Menuju konten utama

Krisis Perempuan yang Memicu Impor Istri

Budaya "impor istri" terjadi karena adanya krisis perempuan di beberapa negara. Krisis perempuan dipengaruhi oleh budaya serta pembunuhan bayi perempuan.

Krisis Perempuan yang Memicu Impor Istri
Tangan seorang perempuan yang dihiasi henna dalam ritual pernikahan di India. Foto/iStock.

tirto.id - “Ketika saya terbangun, saya tidak tahu bahwa saya sudah berada di Cina.”

Lan, seorang gadis asal Vietnam mencoba mengingat kejadian yang mengubah seluruh hidupnya itu. Sebelumnya saat ia masih di perbatasan di Vietnam utara, seorang teman yang ia kenal melalui media sosial memintanya untuk makan malam. Ia hanya mengingat makan malam tersebut.

Hal lain yang ia ingat adalah ia telah diselundupkan melintasi perbatasan menuju ke Cina. “Saat itu, saya ingin pulang,” kata Lan. “Ada gadis lain di dalam mobil tersebut tetapi ada orang yang menjaga kita.”

Perempuan muda Vietnam adalah komoditas berharga di Cina. Mereka di bawa ke Cina untuk dijadikan istri oleh orang Cina. Krisis perempuan di Cina menyebabkan adanya “impor” perempuan muda dari Vietnam untuk dijadikan istri bagi laki-laki Cina. Kedekatan budaya serta tradisi menjadi salah satu faktor mengapa perempuan-perempuan Vietnam yang dipilih sebagai istri orang Cina.

Saat Rusia, Latvia dan Estonia krisis laki-laki, di Cina malah krisis perempuan. Pada 2014, jumlah penduduk Cina mencapai 1,36 miliar. Penduduk laki-laki sebanyak 700 juta dan penduduk perempuan hanya 667 juta. Ada perbedaan 33 juta lebih banyak laki-laki dibanding jumlah perempuan di Cina.

Selain Cina, ada juga India yang krisis perempuan. Pada 2011, Jumlah penduduk laki-laki di India sebesar 623 juta. Jumlah penduduk perempuan 586 juta. Ada perbedaan 37 juta lebih banyak laki-laki dibanding jumlah perempuan di India.

Penyebab Krisis Perempuan

Penyebab dari ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuan di Cina salah satunya dipicu oleh pengaruh budaya lama Cina. Dalam budaya patrilineal Cina, laki-laki lebih diutamakan dengan harapan sebagai penerus nama keluarga dan juga sebagai penjamin sosial untuk orang tua di saat mereka sudah lanjut usia.

Para ahli mengatakan bahwa ketidakseimbangan gender di populasi Cina dapat ditelusuri kembali ke awal "kebijakan satu anak" selama tahun 1970an. Sarjana studi gender Lu Pin yang juga editor surat kabar online Women's Voice, mengatakan bahwa kebijakan tersebut dikombinasikan dengan preferensi dalam budaya tradisional Cina untuk ahli waris laki-laki, yang tugasnya adalah untuk merawat orang tua mereka di hari tua adalah faktor penyebab krisis perempuan di Cina.

Selain itu, dilihat dari sejarah panjang preferensi anak laki-laki terutama di kalangan mayoritas etnis Han, telah menyebabkan pembunuhan bayi perempuan dan pengabaian anak perempuan di beberapa wilayah di Cina. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuan, menurut Profesor dan Direktur Evolution and Ecology Research Center di University of New South Wales, Australia, Rob Brooks.

Sedangkan di India, kekurangan perempuan terjadi di Haryana dan beberapa daerah lainnya. Namun, Haryana merupakan wilayah yang memiliki rasio seks paling tidak seimbang di India, dengan 877 perempuan untuk setiap 1.000 laki-laki. Situasi Haryana adalah hasil dari pembunuhan bayi perempuan, pengabaian dan diskriminasi orang tua terhadap anak perempuan.

infografik krisis perempuan

Dampak Krisis Perempuan

Jumlah perempuan yang lebih kemudian menjadi salah satu pemicu perdagangan perempuan untuk dijadikan istri. Dalam beberapa tahun terakhir di Cina, sejumlah perempuan di datangkan dari luar negeri termasuk Korea Utara. Sekitar 90 persen pembelot Korea Utara diperas di industri seks dan pernikahan paksa. Karena mereka tak mungkin kembali ke Korea Utara.

Perempuan dari daerah terpencil dan miskin di Vietnam juga menjadi target dari perdagangan perempuan. Kementerian Keamanan Vietnam melaporkan bahwa lebih dari 5.800 perempuan telah diperdagangkan keluar negeri dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar perempuan Vietnam tersebut diselundupkan ke Cina.

Desa-desa di sepanjang perbatasan Vietnam-Cina adalah tempat bagi perdagangan perempuan. Bahkan anak perempuan yang berusia 13 tahun mengatakan bahwa mereka ditipu, dibius kemudian dibawa ke perbatasan untuk dijual.

Meski ada pelonggaran pada kebijakan satu anak Cina yang diumumkan pada akhir tahun 2013 bahwa diizinkan untuk memiliki dua anak jika anak pertamanya adalah perempuan, bagi para pegiat perempuan itu tak akan mengurangi perdagangan perempuan atau aborsi anak perempuan. Karena masih adanya pandangan jika anak laki-laki adalah yang paling berharga.

Sedangkan krisis perempuan di India menyebabkan perempuan di beberapa daerah di India, yaitu Haryana, Punjab, Rajashtan dan Gujarat harus berbagi diri dengan saudara laki-laki suami atau ipar laki-lakinya. Jika menolak maka mereka dapat disiksa oleh keluarga suaminya.

Seperti yang terjadi pada Tripla yang menolak perintah suaminya Ajmer Singh untuk tidur bersama saudara laki-lakinya yang belum menemukan seorang istri. Namun Tripla menolak perintah tersebut, lalu suaminya Ajmer membawanya ke ladang dan memenggal kepalanya dengan sabit.

Selain itu, jika laki-laki India “mengimpor” istri dari luar India maka perempuan tersebut harus bekerja keras untuk beradaptasi. Perkawinan antarnegara jarang terjadi di pedesaan India. Adanya perbedaan bahasa, makanan, kebiasaan budaya, cuaca, serta sikap terhadap perempuan menjadi kendala bagi perempuan dari luar India.

Impor Istri Menjadi Tren

Impor istri yang sebelumnya karena adanya krisis perempuan, kini beralih menjadi salah satu sarana bagi mereka yang tak kunjung memiliki pasangan meski di negaranya memiliki jumlah perempuan yang banyak. Jika ditelusuri dengan mesin pencari di Google dengan kata kunci “Import Wife” maka akan ada sederetan pilihan perempuan dari berbagai negara misalnya Rusia, Vietnam, dan Filipina.

Berbagai situs pun dibuat untuk mempromosikan berbagai perempuan yang bersedia menikahi laki-laki dari luar negaranya. Alasannya beragam. Dari sisi perempuan, ini menjadi peluang mereka untuk meningkatkan taraf hidup jauh lebih baik. Biasanya bagi perempuan-perempuan dari pedesaan.

Dari sisi laki-laki, mereka melakukan impor istri karena beragam alasan. Di Jepang, pernikahan laki-laki Jepang dengan perempuan asing meningkat dari 4000 pada 1980 menjadi 23.000 pada 2012.

“Kecenderungan baru-baru ini adalah laki-laki Jepang paruh baya berusia 40-an dan 50-an untuk menikahi perempuan asing. Dalam banyak kasus ketika mereka sudah memiliki aset [harta] mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Tetapi perempuan muda Jepang tidak tertarik dengan pria paruh baya,” kata Operator Win Bridal Japan, Shinji Katsuyama.

Normalnya, menurut Shinji, perempuan muda Jepang memilih pasangan yang terpaut usia 10 tahun saja. Sehingga bagi laki-laki Jepang, jalan keluarnya adalah dengan menikahi perempuan dari luar Jepang. Bagi perempuan asing, Jepang dianggap sebagai upaya “perbaikan ekonomi". Hal itu biasanya ditawarkan oleh laki-laki berusia 40 hingga 60 tahun di Jepang. Bagi perempuan asing biasanya tak begitu mempersoalkan usia.

Alasan lain laki-laki mengimpor perempuan adalah karena mereka ditolak oleh perempuan lokal yang menilai mereka tidak memiliki penghasilan yang besar. Misalnya para petani dan nelayan di Korea Selatan yang banyak menikahi perempuan dari pedesaan di Vietnam.

Perempuan-perempuan Korea Selatan juga banyak yang meninggalkan kampung untuk hijrah ke kota untuk meningkatkan taraf hidupnya dan banyak yang pada akhirnya tak pulang ke kampung halamannya. Bahkan banyak poster di kereta bawah tanah di Seoul yang berisi nasihat kepada para gadis-gadis lokal untuk menikahi para petani atau juga para nelayan. Namun sepertinya upaya tersebut belum membuahkan hasil.

Meski kini sudah menjadi tren, Profesor di bidang sosial di University of Southern California, Dr. Annalisa Enrile mengingatkan kepada kaum hawa bahwa kekerasan akan tetap menghantui perempuan dalam budaya “impor istri.”

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti