Menuju konten utama
Seri Kejatuhan Imperium Dunia

Krisis Suez Mengakhiri Tiga Abad Imperialisme Inggris

Kemerdekaan India jadi tengara meredupnya imperialisme Inggris. Semakin babak belur setelah Krisis Suez.

Krisis Suez Mengakhiri Tiga Abad Imperialisme Inggris
Ilustrasi Inggris. foto/istockphoto

tirto.id - Imperialisme Inggris Raya pernah menguasai sepertiga wilayah dunia pada masa keemasannya. Sekitar 500 juta orang, secara langsung maupun tak langsung, pernah jadi hamba raja dan ratu Inggris. Koloni Inggris membentang dari Afrika Selatan, Amerika Utara, Asia Selatan dan Tenggara, sampai Australia.

Maka, tidak perlu heran jika Inggris Raya tercatat sebagai imperium yang paling besar dan paling luas wilayahnya sepanjang sejarah peradaban manusia.

Semua itu berawal dari upaya-upaya pendudukan wilayah yang cenderung brutal sejak abad ke-17. Inggris pun memiliki birokrat-birokrat dengan kemampuan manajemen imperial yang mumpuni. Semua itu masih di dukung pula dengan armada laut yang kuat. Pada masa itu, armada Inggris sanggup mengalahkan keganasan para bajak laut di wilayah Asia Selatan.

Di sisi finansial, keberhasilan Inggris mendominasi jalur perdagangan rempah-rempah menjadikan mereka sebagai kekuatan ekonomi yang dominan. Terlebih, Inggris berhasil mengalahkan kekuatan VOC Belanda dalam bentrok besar di Amboina pada 1623. Keunggulan kekuatan laut Inggris semakin tampak jelas ketika mereka tiga kali berperang di antara 1652 hingga 1674.

Dan Inggris tak hanya menantang VOC di Nusantara, tapi juga agresif melawan pesaing Eropanya di jalur-jalur perdagangan strategis di belahan dunia lain.

“Karena sadar keuntungan finansial yang bisa diraih, mereka ngotot merebut jalur-jalur perdagangan utama yang menghubungkan seluruh dunia dengan Eropa Barat seperti Asia Tenggara, Mediterania, Amerika Utara, dan Afrika Barat”, kata Niall Ferguson dalam bukunya Empire: How Britain Made the modern World (2007, hlm. 21).

Imperialisme Inggris makin mendominasi dunia memasuki abad ke-19. Pada 1815, Inggris bersama koalisi negara-negar Eropa berhasil mengalahkan kekuatan rivalnya Prancis di Waterloo, Belgia. Setelah itu, Inggris tidak lagi memiliki lawan atau rival yang sebanding di seluruh dunia.

Tak hanya mengandalkan kekuatan militer, Inggris juga mendominasi dunia melalui teknologi, industrialisasi, pendidikan, ekonomi, juga bahasa. Proses itu tampak jelas dalam imperialisme Inggris modern yang berpusat di India.

Meski begitu, imperialisme Inggris bersifat mendua. Di satu sisi, Inggris ingin setiap aspek kehidupan di wilayah koloni berkiblat ke London. Tapi, di sisi lain, kaum kolonialis Inggris tidak ingin orang-orang non-Inggris mendapatkan white privilege atau status sosial yang setara.

Ambiguitas semacam itu dapat dilihat contohnya dalam ceramah bertajuk Minute on Indian Education yang disampaikan oleh politikus dan sejarawan Inggris Thomas Babington Macaulay pada 1935. Dalam ceramahnya, Macaulay menyebut perlunya penerapan pendidikan bahasa Inggris di sekolah-sekolah di India. Tapi, orang-orang India penutur bahasa Inggris tidak akan dianggap setara dengan orang kulit putih. Mereka akan masuk dalam semacam kelas sosial baru yang dinamakan Brown Englishmen.

Fajar Nasionalisme

Perlahan namun pasti, proyek pendidikan ala Inggris melahirkan kelas masyarakat terdidik di koloni Asia dan Afrika. Pendidikan pula yang kemudian menumbuhkan kesadaran nasional di antara masyarakat koloni. Kelas masyarakat terdidik inilah yang menelurkan tokoh-tokoh garda depan perlawanan terhadap kolonialisme di negerinya masing-masing.

Sejak itu, lawan Inggris bukan lagi sesama bangsa Eropa seperti Spanyol atau Portugis, melainkan bangsa-bangsa jajahannya sendiri.

Sementara itu, di dalam negeri, Inggris menghadapi tantangan berat dari bangsa Irlandia. Bersamaan dengan munculnya nasionalisme di koloni, semangat antiimperialisme juga mekar di Irlandia yang sejak lama diduduki dan diintegrasi paksa sebagai bagian dari Inggris Raya. Salah satu gerakan yang paling menonjol adalah nasionalisme Katolik dan gerakan separatis Irlandia.

Sejarawan Inggris Christopher Bayly dalam bukunya Imperial Meridian: The British Empire and the World 1780-1830 (1989, hlm. 15) mencatat bahwa perkembangan imperialisme Inggris tidak hanya ditantang oleh negara-negara baru di Amerika, Afrika, dan Asia, tetapi juga oleh kesadaran nasional di dalam negerinya sendiri. Sontak, konsepsi imperialistik Rule Britannia yang berusaha digelorakan di seluruh dunia mendapatkan tantangan internal yang berat.

Inggris Terbenam

Dominasi imperial Inggris mulai mendapatkan penantang lagi ketika Jerman dan Amerika muncul dengan kekuatan ekonominya pada abad ke-20. Selain itu, tentu saja Inggris juga harus berhadapan dengan isu-isu modern yang berkembang seperti hak asasi manusia, hak politik, dan etika moral.

Di tengah mekarnya jejaring gerakan nasionalis di koloni-koloninya, kemunculan kekuatan penantang itu jelas mempersulit posisi Inggris dalam percaturan politik global.

Inggris pada akhirnya tidak bisa membendung desakan kolektif untuk merdeka dari koloni-koloninya. Dan lagi, Inggris punya trauma dengan gerakan kemerdekaan. Inggris pernah kehilangan 13 koloni penting kala Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1776.

Setelah koloni Amerika lepas, Inggris lalu “merapikan” praktik imperialismenya di Asia. India dijadikan pusat pemerintahan imperial sekaligus sumber pendapatan utama. Inggris mengandalkan India karena profit perdagangannya mencapai seperlima dari seluruh komoditi ekspor.

Untuk mengamankan kolonialimenya, posisi-posisi strategis dalam pemerintahan India juga diisi oleh para birokrat Inggris totok. Hingga 1880-an, pribumi India hanya menduduki 16 jabatan sipil dari sekitar 900 jabatan yang ada.

Pergolakan politik di tanah koloni makin sering terjadi pada paruh pertama abad ke-20. Pada 1905, Gubernur Jenderal India Lord Curzon membagi Bengal menjadi dua wilayah administratif, Bengal Timur (yang mencakup pula Assam) dan Bengal Barat (mencakup pula Bihar dan Orissa.

Awalnya, Lord Curzon ingin melemahkan aspirasi politik orang-orang Bengal dengan kebijakan partisi ini. Tapi, Lord Curzon tidak memperhitungkan bahwa partisi ini sekaligus membagi populasi penganut Islam dan Hindu di Bengal.

“Bengal Timur mayoritas Muslim, sementara di Barat mayoritas Hindu. Pemisahan ini membuat populasi Bengal menurun drastis. Mereka menjadi minoritas dibandingkan Biharis dan Oriyas. Keadaan ini mengoyak kekuatan politik mereka secara menyeluruh,” tulis Percival Spear dalam bukunya A History of India volume 2 (1965, hlm. 176).

Setelah Lord Curzon ditarik pulang ke Inggris, kekuatan politik Bengal memang tidak pernah sekuat dulu lagi. Alih-alih, rakyat Bengal justru terjerumus ke dalam konflik politik dan agama.

Pada 1947, India yang disebut Jewel in the British Crown oleh Perdana Menteri Benjamin Disraeli menyatakan kemerdekaannya dari Inggris. Tak hanya menandai runtuhnya kolonialisme yang bercokol di India sejak 1612, kemerdekaan itu sekaligus jadi tengara pudarnya kekuatan imperialisme Inggris. Meski jadi pemenang Perang Dunia II, Inggris pun makin terpinggirkan dalam kancah global.

Era persaingan imperial telah berakhir dan Inggris terbenam di antara dua adidaya baru, Amerika dan Uni Soviet.

Infografik Pudarnya Imperium Inggris

Infografik Pudarnya Imperium Inggris. tirto.id/Fuadi

Babak Akhir

Krisis Suez yang berkobar pada 1956 semakin menegaskan lemahnya Inggris di panggung politik global. Krisis ini juga menjadi titik tolak penting dalam proses dekolonisasi besar-besaran di negeri-negeri jajahan Inggris.

Ketika terpilih lagi sebagai Perdana Menteri Inggris untuk periode 1951-1955, Winston Churchill menekankan bahwa masa depan Inggris sebagai negara adidaya bergantung pada keutuhan teritori imperialnya. Setelah India merdeka, kekuatan utama imperial Inggris berpindah ke Suez yang merupakan pijakannya untuk mengawasi teritori lain di Timur Tengah.

Usaha Inggris mempertahankan penguasaan atas Suez mendapatkan perlawanan berat dari pemimpin gerakan revolusioner Mesir Gamal Abdel Nasser. Krisis makin tak terkendali karena berkelindan dengan konflik Israel dan negara-negara Arab. Inggris lalu berkoalisi dengan Prancis dan Israel untuk merebut Suez dari Mesir.

Inggris dan koalisinya memang berhasil mengalahkan Mesir, tapi efek politik dari konflik ini benar-benar merusak bagi Inggris. Untuk meredakan konflik, Presiden Amerika Dwight Eisenhower menekan Inggris secara finansial. Amerika juga melobi PBB agar meminta Inggris menghentikan invasi ke Mesir.

Menghadapi tekanan internasional itu, Inggris tidak punya pilihan selain mundur dari Suez.

Pada dekade 1960-an, negara-negara baru yang sebelumnya bernaung dibawah proteksi Inggris menuntut kemerdekaan penuh. Bendera Inggris Raya diturunkan di Barbados, Kamerun, Gambia, Malta, Nigeria, Somalia, Tanzania, Uganda, dan Zambia.

Gerakan anti-apartheid yang berkembang di Afrika Selatan juga menjadi momok bagi Inggris. Pada 1994, Afrika Selatan sukses menjalankan pemilihan umum yang memberikan hak suara pada orang-orang kulit hitam. Nelson Mandela terpilih sebagai presiden Republik Afrika Selatan pada pemilu ini.

Koloni terakhir yang berpisah dari Inggris Raya adalah Hong Kong yang diserahkan kepada Cina pada 1 Juli 1997.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN INGGRIS atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi