Menuju konten utama

 Krisis di Tubuh Google: Bias Politik dan Pelecehan Seksual

Google kena krisis. Penyebabnya: bias politik, pembatasan kebebasan, dan gagalnya kebijakan perusahaan dalam mengatasi masalah.

 Krisis di Tubuh Google: Bias Politik dan Pelecehan Seksual
Ilustrasi Google. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Presiden AS, Donald Trump, melayangkan kritiknya terhadap raksasa teknologi, Google, Selasa (6/8) kemarin. Lewat akun Twitter-nya, Trump mencuit—tanpa didukung bukti memadai—bahwa Google berupaya mencegah dirinya kembali terpilih dalam Pilpres 2020. Google, tegas Trump, memiliki bias politik—anti-konservatif.

Cuitan Trump muncul tak lama setelah acara Fox & Friends mengudara pada Senin pagi waktu setempat. Acara bincang-bincang tersebut mendatangkan mantan insinyur Google bernama Kevin Cernekee yang dipecat karena pandangan politiknya dianggap condong ke kanan.

“Mereka [Google] punya orang-orang yang sangat bias di tiap tingkatan perusahaan,” ungkap Cernekee, sebagaimana dilansir Politico. “Mereka memiliki sedikit kendali atas proses politik. Itu sesuatu yang harus kita cemaskan. Mereka benar-benar ingin Trump kalah pada 2020. Itu agenda mereka.”

Seperti Tiran?

Dalam keterangan resminya, Google membantah pengakuan Cernekee. Perusahaan yang berpusat di San Francisco ini menyatakan bahwa Cernekee dipecat akibat diduga mengunduh dan kemudian memproduksi dokumen rahasia internal—bukan sebab pandangan politiknya.

“Kami berusaha keras untuk membangun produk kami dan menegakkan kebijakan kami dengan cara yang tidak memperhitungkan kecenderungan politik. Mendistorsi hasil untuk tujuan politik akan membahayakan bisnis kami dan bertentangan dengan misi kami untuk menyediakan konten yang bermanfaat bagi semua pengguna kami,” demikian kata Google.

Kasus Cernekee punya riwayat yang cukup panjang. Laporan The Wall Street Journal menyebutkan ia sudah menjadi target perusahaan sejak 2015. Waktu itu, ia diberi peringatan resmi dari divisi SDM tentang perilaku yang dinilai “tidak sopan” dan “tidak patuh” sehubungan dengan pandangan politik pribadinya. Seorang manajer senior bahkan menyertakannya dalam “daftar hitam” karyawan yang tidak akan diajaknya bekerjasama.

Setelah kejadian itu, Cernekee bekerja dalam gelembung tekanan. Ia kerap jadi bahan pergunjingan para bos yang sebagian besar mempertanyakan sikap politiknya. Waktu Cernekee pun lebih banyak dihabiskan untuk melawan regulasi Google yang dinilai tak adil. Hingga akhirnya, kabar buruk itu tiba juga: Juni 2018, Cernekee dipecat.

Lewat suratnya, Google menyatakan bahwa pemecatan Cernekee diambil setelah yang bersangkutan dinilai banyak melanggar kebijakan perusahaan, seperti ketika ia mengunduh informasi rahasia secara diam-diam. Namun, tuduhan itu dibantah Cernekee. Menurutnya, ia diberhentikan akibat sikap politiknya yang konservatif.

“Secara historis, ada banyak intimidasi di Google,” terangnya kepada The Wall Street Journal. “Ada sudut pandang politik yang besar, dan mereka memperlakukan kedua belah pihak [kiri dan kanan] dengan sangat berbeda.”

Google menolak argumen tersebut. Mereka meyakini bahwa apa yang dilakukan perusahaan sudah sesuai koridor. Juru bicara Google, Jenn Kaiser, menegaskan perusahaan telah menegakkan kebijakan tanpa melihat preferensi politik karyawannya.

Perusahaan boleh saja meyakini mereka bersikap netral. Akan tetapi, realita berkata sebaliknya. Pada pemilu sela 2018 kemarin (midterm election), misalnya, sebagian besar para karyawan Google memberikan donasi kepada Partai Demokrat.

Infografik Google Wolkout

Infografik Google Wolkout

Sampai di Tingkat Elite

Kelakuan Google sampai juga ke telinga politikus AS, terutama yang berasal dari Republik. Juli silam, Komite Kehakiman Senat, yang dipimpin oleh Ted Cruz, senator Republik dari Texas, meminta Google—beserta Facebook dan Twitter—untuk menghadiri sidang senat.

Dalam sidang tersebut, para anggota senat ingin memperoleh penjelasan dari Google tentang sistem kerja mesin pencari mereka yang dianggap menyensor media berhaluan konservatif dari hasil pencarian teratas, demikian lapor National Public Radio.

Sebagai ketua sidang, Cruz menyatakan bahwa dirinya prihatin dengan “kontrol” Google atas apa yang boleh atau tidak boleh masyarakat dapatkan di internet.

“Ini adalah [wujud dari] sejumlah besar kekuatan untuk melarang, memanipulasi hasil pencarian, menghancurkan persaingan, dan upaya membentuk budaya tertentu,” terang Cruz.

Sekali lagi, Google membantah klaim dari senat. Sundar Pichai, CEO Google, dalam e-mail yang ditujukan ke seluruh karyawan menegaskan perusahaan sama sekali tidak pernah membiaskan hasil pencariannya untuk tujuan politik.

“Kami tidak membiaskan produk kami untuk mendukung agenda politik apa pun. Kepercayaan terhadap pengguna kepada kami adalah aset terbesar dan kami harus selalu melindunginya,” tulis Pichai, mengutip The New York Times.

Pertanyaannya: apakah Google benar-benar bias politik?

Jeff Hancock, Danaë Metaxa-Kakavouli, dan Joon Park, dalam tulisannya di The Guardian menjelaskan pada dasarnya, teknologi mesin pencari seperti halnya milik Google mampu memainkan peran penting dalam membentuk opini publik tentang pandangan politik. Bahkan, mesin pencari bisa saja memengaruhi hasil pemilihan.

Ini muncul karena Google sudah menjadi sumber informasi penting bagi warga negara. Banyak dari mereka yang lebih percaya berita dari Google ketimbang, katakanlah, media sosial. Seperti halnya bentuk media, Google, terang ketiganya, tak dapat dipungkiri cenderung menggiring opini dalam proses demokrasi dengan cara yang signifikan—dan seringkali tak dapat diprediksi.

Para politikus Republikan, tulis ketiganya, benar tentang satu hal: mesin pencari, seperti sumber media lainnya, memiliki kekuatan atas informasi yang dicari masyarakat. Namun demikian, tambah mereka, upaya untuk membuktikan apakah Google bias politik atau tidak bukan pekerjaan mudah sebab sistem kerja mesin pencari di Google begitu kompleks dan eksklusif.

Hantaman Bertubi-tubi

Bukan kali ini saja badai menimpa Google. Dua tahun silam, seperti diwartakan BuzzFeed News, Google jadi sasaran kritik setelah memecat salah satu insinyur mereka, James Damore, karena yang bersangkutan menulis memo yang bikin telinga petinggi Google panas.

Isi memo tersebut ialah Damore meminta perusahaan mampu mewujudkan kesetaraan gender dalam lingkungan kantor yang didominasi pria. Setelah memo itu bocor, perusahaan langsung memecat Damore dengan alasan “melanggar kode etik.”

Pemecatan Damore rupanya memantik aksi solidaritas yang luas. Ratusan karyawan Google memberikan dukungan kepada Damore. Mayoritas dari mereka setuju dengan argumen Damore tapi terlalu takut untuk mengatakannya secara terbuka sebab berpotensi bisa dipecat.

Aksi lebih besar terjadi setahun berikutnya. Puluhan ribu pekerja Google di seluruh dunia turun ke jalan memprotes keputusan Google untuk membayar jutaan dolar kepada para eksekutif yang diselidiki akibat pelecehan seksual terhadap bawahannya.

Sejauh ini, Google dikenal sebagai perusahaan yang getol mempromosikan budaya kerja yang inklusif, terbuka dengan segala perbedaan ide maupun pandangan politik. Tapi, beberapa kasus di atas memperlihatkan bahwa Google punya cara beroperasi yang tak selamanya baik. Kebijakan yang diambil Google bisa jadi justru melemahkan citra perusahaan, terutama di mata para pekerjanya.

Apa pun yang terjadi kelak, pesan untuk Google begitu jelas: semakin Google bertindak sembrono, semakin besar pula pertentangan yang akan muncul, entah dari lingkup internal maupun eksternal.

“Aku sangat menyesal bergabung dengan Google,” beber Cerneeke. “Aku pikir Google akan jadi tempat bagus untuk berkembangnya gagasan-gagasan yang cerdas. Nyatanya, itu semua tidak berjalan seperti yang aku harapkan.”

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Teknologi
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono