Menuju konten utama

Kritik di Balik Ketatnya Perebutan Gelar Pemain Terbaik EPL

Di balik persaingan ketat Virgil van Dijk dan Raheem Sterling musim ini, ada kritik yang mengiringi cara PFA memilih pemain terbaik EPL selama beberapa tahun terakhir.

Kritik di Balik Ketatnya Perebutan Gelar Pemain Terbaik EPL
Nominasi Pemain Pemain Terbaik Putra PFA. FOTO/Twitter/PFA

tirto.id - Akhir pekan ini Professional Footballers Association (PFA) akan mengumumkan siapa pemain terbaik EPL musim 2018-2019. Enam nama masuk dalam daftar pendek nominasi. Mereka adalah Virgil van Dijk, Sadio Mane (Liverpool), Raheem Sterling, Sergio Aguero, Bernardo Silva (Manchester City), dan Eden Hazard (Chelsea).

Ada dua sosok yang diprediksi punya kans lebih kuat ketimbang empat pemain lain, yakni van Dijk dan Sterling.

van Dijk jadi unggulan terdepan menimbang performa fantastisnya musim ini. Statistik menunjukkan kalau di ajang EPL bek berpaspor Belanda itu sama sekali belum pernah dilewati dengan dribel oleh pemain lawan. Performa impresifnya juga terbukti dari catatan kemenangan duel udara (rata-rata 4,4 per pertandingan) serta clearance (rata-rata 5,4 per pertandingan).

Sementara untuk Sterling, rapornya tidak kalah mentereng. Kerap jadi andalan Pep Guardiola di sektor sayap, Sterling mencatatkan 17 gol dan 10 assist dari 31 penampilan di Liga Inggris. Menurut data Whoscored akurasi umpannya di EPL (85,9 persen) juga tergolong impresif untuk ukuran pemain depan.

Media asal Inggris, The Times memprediksi van Dijk yang akan memenangkan penghargaan kali ini. Ada dua alasan besar yang mendasari prediksi tersebut. Pertama, mereka telah mendapat bocoran dari para pemain yang menyumbangkan suaranya (voters) dan sebagian besar di antara mereka memang memilih van Dijk.

Kedua, The Times meyakini kalau kutukan bahwa pemain City tidak pernah memenangi gelar ini masih akan berlaku. Ya, sejak penghargaan PFA pertama kali diadakan pada 1960, memang belum ada satu pun pemenang gelar pemain terbaik yang berasal dari City.

Namun, prediksi tersebut tidak lantas mengakhiri perdebatan. Pengamat sepak bola Inggris, Garry Lineker meyakini kalau Sterling masih punya peluangnya sendiri. Secara pribadi, Lineker menjagokan Sterling karena dua alasan. Pertama, Sterling punya pengalaman tampil di Piala Dunia 2018, sesuatu yang tak dimiliki van Dijk.

"Sterling bisa membuktikan kalau dia mendapat sesuatu dari tampil di Piala Dunia. Dia bermain lebih hebat sesudah itu dan performanya luar biasa, itu yang tidak dimiliki van Dijk," ujar Lineker kepada BBC Sport.

Kedua, Lineker percaya kalau musim ini performa lini depan Manchester City (yang dihuni Sterling) lebih hebat ketimbang penampilan lini belakang Liverpool (yang dihuni van Dijk). Buktinya, di EPL City sudah bisa mencetak 157 gol meski kompetisi masih menyisakan tiga laga. Sepanjang sejarah EPL, catatan ini adalah produktivitas terbaik yang pernah ditorehkan oleh sebuah klub (dalam kurun semusim).

Waktu Pemilihan Tidak Pas

Namun, perdebatan tidak melulu muncul soal siapa yang layak jadi pemenang. Belakangan, media dan para pengamat sepak bola di Inggris mulai menyoroti cara PFA menentukan pemain terbaik EPL beberapa musim belakangan.

Sejauh ini, PFA menggunakan metode pemungutan suara (voting) dari para pemain di EPL. Sayangnya proses voting sudah ditutup sekitar empat pekan sebelum kompetisi EPL benar-benar berakhir.

Pengamat dan mantan pesepakbola Inggris, Owen Hargreaves menyebut hal itu harus dievaluasi. Bagi Hargreaves, akan lebih baik jika tenggat voting diundur sampai berakhirnya kompetisi. Soalnya, menutup pemungutan suara di tengah kompetisi artinya membatasi ruang penilaian. Setiap pemain masih punya potensi mengalami naik turun performa sampai akhir musim, dan voting yang terlalu dini seolah menutup mata terhadap potensi tersebut.

Dalam kasus van Dijk dan Sterling misal, menurut Hargreaves, potensi klub EPL mana yang nantinya keluar sebagai juara patut dijadikan pertimbangan voting. Saat ini, klub tempat kedua pemain berkontribusi, City dan Liverpool sama-sama berpeluang meraih trofi EPL. Andai pada akhir musim Sterling bisa mengantarkan City juara EPL, sementara van Dijk sudah diumumkan sebagai pemenang pemain terbaik, hal itu akan terasa ganjil. Begitu pula apabila yang terjadi sebaliknya.

"Seharusnya kita menunggu sampai akhir musim, itu jelas. van Dijk dan Sterling sama-sama layak memenangkan gelar itu, tapi saya rasa klub siapa yang akan memenangkan EPL harusnya ikut menentukan," ungkapnya.

"Saya pikir jika memilih berbulan-bulan atau berpekan-pekan sebelum musim berakhir adalah hal yang keliru. Bagaimana mungkin hal seperti itu diterapkan? Saya kira itu kesalahan besar," imbuh Hargreaves seperti diwartakan BT Sport.

Mantan pesepakbola Inggris lainnya, Michael Owen tidak sependapat dengan argumen Hargreaves kalau siapa klub yang meraih gelar EPL layak jadi pertimbangan menilai pemain mana yang keluar sebagai pemenang. Namun, Owen sepenuhnya sepakat dengan kritik kalau proses voting yang dilakukan PFA terlalu dini.

"Walau kurang sepakat soal gelar juara EPL menentukan siapa pemain terbaik, saya tidak bisa tak sependapat dengan kritik [Hargreaves] itu. Saya rasa itu benar, waktu voting harus diundur atau setidaknya diperpanjang," timpal Owen.

Sejauh ini, salah satu alasan PFA melakukan voting dini adalah efisiensi waktu. PFA ingin agar begitu musim berakhir, nama yang jadi pemain terbaik EPL juga sudah muncul.

Pembelaan tersebut, menurut Hargreaves dan Owen tidak relevan lagi.

"Saat ini sudah ada teknologi, dengan ponsel, tablet, komputer dan internet di mana saja Anda bisa melakukan voting dalam hitungan detik. Saya rasa alasan itu juga tidak tepat," tandas Hargreaves.

Salah Persepsi Soal Pemain Muda

Selain pemain terbaik EPL, PFA juga melakukan voting untuk memilih pemain muda terbaik EPL (PFA Young Player of the Year). Gelar kedua ini lagi-lagi mendapat sorotan besar dari para pengamat sepak bola.

Penyebabnya, saat ini PFA mematok usia 23 tahun sebagai batas atas penentuan nominasi. Artinya pemain-pemain yang sudah lama mencicipi Liga Inggris masih berhak masuk dalam nominasi sepanjang usianya belum melewati 23 tahun (terhitung sampai awal kompetisi).

Menurut Owen, batas ini terlalu berlebihan. Belakangan di Liga Inggris banyak pemain yang sudah mencuri perhatian ketika usianya masih 19-21 tahun. Akan sangat tidak adil kalau ada pemain-pemain yang sudah berusia 22, 23, atau bahkan 24 tahun bersaing dengan sosok-sosok hijau tersebut.

"Saya rasa 23 itu terlalu tua. Seharusnya, pemain yang layak disebut muda [untuk standar EPL] adalah mereka yang berusia sekitar 20 tahun, mungkin. Jadi, ya, menurut saya batas ini keliru," ujarnya.

Pengamat sepak bola lain, Francis Benali setuju dengan kritik itu. Tidak sebatas karena faktor angka, Benali khawatir kalau terlalu tingginya batas usia ini akan membuat ruang apresiasi bagi pemain-pemain yang lebih muda terkikis begitu saja.

"23 tahun jelas terlalu tinggi, ada pemain yang bahkan sudah jadi kapten klub di usia tersebut. Menurut saya, pemain muda adalah mereka yang perlu bimbingan dan menyerap berbagai hal di ruang ganti. Mereka yang sedang dalam proses belajar, bukan mereka yang punya keleluasaan mempengaruhi rekan-rekan setimnya di ruang ganti," tandasnya.

Musim ini, ada enam nama yang masuk nominasi pemain muda terbaik EPL. Mereka adalah Trent-Alexander Arnold (Liverpool), David Brooks (Bournemouth), Marcus Rashford (Manchester United), Declan Rice (West Ham United), Bernardo Silva dan Raheem Sterling (Manchester City).

Jika melihat rapor di atas lapangan, Sterling dan Silva adalah dua sosok paling menonjol. Namun ironisnya, kedua pemain ini sebenarnya tidak layak lagi dicap sebagai pemain muda. Ketika musim 2018-2019 bergulir, keduanya sudah berusia 23 tahun. Jika hitung-hitungan sampai hari ini dimasukkan, dua nama tersebut bahkan telah berusia 24 tahun.

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz