Menuju konten utama

Kritik Klaim Muhadjir, Epidemiolog: secara De Jure RI Masih Pandemi

Dicky Budimana menyebut otorisasi perubahan status pandemi ke endemi di bawah WHO bukan pemerintah.

Kritik Klaim Muhadjir, Epidemiolog: secara De Jure RI Masih Pandemi
Atlet layar Bali I Gusti Made Oka Sulaksana menjalani tes usap PCR COVID-19 dalam persiapan mengikuti PON XX Papua di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali, Denpasar, Bali, Kamis (23/9/2021). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/hp.

tirto.id - Dua epidemiolog yaitu Dicky Budiman dari Griffith University dan Pandu Riono dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Effendy dua hari lalu menilai secara kenyataan yang sesungguhnya (de facto), Indonesia sudah masuk pada fase endemi COVID-19.

"Tanya fakta yg mana?” tutur Pandu kepada Tirto, Jumat (13/5/2022).

Sementara, Dicky mengungkapkan secara hukum (de jure), faktanya saat ini statusnya masih pandemi COVID-19. Otorisasinya tersebut di bawah World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia.

“Tapi secara de jure, faktanya saat ini statusnya masih pandemi. Dan itu otorisasinya di bawah WHO,” ucap Dicky kepada Tirto hari ini.

Sebelumnya, Muhadjir memang menilai secara de facto Indonesia sudah masuk pada fase endemi COVID-19. Hal ini berdasarkan data penanganan pandemi yang dipegang oleh pemerintah saat ini, ketika dibandingkan dengan indikator penanganan COVID-19.

“Intinya dilihat dari angka kasus aktif, positivity rate, tingkat okupansi rumah sakit, kemudian angka kematian sekarang sudah ada tanda-tanda bukan tertinggi dari penyakit yang ada,” ujar Muhadjir di Kantor Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia, Kebon sirih, Jakarta Pusat, Rabu (11/5/2022).

Merespons hal tersebut, Pandu menilai pemerintah harus melihat angka dari tren kasus COVID-19, pasien yang dirawat, dan kematian akibat COVID-19. Mereka harus melihat secara konsisten ketiga indikator itu. Dia juga menyarankan alangkah baiknya dibahas dahulu di rapat terbatas (ratas) mendatang.

“Yang dilihat adalah angka trennya yang harus konsisten. Tren kasus, yang dirawat, dan kematian. Ya sebaiknya dibahas dulu dalam ratas mendatang,” kata Pandu.

Adapun Dicky menilai positivity rate atau perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan di beberapa wilayah Indonesia masih ada di atas 5 persen. Bahkan secara nasional masih sedikit di atas 5 persen. Meski begitu, dia mengakui reproduction number atau angka reproduksi COVID-19 sudah di bawah 1.

“Ya bahwa reproduction number sudah 1 ke bawah. Positivity rate itu, beberapa wilayah bahkan masih ada di atas 5 persen sebetulnya. Maupun secara nasional masih sedikit di atas 5 persen kan,” terang Dicky.

“Artinya mau bagaimanapun, mau terkendali atau endemi sekalipun, ya ujungnya secara keseluruhan statusnya masih pandemi. Masih dalam status krisis kesehatan,” imbuh dia.

Dicky menuturkan, angka reproduksi COVID-19 saat endemi itu tidak statis tetapi sangat dinamis. Karena dalam perkembangannya mungkin tiap pekan atau hari, dalam satu wilayah penduduk akan ada perubahan komposisi penduduk yang rawan terjangkit virus menular tersebut.

“Setiap hari itu lahir bayi, terjadi perubahan komposisi penduduk akibat kematian, akibat perpindahan. Termasuk juga adanya potensi penurunan imunitas setelah divaksinasi atau terinfeksi setelah 3 atau 4 bulan. Nah itu merubah secara dinamis angka reproduksi itu. Jadi enggak statis,” jelas dia.

“Jadi, status apapun mau endemi atau dicabut status pandemi, tidaklah serta-merta menyelesaikan masalah,” pungkas Dicky.

Baca juga artikel terkait STATUS PANDEMI CORONA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri