Menuju konten utama
Periksa Data

Krisis Air Bersih Yang Kian Memburuk Saat Pandemi Menerjang

Air merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari hidup manusia. Namun, bagaimana kondisi air bersih kita sejak pandemi COVID-19 hadir di Indonesia?

Krisis Air Bersih Yang Kian Memburuk Saat Pandemi Menerjang
Periksa Data "Krisis Air Bersih Yang Kian Memburuk Saat Pandemi Menerjang". tirto.id/Quita

tirto.id - Tak bisa disangkal pentingnya akses air bersih bagi kehidupan sehari-hari. Setiap tetesan air bersih dapat dipakai untuk mencuci baju, mandi sampai dengan memasak.

Namun, ancaman kelangkaan air di Indonesia diperkirakan semakin mendekat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi bahwa semua wilayah di Pantai Utara Jawa, mulai dari Banten sampai Surabaya, akan menjadi wilayah urban yang berpotensi mengalami defisit ketersediaan air pada tahun 2040.

Bertambahnya populasi di Tanah Air pun menjadi beban baru dalam penyediaan air bagi masyarakat Indonesia. Menurut Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia berjumlah 270,21 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sebanyak 32,56 juta jiwa dibandingkan dengan hasil sensus pada 2010.

Memang, krisis air bersih bukan suatu hal yang baru, baik di Indonesia maupun di dunia. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 2019 mencatat, 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia masih kekurangan air minum yang aman dikonsumsi. Sementara itu, 4,2 miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang aman dan 3 miliar tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar.

Namun, COVID-19 kini menjadi momok baru bagi masalah kelangkaan air di Indonesia. Apa dampak pandemi terhadap konsumsi dan ketersediaan air bersih dan apa yang bisa dilakukan?

Konsumsi Air Naik?

Konsumsi air ternyata meningkat selama pandemi COVID-19, menurut kajian awal Indonesia Water Institute (IWI) yang dilakukan pada periode 15 Oktober 2020 - 12 November 2020. Aktivitas mandi, misalnya, meningkat menjadi 3 kali sehari atau tiga kali lipat dari kondisi normal bagi 65 persen responden.

Pendiri IWI Firdaus Ali dalam konferensi daring pada 11 Februari 2021 juga mencontohkan, responden yang mencuci tangan kurang dari 5 kali memiliki jumlah yang dominan pada survei sebelum pandemi. Namun, sejak pandemi, mayoritas responden saat ini mencuci tangan lebih sering hingga 10 kali sehari, atau 5 kali lipat dari kondisi normal.

Konsumsi air meningkat pula dari sisi volume selama pandemi. Untuk mandi saja, responden menghabiskan hingga 210 liter per orang setiap harinya atau 3 kali lipat dari masa prapandemi. Angka ini terhitung signifikan, mengingat kajian IWI pada 2012 menunjukkan bahwa penggunaan air bersih secara keseluruhan mencapai 225 liter per kapita di Jakarta, sebut Firdaus.

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua aktivitas konsumsi air meningkat saat pandemi.

Penggunaan air bersih selama ini disebut sebagai bagian penting pengendalian risiko penyebaran virus, termasuk COVID-19. WHO pun dalam rekomendasinya pada April 2020 menganjurkan antara lain tersedianya air untuk mencuci tangan dan aktivitas sanitasi lainnya.

“Pandemi COVID-19 menambah tantangan baru bagi peradaban kita karena penerapan protokol kesehatan untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19 ini membutuhkan ketersediaan air bersih yang cukup di semua lapisan masyarakat kita,” ujar pimpinan IWI ini.

Namun, tren kenaikan konsumsi air bukan hal yang baru. Data dari Buku Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang diolah oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa konsumsi air domestik rata-rata meningkat, yakni dari 147 liter per orang per hari pada 2018 menjadi 157 liter per orang setiap harinya pada 2020.

Konsumsi air domestik rata-rata di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan standar kecukupan air Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menurut WHO, dibutuhkan 50 hingga 100 liter air per orang setiap harinya, untuk memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi dampak negatif bagi kesehatan.

Kelangkaan Air

Di balik kenaikan kebutuhan air, ketersediaan air di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali saat ini sudah tergolong langka hingga kritis, menurut laporan Bappenas. Sementara itu, ketersediaan air di Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada tahun 2045.

Bappenas mencatat, kerusakan tutupan hutan akan memicu terjadinya kelangkaan air baku, terutama untuk pulau-pulau yang tutupan hutannya sangat rendah seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Air baku sendiri adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum, mengutip definisi Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Menurut proyeksi Bappenas pula, tutupan hutan akan menciut, yakni dari sebanyak 50 persen dari luas lahan total Indonesia (188 juta hektar) di tahun 2017, menjadi hanya sekitar 38 persen di tahun 2045. Padahal, tutupan hutan merupakan bagian penting dari siklus daur air (hidrologis).

"Resiko kelangkaan air baku juga meningkat di wilayah lainnya sebagai dampak perubahan iklim," tulis Bappenas dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Menurut dokumen tersebut, luas wilayah kritis air juga diperkirakan akan meningkat dari 6 persen di tahun 2000 menjadi 9,6 persen di tahun 2045.

Pengelolaan air tanah dan air baku juga menghadapi tantangan antara lain tingginya pertumbuhan penduduk, eksploitasi air tanah dan pencemaran air pada wilayah sungai di Indonesia, melansir dari Bappenas. Alhasil, penambahan kapasitas penyediaan air baku tidak mampu menyamai tingginya kebutuhan air baku.

Kapasitas sistem penyediaan air minum (SPAM) pun masih terbatas. Sistem air perpipaan di Indonesia baru menjangkau 21,08 persen penduduk Indonesia, IWI mencatat. Artinya, dengan populasi 270,2 juta orang, hanya sekitar 2 dari 10 orang di Indonesia yang saat ini menggunakan air dari sistem perpipaan nasional.

Selain itu, Bappenas juga mencatat di dokumen RPJMN, bahwa ada pula tantangan di sisi permintaan untuk air di Indonesia, misalnya rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau membayar air, serta rendahnya penerapan perilaku hemat air oleh masyarakat yang terlihat dari tingginya nilai rata-rata pemakaian air PDAM.

Kelangkaan air bersih juga berlaku untuk air minum. Menurut RPJMN 2020-2024, hanya 6,87 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum aman. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 dari BPS juga menunjukkan ada sebesar 90,21 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum layak, meskipun distribusinya tidak merata.

Sebagai catatan, Kementerian PUPR mendefinisikan akses air minum layak sebagai sumber air minum dari perpipaan, kran umum dan beberapa sumber lainnya yang waktu tempuh air dari rumah ke sumber air minum kurang dari 30 menit. Sementara itu, akses air minum aman harus memenuhi standar kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi, termasuk bebas dari bakteri E. Coli.

Pemerintah sendiri telah menargetkan akses air minum layak 100 persen dan air minum aman 15 persen pada 2024 dan mencapai 100 persen akses air minum aman pada 2030.

Jawaban Pemerintah?

Kementerian PUPR sejauh ini berupaya meningkatkan penyediaan air baku dan volume tampungan air melalui pembangunan 18 bendungan baru selama tahun 2015 hingga 2020.

Menurut siaran pers PUPR (21/12/2021) yang diterima Tirto, 15 dari 18 bendungan baru itu telah menambah volume tampung air sebesar 1.106 juta meter kubik untuk dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian, selain juga menambah penyediaan air baku sebesar 6,28 meter kubik per detik.

Ke depannya, kementerian tersebut menargetkan untuk menuntaskan pembangunan 61 bendungan baru di tahun 2024, yang bisa menambah tampungan air hingga 3.836,38 juta meter kubik.

Selain itu, hingga tahun 2024, pemerintah juga menargetkan peningkatan kapasitas penyediaan air baku mencapai 50 meter kubik per detik, 500 ribu hektar irigasi baru dan rehabilitasi 2 juta hektar irigasi yang telah ada, dan revitalisasi 15 danau prioritas.

Hanya saja, dana memang menjadi salah satu ganjalan bagi program-program pemerintah.

Menurut studi Bappenas, anggaran pemerintah dalam 5 tahun terakhir untuk sektor air bersih rata-rata Rp4,5 triliun per tahun, sehingga total dana APBN yang tersedia hingga 2030 berjumlah Rp45 triliun. Jumlah ini masih jauh dari proyeksi kebutuhan pendanan sebesar Rp147 triliun hingga tahun 2024, atau sebesar Rp238 triliun hingga tahun 2030. Realokasi anggaran untuk penanganan COVID-19 pun kian mengecilkan anggaran untuk air bersih.

Untuk mengatasi itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengajak badan usaha untuk meningkatkan perannya lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) di tengah terbatasnya pendanaan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun infrastruktur penyediaan air, melansir siaran pers (12/02/2021).

Menteri Basuki menyebut Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Pasuruan, Jawa Timur, sebagai salah satu contoh proyek KPBU yang telah berjalan. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan KPBU untuk SPAM di Lampung dan SPAM Dumai, Rokan Hilir, dan Bengkalis di Riau.

“Kita punya program 10 juta sambungan rumah dengan perkiraan kebutuhan anggaran Rp700 triliun. Hal ini tidak mungkin ditanggung APBN sendiri, untuk itu kita menggunakan skema KPBU,” ungkap Basuki.

Pemerintah juga lewat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sejak 2008 berupaya untuk merubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk cara mengelola air minum di rumah tangga.

Meski begitu, Dosen Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Arief Sudrajat kepada Tirto, Jumat (16/4/2021), menyatakan bahwa ia tetap mendorong adanya upaya penurunan konsumsi air. Pasalnya, ketersediaan air secara alamiah saat ini tidak mampu menyamai tingkat konsumsi karena pengelolaan tampungan air hujan masih belum maksimal. Karenanya, ia mendorong rumah tangga di Indonesia untuk berhemat air untuk membantu penanganan krisis air.

Di sisi lain, Arief menilai prestasi Indonesia dalam menangani krisis ini masih belum menggembirakan. Minimnya sistem perpipaan di Indonesia mendorong masyarakat untuk menggunakan air tanah, baik secara mandiri, air kemasan atau air isi ulang. Alhasil, tingginya ekstraksi air tanah mengakibatkan turunnya permukaan tanah ditambah dengan sampah plastik akibat air kemasan.

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu memperluas sistem perpipaan untuk konsumsi rumah tangga. Jika masih belum memungkinkan di suatu daerah, ia mendorong pemerintah untuk melakukan konservasi air dengan memaksimalkan penangkapan air hujan melalui tanah maupun lewat bendungan.

“Air minum dan sanitasi merupakan hak asasi manusia jadi harus dipenuhi oleh negara, mau tidak mau,” ujar Arief.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty