orang yang terlibat hanya orang-orang tertentu sehingga ke depan akan cenderung terjadi pendekatan yang destruktif.

Ia menyebut pembentukan Omnibus Law ugal-ugalan. Seperti halnya revisi Undang-Undang KPK yang berjalan sangat cepat. Peraturan sapu jagat ini juga berpotensi sama karena harus selesai dalam 100 hari.

Pinggirkan Perempuan dan Perparah Kerusakan Ekologi

Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menilai Omnibus Law, yang sedang dirancang oleh pemerintah, akan mengancam dan merugikan kaum perempuan di lingkungan tenaga kerja di Indonesia.

"Omnibus Law adalah konsolidasi oligarki politik dan cara terakhir negara menyelamatkan elit politik oligark. Tak ada satu pun pasal atau kata "perempuan" dalam draf RUU yang dibuat. Padahal kabar terakhir RUU itu sudah masuk prolegnas," kata Ika, dalam diskusi di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (19/1/2020).

Kata Ika, dalam draf Omnibus Law tak ada penyertaan hak khusus untuk cuti melahirkan bagi perempuan.

"Jaminan seperti itu dihilangkan. Dari aspek perempuan, bahkan enggak ada kata ‘perempuan’ atau fasilitas bagi perempuan," katanya.

Menurut Ika, RUU Cipta Lapangan Kerja yang dibentuk oleh pemerintah hanya sekadar menyediakan lapangan pekerja, namun tak memperhatikan kualitas pekerjanya.

Ia menilai Omnibus Law akan menganggap pekerjanya bukan untuk manusiawi, tapi hanya agar tidak mati hari ini.

"Penyediaan lapangan kerja, tapi tidak untuk meningkatkan kualitas. Pekerja hanya untuk bisa hidup hari ini dan esok hari saja," katanya.

Ia juga mengkritik keras logika RUU Omnibus Law yang fleksibel dalam ranah investasi dan para pemodal.

"Ada kemudahan izin, kemudahan birokrasi, perusahaan bisa mudah tinggalkan pabrik karena pailit padahal pekerjanya perempuan semua. Dalam logika tersebut, hak perempuan sangat mengganggu fleksibilitas itu. Hak perempuan yang sering disuarakan adalah hak cuti hamil, hak fasilitas khusus pas hamil, hak cuti haid. Itu hak khusus semua," katanya.

Kata Ika, pekerja perempuan yang sedang hamil membutuhkan perlakuan khusus karena tubuhnya telah berubah bentuk.

"Dan tentu, ini bertolak belakang dari logika industri dan investasi. Kerja reproduksi tidak dianggap kerja yang menopang produksi kapital, itu logila dalam sistem kerja produksi patriarki," katanya.

"Kita sudah sampai ke tahap negara abai terhadap demokrasi. Pemerintah menggadang-gadang tenaga kerja murah dan fleksibel, ini adalah langkah terakhir negara bagaimana watak negara tidak prorakyat," katanya.

Dampak lingkungan dari Omnibus Law ini telah dipetakan juga oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Koordinator JATAM, Merah Johansyah, menilai bahwa Omnibus Law akan menimbulkan daya rusak yang tinggi terhadap aspek pertambangan dan lingkungan hidup di Indonesia.

"Menurut saya, rancangan Omnibus Law akan resmi melakukan pengusiran, peracunan, dan akan membentuk pengungsian sosial ekologi kolosal di Indonesia, karena akan adanya bencana lingkungan hidup di Indonesia," kata Merah.

"Padahal BNPB pernah menyebut ada sekitar enam juta warga mengungsi massal akibat kerusakan dan bencana lingkungan," lanjutnya.

Merah mengaku pihaknya telah melakukan pemetaan bahwa akan ada tiga UU yang akan terintegrasi atau diselaraskan dengan RUU Omnibus Law, yaitu UU 4/2008 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Kata dia, Omnibus Law akan banyak melakukan perubahan, penghapusan, dan penambahan pasal terhadap tiga UU itu.

"Contoh, yang awalnya ‘izin usaha pertambangan’ akan diubah menjadi ‘perizinan berusaha pertambangan’," katanya.

Tak hanya itu, kata Merah, Omnibus Law akan berusaha menghapus tahapan-tahapan produksi ketika korporasi ingin melakukan pertambangan.

"Awalnya kan ada eksplorasi, terus produksi, dan seterusnya. Nah, tahapan itu akan dihapus. Pemodal akan untung karena langsung dapat izin jadi satu," katanya.

Kata Merah, juga akan ada penambahan pasal mengenai masa perizinan tambang yang tak kenal masa waktu, terutama untuk proyek tambang yang terintegrasi dengan pemurnian (hilirisasi).

"Ini akan enggak ada batas waktu terutama yang terintegrasi dengan pemurnian, atau hilirisasi. Biasanya kan ada batas waktu, 20 tahun misalnya. Ini menunjukkan bahwa watak energi kita masih energi kotor seperti batubara," katanya.

Selanjutnya, kata Merah, pasal yang mengatur pembatasan luasan konsesi hanya 15.000 hektare, juga akan dihapus. Dengan demikian, katanya, berbagai perusahaan tambang yang memiliki program hilirisasi akan dengan mudah mengusir masyarakat adat.

"Tak hanya itu, masih banyak yang lain. Seperti negara juga tak memiliki kewajiban memungut royalti. Di lain sisi, pengusaha juga enggak wajib bayar royalti. Juga hilangnya pasal pidana lingkungan ke korporasi, yang diubah jadi sanksi administratif. Dan dalam UU Kehutanan bahwa ada alokasi ruang untuk hutan sebesar 30 persen tiap daerah, itu juga dihilangkan," katanya.

"Saya harap kita bisa bersatu semua menolak dan melawan RUU Omnibus Law," lanjutnya.

Ajukkan Constitutional Complaint ke MK

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, berencana untuk mengajukan Constitutional Complaint ke Mahkamah Konstitusi untuk RUU Omnibus Law, yang sedang dirancang oleh pemerintah.

Karena menurut Arif, tak ada dasar konstitusional pembentukan RUU Omnibus Law ini.

“Saya berpendapat bisa [ajukan Constitutional Complaint]. Kenapa? Karena setiap perbuatan pemerintah ini harus ada landasan konstitusi. Sedangkan landasan peraturan perundang-undangannya [Omnibus Law] tidak ada,” kata Arif.

Kata Arif, RUU Omnibus Law bisa dikatakan perbuatan yang melawan hukum karena tak ada dasar hukumnya.

Ia menilai banyak cara melakukan gugatan terhadap tindakan itu banyak, seperti Judicial Review, Citizen Lawsuit, Class Action, hingga ada mekanisme bernama Constitutional Complaint.

Kata Arif, jika Judicial Review melakukan gugatan terhadap UU yang sudah jadi, namun Constitutional Complaint adalah upaya memperingatkan Mahkamah Konstitusi agar memeriksa RUU yang sedang dibahas.

Constitutional Complaint, kata Arif, memang belum pernah dilakukan di Indonesia. Tapi bukan tidak mungkin mendorong pengadilan untuk menerima permohonan ini.

Ia menjelaskan, Constitutional Complaint ini pernah ditulis sebagai disertasi oleh mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna. Metode ini memungkinkan sebuah RUU untuk dicek ke Mahkamah Konstitusi.

Arif mengambil contoh pengadilan konstitusi yang menerapkan sistem ini adalah salah satunya di Perancis. Sedangkan Indonesia masih bersifat represif, bukan preventif. Padahal kata Arif, hal tersebut cukup berisiko.

“Tindakan itu memiliki risiko tinggi dengan rancangan undang-undang yang bermasalah,” katanya.

Meski demikian ia mengaku masih membutuhkan kajian mendalam apakah bisa diajukan atau tidak. Namun sebagai sebuah wacana, ia meyakini hal tersebut dapat dilakukan.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali