Menuju konten utama

Kriteria Penerimaan Siswa: Bukan Prestasi Tapi Jarak Rumah

Dalam sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kriteria yang utama justru adalah jarak rumah antara siswa dengan sekolah. Bukan prestasi.

Kriteria Penerimaan Siswa: Bukan Prestasi Tapi Jarak Rumah
Calon siswa beserta wali murid antre pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP melalui sistem zonasi di SMPN 2 Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (12/6). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

tirto.id - Prestasi bukan kriteria utama bagi sekolah menengah negeri menerima murid. Sebab, dalam sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kriteria yang diutamakan justru jarak antara rumah siswa dengan sekolah. “Ya karena kriteria utama yang didahulukan itu jarak rumah dengan sekolah siswa,” kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad di kantornya bilangan Jakarta Selatan, Selasa (11/7).

Setelah jarak, kriteria selanjutnya kata Hamid adalah usia. Barulah kemudian prestasi dan perkara-perkara lain bisa menjadi pertimbangan sekolah menerima siswa baru. “Kemudian kedua usia, yang ketiga baru prestasi dan lain-lain,” ujar Hamid.

Hamid sadar posisi geografis sekolah di setiap daerah berbeda-beda. Karena itu, bobot penilaian setiap kriteria diserahkan kepada masing-masing daerah. “Itu tergantung daerah mengatur bobotnya berapa. Kalau (bobot) jarak misalnya 60, kemudian usia 20, berarti prestasi 20,” kata Hamid

Menurut Hamid Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menyebutkan kuota bagi siswa berdasarkan zonasi wilayah sebesar 90 persen dari seluruh jumlah peserta didik. Dalam konteks tersebut, Hamid mengatakan dirinya telah meminta setiap daerah membuat zonasi dan menyesuaikannya dengan jumlah calon peserta didik. Zonasi tersebut nantinya akan dijadikan salah satu acuan Kemendikbud untuk merevitalisasi sekolah di berbagai daerah. Ia tak ingin ada ketimpangan di setiap sekolah baik itu dari segi sarana dan prasarana, maupun kualitas tenaga pendidik.

“Itu kan tiap provinsi, kabupaten, kota sudah bikin zonasi. Kita akan cocokkan apakah ada perubahan atau tidak, kalau ada perubahan di mana dan seterusnya. Kemudian baru kami akan melakukan langkah mana dari sekolah itu yang akan kami revitalisasi sekolahnya,” papar Hamid.

Hamid mengatakan dalam waktu dekat ia juga akan mengevaluasi sistem tersebut dengan mengumpulkan semua pejabat dinas di tiap daerah. Jika dirasa kurang sesuai, bisa jadi sistem penerimaan siswa berdasarkan zonasi akan direvisi oleh Kemendikbud. “Kemudian nanti kami minta ya apa yang mungkin nanti perlu diubah. Kalau memang zonasi yang 90 dan 10% itu enggak jalan. Nanti ada revisi. Tapi yang paling penting itu menggalakkan zonasi di setiap wilayah,” katanya.

Banyak Aduan

Inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto mengemukakan bahwa sistem zonasi menempati posisi teratas dari seluruh aduan yang dikirim masyarakat ke Kemendikbud. Dari 240 aspirasi yang diterima selama Juni-Juli 2017, 170 di antaranya terkait dengan masalah PPDB akibat sistem zonasi. Sementara aduan lainnya yang juga tinggi adalah terkait PPDB online, yakni 40 aduan. Dan sisanya adalah aduan tentang kecurangan PPDB, dugaan calo, dan lain-lain. “Masalah zonasi mungkin di beberapa daerah karena lingkungan atau mungkin faktor jumlah sekolah,” ujarnya.

Melansir Antara, Daryanto juga mengatakan akan memberikan sanksi berat bagi pelaku kecurangan dalam PPDB SD, SMP, SMA tahun ajaran 2017/2018. Sanksi tidak hanya menyasar pihak sekolah tapi juga orang tua siswa. “Jual beli kursi sanksi paling berat oknum PNS atau struktural, dipecat atau dinonaktifkan. Tapi kalau oknum di luar struktural, orang luar, aparat penegak hukum yang bertindak, bisa pidana,” kata Daryanto.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 tahun 2017 tentang PPDB menyebutkan bahwa 20 persen kuota penerimaan siswa di suatu sekolah harus dialokasikan bagi anak tidak mampu. Namun dalam praktiknya di masyarakat ditemui ada orang tua siswa yang tergolong ekonomi mampu membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di kelurahan setempat sebagai syarat untuk mendapatkan kuota 20 persen anak tidak mampu pada suatu sekolah.

Daryanto menegaskan sanksi bagi oknum yang melakukan kecurangan seperti itu ialah peserta didik dibatalkan penerimaannya. "Waktu itu ketemu orang tuanya mampu tapi punya SKTM, di Depok. Wah ini harus dibatalkan, nangis orang tuanya," kisah Daryanto.

Hamid Muhammad tidak menampik adanya oknum orang tua yang membuat SKTM palsu agar anaknya bisa masuk sekolah favorit melalui jalur tidak mampu. Oleh karena itu Hamid menjabarkan ke depannya persyaratan untuk mendaftarkan siswa tidak mampu ke suatu sekolah diganti dari SKTM menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), atau Program Keluarga Harapan (PKH).

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar