Menuju konten utama

Kritik atas Kebijakan Menteri Susi di Industri Ikan Tuna

Setelah perairan Indonesia sepi dari lalu-lalang kapal pengangkut ikan tuna berbendera negara asing, apa selanjutnya?

Kritik atas Kebijakan Menteri Susi di Industri Ikan Tuna
Nelayan memindahkan ikan tuna sirip kuning kualitas ekspor dari kapal nelayan di dermaga Pelabuhan Krueng Aceh, Lampulo, Banda Aceh, Rabu (8/2). ANTARA FOTO/Ampelsa/aww/17.

tirto.id - Baru tiga pekan setelah dilantik jadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada 26 Oktober 2014, Susi Pudjiastuti sudah mengeluarkan gebrakan kontroversial. Gebrakan itu lewat Peraturan Menteri 57/2014 yang ditekennya pada 12 November 2014.

Pada pasal 37 kontroversi itu bermula: “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI (surat Izin penangkapan ikan) atau SIKPI (surat izin kapal penangkap ikan).”

“Setiap kapal yang tidak mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan [..] diberikan sanksi pencabutan SIPI atau SIKPI."

Dua poin ini menandakan era baru pelarangan kebijakan alih muatan atau transhipment perikanan di perairan Indonesia. Sebelum ada aturan ini, lazim ditemui kapal tangkap yang mengalihkan muatan ke kapal angkut. Ditengarai di sinilah sering terjadi modus memanipulasi data serta melarikan hasil tangkapan ikan ke kapal asing.

Pelarangan transhipment membikin para pengusaha dan industri besar menjerit. Alasannya, kapal yang mereka pakai berukuran sedang dan besar—lebih dari 30 gross tonnage (GL), dan areal operasinya lebih jauh, tak semata di perairan teritorial. Tanpa transhipment, otomatis biaya bahan bakar minyak dan waktu yang dibutuhkan buat mengangkut ikan ke Unit Pengelolaan Ikan jadi lebih banyak lagi.

Dalam konteks penangkapan ikan tuna, alih muatan di tengah laut acap kali dimanfaatkan antar-kapal penangkap tuna long line, yang saling menitipkan ikan dari daerah tangkapan ikan ke pelabuhan. Ini dilakukan karena ikan tuna perlu waktu cepat untuk segera dijual, serta kapal yang menitipkan itu bisa melanjutkan kembali kegiatannya. Hitungan ini dapat menghemat biaya ketimbang harus menepikan kapal terlebih dulu ke pelabuhan.

Kebijakan pukul rata Susi ini dikritisi oleh Dr. Luky Adrianto, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dari Institut Pertanian Bogor. Selama dua tahun terakhir, kebijakan pemberantasan illegal, unreported, unregulated fishing yang dilakukan Susi dipandangnya sebagai “dekonstruksi perikanan”.

Rekonstruksi yang Belum Memuaskan

Secara teoretik, menurut Adrianto, dekonstruksi ini sangat baik dalam perspektif membangun tata kelola industri penangkapan ikan yang legal, tertib regulasi dan cermat pembukuan. Setelah dekonstruksi, langkah selanjutnya adalah rekonstruksi. Di sinilah, menurut Adrianto, hasilnya belum terlihat memuaskan.

“Dalam konteks rekonstruksi ini saya setuju. Namun, dalam implementasinya, kerangka tata kelola itu tidak didefinisikan dengan sistem kebijakan yang clear and clean," ujarnya kepada Tirto.

"Penangkapan ikan yang legal itu seperti apa kriterianya? Apakah yang legal itu hanya perikanan skala kecil? Perikanan skala besar dianggap ilegal? Kapal ukuran besar yang diimpor, sudah single flag, dioperasikan oleh national fisheries players, bermain di high seas (laut lepas), apakah masih dianggap ilegal? Atau legal harus semua dari galangan kapal dalam negeri?”

"Kalaupun sudah, bagaimana dengan ukuran kapal?"

"Semua harus didefinisikan secara jelas dan transparan melalui mekanisme inklusif. Bukan dugaan atau keputusan sepihak," ujar Adrianto, yang menulis kolom soal kritik serupa terhadap peta kebijakan Menteri Susi di Kompas berjudul “Perikanan Inklusif” pada 17 Oktober 2016.

Sarannya, diperlukan etika bisnis untuk para pelaku usaha perikanan yang mewajibkan mereka taat aturan dan laporan. Di sisi lain, ada etika kebijakan bagi pemangku otoritas yang mengambil setiap keputusan perikanan harus berlandaskan pada fakta, masukan dari pemangku kepentingan kunci (stakeholders) dan sains, karena kebijakan perikanan yang dihasilkan oleh KKP adalah urusan publik, bukan privat.

"Hambatan terbesar yang saya lihat adalah tidak ada atau minimnya pintu dialog dua arah yang sama-sama objektif. Rencana riil percepatan industri perikanan melalui Inpres 7/2017 (Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional) dan Perpres 3/2017 (Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan) sudah jelas."

"Implementasinya tidak boleh eksklusif hanya urusan KKP, tapi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” ujar Adrianto. Ia berkata, ada kesan bahwa implementasi Inpres dan Keppres itu jalan di tempat dan hanya melibatkan KKP dan BUMN.

“Kata kuncinya harus inklusif,” tambahnya.

Infografik HL Indepth General Santos

Belum Optimal Tangkapan Tuna Kita

Problem itu, kata Adrianto, tercermin dalam pengelolaan perikanan tuna di Indonesia.

Kepada Tirto, Juli lalu, Menteri Susi Pudjiastuti mengatakan kebijakannya memberantas pencurian ikan lewat penenggelaman kapal ikan tuna dari negara-negara tetangga—termasuk dari Filipina—membuat stok ikan jadi meningkat. Ia mengilustrasikan kondisi itu di Morotai, Maluku.

“Sekarang kapal-kapal layar kecil di Morotai itu 5 jam sudah dapat tuna untuk kapal ukuran 3 GT yang menggunakan alat-alat sederhana. Dapatnya bisa 3 ekor atau 2 ekor. Harga seekornya saja Rp1,5 juta, apalagi dua ekor bisa tiga juta rupiah,” ujar Susi.

Baca juga: "Apa yang terjadi di Gensan, Bukan Urusan Kami!"

Jika ditilik dari volume ekspor dan nilai komoditas ikan tuna sejak 2014, kecenderungannya fluaktuatif.

Data dari Kementerian Industri dan Perdagangan serta Badan Pusat Statistik—yang dikompilasikan oleh Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin)—mencatat bahwa volume ekspor tuna sempat naik 4 persen dari 70.813 ton pada 2014 menjadi 73.676 ton pada 2015. Namun, pada 2016, anjlok -7 persen ke angka 68.548 ton.

Begitupun parameter nilai ekspor. Semula 311 juta dolar AS (setara Rp4,1 triliun) pada 2014, turun -5 persen menjadi 295 juta dolar AS (Rp3,9 triliun) pada 2015. Angka ini kembali jeblok -6 persen ke 279 juta dolar AS (Rp3,7 triliun) pada 2016.

“Bagaimana tidak berkurang jika kapal besar yang menangkap ikannya saja tidak ada. Jika tidak ada, bagaimana mungkin kita bisa tingkatkan nilai ekspor,” ujar Sekretaris Jendral Astuin, Hendra Sugandhi, kepada Tirto, beberapa hari lalu.

Ia memaparkan, data kapal penangkap ikan tuna asal Indonesia yang teregistrasi pada beberapa komisi turun drastis menjadi (minus) -86,6 persen. Dari 2.057 kapal pada Mei 2014 menjadi tinggal 275 kapal saja pada 2017. Komisi-komisi ini adalah Komisi Tuna Samudera Hindia, Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan, Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah, serta Komisi Tuna Tropis Inter-Amerika.

“Tidak ada data riil berapa banyak dari kapal itu yang beroperasi di laut. Tidak ada satu pun kapal sashimi tuna beku milik kita beroperasi di laut lepas. Padahal, secara sumber daya, amat melimpah. Tetapi tidak termanfaatkan,” katanya.

Sumber tak termanfaatkan itu, kata Hendra, terdapat di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas.

Areal ini tentu tidak bisa dijangkau oleh nelayan yang kapasitas kapalnya di bawah 30-50 GT. Pengaturan penangkapan di laut lepas diatur oleh organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional.

Ahli Teknologi Penangkapan Ikan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, Johnny Budiman kepada Tirto menyebut kawasan Pasifik saat ini tidak tersentuh sama sekali.

Ini berpotensi dimanfaatkan negara lain. “Kemungkinan akan terjadi migrasi ikan ke daerah lain. Kalau tidak, ikan akan mati dengan sendirinya dan tak bisa kita manfaatkan,” ujarnya.

“Saya akui, tujuan semua konservasi itu bagus, tapi kasihan industri. Memanfaatkan nelayan kecil, OK. Tapi apa skala kecil itu bisa penuhi skala industri?”

“Untuk skala industri, kita harus perbanyak kapal di atas 30 GT. Nah, saya punya data, kita enggak ada kapal di Pasifik yang beroperasi dengan skala di atas 30 GT,” kata Budiman.

Secara spasial geografis, laut terdiri perairan teritorial (LT), zona tambahan (ZT), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan high seas (Laut Lepas).

Kedaulatan bangsa secara implementasi berlaku hingga perairan teritorial. Sedangkan zona tambahan dan ZEE berlaku hak pemanfaatan dan bisa pula hak pengelolaan.

Sementara laut lepas adalah zona bebas. Bersama zona tambahan dan ZEE, zona laut lepas berlaku hukum internasional. Ikan tuna merupakan jenis ikan yang disebut sebagai highly migratory species—migrasinya amat cepat, dari perairan teritorial hingga laut lepas.

“Ketika kita bicara penangkapan tuna, maka kita juga bicara ruang laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan laut lepas sebagai ruang bisnis perikanan yang dapat diatur untuk mengoptimalkan ekonomi maritim kita. Kita berhak mengelola dan memanfaatkan zona-zona itu," ujar Luky Adirianto dari IPB.

Mayoritas kapal asing yang mencuri ikan di Indonesia beraksi di areal zona ekonomi eksklusif dan laut lepas. Maka, setelah kapal asing ini minggat, idealnya kekosongan itu diisi oleh kapal-kapal nasional.

“Namun hal ini terhambat karena argumentasi KKP tentang: (1) perikanan skala besar yang dianggap selalu merusak; (2) pelarangan kapal asing dan kapal besar di laut lepas atau zona ekonomi eksklusif akan mendorong ikan ke arah perairan teritorial atau pesisir, sehingga ikan akan melimpah dan nelayan kecil akan diuntungkan,” ujar Adrianto.

Dua argumen itu, menurut Adrianto, perlu diuji publik khususnya untuk perikanan tuna yang sifatnya highly migratory species.

“Tuna berupaya lari dari laut teritorial ke laut lepas, dan sebaliknya. Jadi, tidak berlaku satu arah, misalnya, kalau zona ekonomi eksklusif dan laut lepas disetop penangkapannya, ikan tuna akan mengalir ke perairan teritorial," tambahnya.

Selain itu, argumen KKP yang membatasi kapal berskala besar, menurutnya, perlu diluruskan. Akademisi yang mendapat gelar doktor dari Kagoshima University ini mengatakan perikanan skala kecil dan besar adalah mitra.

"Keduanya dapat bermanfaat bagi negeri kita kalau diatur dan dikelola dengan baik. Dalam tataran empiris, keduanya bisa menjadi mitra melalui mekanisme public-private-people partnership—kerja sama antar perseorangan, swasta, dan pemerintah."

"Perikanan skala besar diarahkan ke zona ekonomi eksklusif dan laut lepas dengan rezim perizinan, sementara perikanan skala kecil di laut teritorial dan zona tambahan dengan rezim penangkapan ikan berbasis hak,” tegas Adrianto.

Baca juga artikel terkait PERIKANAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam