Menuju konten utama

Kriminalisasi Penderita Gangguan Jiwa atas Nama Penodaan Agama

Suzethe Margaret akan diadili dengan pasal penodaan agama. Ia tak bisa bersaksi di pengadilan karena mengidap gangguan jiwa.

Kriminalisasi Penderita Gangguan Jiwa atas Nama Penodaan Agama
Avatar Barita N Lumbanbatu. tirto.id/Saibt

tirto.id - Pada Juni 2019, sebuah video kontroversial beredar. Isinya seorang perempuan, membawa seekor anjing, memakai sepatu, dan berkacamata hitam yang terlihat marah-marah di dalam Masjid Al-Munawaroh, Sentul City, Bogor. Secara keliru dia menuduh suaminya hendak menikah secara Islam di dalam masjid tersebut.

Nama perempuan itu adalah Suzethe Margareth, seorang ibu empat anak, beragama Katolik, dan tinggal di Sentul City.

Suzethe akan disidangkan atas dakwaan Tindak Pidana Penodaan Agama Pasal 156A huruf a KUHP di Pengadilan Negeri Cibinong. Sidang perdana pembacaan dakwaan telah dilakukan pada Rabu, 25 September 2019 di Pengadilan Negeri Cibinong. Anehnya, dalam satu kejadian yang sama Suzethe juga dilaporkan terkait tindak pidana penganiayaan pasal 351 dan 352 KUHPidana.

Siapa Suzethe Margaret?

Saya bertemu Firdaus Situngkir (suami Suzethe) dan Pak RT Jimmy BGH pada 7 September lalu di Perumahan Golf Mediterania, Sentul City, Bogor. Lahir pada 1967, Suzethe memang sudah lama menderita skizofrenia. Mulanya, ketika baru menikah, Firdaus merasa curiga dengan sikap dan perilaku isterinya yang tidak biasa. Pada 1997, Firdaus membawa Suzethe ke rumah sakit. Di situlah Suzethe didiagnosis menderita skizofrenia, gangguan kejiwaan atau disabilitas psiko-sosial yang membuatnya harus minum obat seumur hidup. Ciri-ciri gejalanya adalah sering berhalusinasi dan melakukan hal-hal konyol, hingga terlibat cekcok dengan masyarakat.

Pada 27 Juni 2019, Suzethe berurusan dengan Kepolisian Surabaya karena dituduh melakukan kekerasan kepada seorang penjual soto. Awalnya dia ingin mengetahui penyebab kematian saudaranya. Berhalusinasi dirinya seorang detektif, Suzethe menuduh seorang penjual soto sebagai dalang pembunuhan. Suasana pun tegang. Suzethe mengacak-ngacak dagangan si penjual soto. Untungnya ia bebas dari jeratan pidana karena terbukti menderita kelainan mental. “Kalau saya tidak kasih tahu ke yang punya soto kalau dia (Suzethe) punya kelainan jiwa, bisa habis saya,” kata Firdaus.

Suzethe juga pernah melarang anak-anaknya bersekolah tanpa alasan yang jelas dan mengurung mereka di rumah. Mereka juga enggan bepergian dengan Suzethe karena ia selalu ugal-ugalan ketika menyetir mobil. Maret 2019 lalu, Suzethe menabrak mobil tetangganya yang sedang parkir di halaman hingga kaca depan pecah. “Dia (Suzethe) malah marah-marah sama yang punya mobil,” tambah Pak RT.

Malam harinya saya diajak Firdaus menjenguk Suzethe ke RSJ Marzuki Mahdi, Bogor. Sudah dua bulan Suzethe ‘dibantarkan’ (dipindahkan) sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bogor. “Sebelumnya saya diperiksa dan dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Bogor lalu dipindahkan kemari. Biasanya ada yang jaga dua orang polisi, tapi sepertinya sudah dua hari ini gak ada penjagaan,” kata Suzethe tenang.

Psikater dr. Yongky. Sp.KJ., MM., M.KES, yang pernah mendiagnosis Suzethe sewaktu bertugas di RS Marzuki Mahdi, Bogor, punya kesaksian tersendiri. “Benar memang Suzethe penderita skizofrenia dan saya sudah berikan keterangan dua kali sama penyidik. Saya sudah berikan rekam medis Suzethe sejak 2013. skizofrenia tidak dapat sembuh, seperti penyakit tipes tidak bisa sembuh hanya tenang saja,” kata sang dokter sambil menjelaskan apa itu skizofrenia.

American Psychiatric Association menulis, ketika penyakit ini kambuh, pasien tidak dapat membedakan antara pengalaman nyata dan tidak nyata. Gejalanya beragam, misalnya halusinasi, mendengar suara yang sebenarnya tidak ada, paranoid, dan lain-lain. Ada juga gejala yang menurunkan kemampuan bicara, merencanakan, mengekspresikan emosi, atau menemukan kesenangan. Selain itu, muncul pula gejala disorganisasi seperti kacau berpikir dan berbicara, berperilaku aneh atau melakukan gerakan abnormal. Gejala lain adalah masalah kognisi seperti sulit berkonsentrasi dan gangguan memori.

Kekeliruan Penetapan Suzethe sebagai Tersangka

Pada 1 Juli 2019, Polres Bogor menahan Suzethe dan menyatakannya sebagai tersangka. Polisi bingung karena dalam proses BAP, kesaksian Suzethe tidak nyambung dan ngawur. Pihak keluarga menegaskan bahwa Suzethe punya gangguan jiwa dan menyerahkan rekam medis 2013-2019. Setelah diperiksa di kedokteran kepolisian dan dinyatakan menderita kelainan jiwa, Suzethe dirujuk ke RSJ Marzuki Mahdi Bogor. Namun status Suzethe tetap tahanan Polres Bogor melalui “Surat Pembantaran” tanggal 1 Juli 2019.

Kitab Hukum Acara Pidana sebenarnya tidak mengenal istilah pembantaran. Dalam Kamus KBBI, Pembantaran berarti penangguhan masa penahanan dan diperjelas dengan keterangan “masa penahanan yang tidak dihitung selama dirawat di rumah sakit”.

Adapun pengaturan mengenai ‘pembantaran’ terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat Menginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan. Polisi keliru. Pada saat pembantaran, Suzethe belum ditetapkan sebagai terdakwa alias masih tersangka. Tim penyidik juga telah menerima rekam medis dari rumah sakit yang memeriksa Suzethe sejak ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut R. Soesilo Pasal 44 ayat (1) KUHPidana menerjemahkan bahwa “Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”. Dengan demikian Suzethe mestinya bebas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtscvervolgin).

Kasus serupa juga dialami oleh Aisyah Tusalamah atau Ratu Kerajaan Ubur-ubur yang dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 UU ITE. Aisyah mengunggah empat video yang menimbulkan kecemasan masyarakat melalui akun Facebook. Dalam video tersebut, Aisyah yang mengenakan kaos polos berarna hitam itu melesetkan kalimat syahadat dan menyatakan Nabi Muhammad berasal dari Indonesia. Aisyah dinyatakan bersalah oleh Hakim PN Serang pada 28 Maret 2019 dan dihukum selama lima bulan penjara. Tiga dokter RSJ Grogol (dr. Safitri Wulandari, dr. Agung Priyanto, dan dr. Endah Tri Lestari) yang memeriksa kejiwaan perempuan yang mengaku Ny Roro Kidul dan pemilik harta karun Indonesia tersebut menyimpulkan bahwa Aisyah mengalami gangguan jiwa berat, psikosis, dan tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

Untuk menentukan kejiwaan seorang tersangka, ada dua tahap pemeriksaan standar yang biasa dilakukan penyidik. Pertama, Pemeriksaan auto-anamnesa, yakni mewawancarai langsung kondisi pasien alias tersangka. Dari tatap muka dan berbincang langsung selama wawancara, psikiater dapat menganalisis kelainan jiwa yang mungkin dimiliki si tersangka. Kedua, hetero-anamnesa, yakni pemeriksaan riwayat pasien (tersangka) dari lingkungan sosial di sekitarnya. Kesaksian bisa digali dari keluarga, masyarakat sekitar, atau bahkan penyidik kepolisian sendiri. Dua tahap pemeriksaan itu sudah cukup untuk menentukan kelainan jiwa tersangka kejahatan. Semua tahap sudah dilalui, dan membuktikan bahwa memang Suzethe adalah penderita kelainan jiwa (skizofrenia), sehingga bebas dari segala tuntutan pidana karena tidak cakap hukum.

Pasal Multitafsir

Dalam suatu peristiwa yang dilaporkan ke polisi sebagai penodaan agama, kerap terjadi perbedaan pandangan tentang apakah yang dilaporkan itu bisa digolongkan penodaan agama atau bukan. Artinya, proses peradilan penodaan agama hanya bisa terjadi dengan adanya ahli. Karena ahli berbeda-beda pandangannya, maka yang rentan terjadi adalah diskriminasi—ketika satu ahli dipilih ketimbang yang lainnya.

Berkembangnya cakupan penodaan agama yang diterima pengadilan menunjukkan telah dilanggarnya asas hukum pidana lex certa, lex scripta, dan lex stricta. Padahal asas ini merupakan kunci dalam hukum pidana karena disadari hukum pidana bersifat mengambil hak asasi orang, oleh karena penerapannya harus berhati-hati. Pola penerapan pasal penodaan agama yang menjerat tersangka selalu sama, yaitu pihak yang tersinggung meluas, ada mobilisasi massa dan serangan kepada orang yang dituduh, serta muncul desakan kepada aparat keamanan untuk mengkriminalisasi.

Dalam kasus Suzethe, ada mobilisasi massa oleh pelapor dari Dewan Keluarga Mesjid Al-Munawaroh Sentul City, Bogor untuk mendesak Polres Bogor menetapkan Suzethe sebagai tersangka sehingga bisa diadili. Karena tim dokter kepolisian sudah menyatakan tersangka mengalami kelainan jiwa sehingga harus dirujuk ke RS Jiwa Marzuki Mahdi Bogor, maka harusnya Suzethe bebas dari segala tuntutan pidana dan tak perlu diadili.

Artinya, dalam hal ini penyidik tidak independen dan melakukan kriminalisasi. Beberapa kali Suzethe dan keluarga mendapat intimidasi berupa ancaman pesan singkat dari orang yang tak dikenal. Hingga hari ini Suzethe masih berada di RSJ Jiwa Marzuki Mahdi dan menunggu proses peradilan di PN Cibinong.

Merujuk laporan Human Rights Watch berjudul Atas Nama Agama yang diterbitkan pada Februari 2013, pada awal dekade 1960-an kalangan muslim konservatif menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, yang mereka tuduh menodai Islam. Dibentuklah Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dari situ Sukarno menyisipkan pasal 156a di KUHP yang dipakai untuk mengatur suatu golongan tertentu.

Hanya sedikit kasus penistaan agama yang dilaporkan sepanjang Orde Baru. Jumlah kasus melonjak pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Sebanyak 250 kasus dilaporkan dan 130 di antaranya disidangkan. SBY membentuk Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), organisasi di bawah Kejaksaan Agung yang berwenang mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Bakor Pakem mengusulkan pelarangan Ahmadiyah pada April 2008. Dua bulan kemudian, kegiatan penyiaran keagamaan Ahmadiyah dilarang. SBY pun membentuk peraturan bersama menteri mengenai kerukunan beragama yang berpijak pada prinsip “mayoritas melindungi yang minoritas dan minoritas menghormati mayoritas”.

Terhitung sejak Jokowi dilantik sebagai presiden, setidaknya ada 40 kasus penodaan agama yang dilaporkan, di antaranya kasus Gafatar, pembubaran HTI, dan penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama alias Ahok.

Ketika masih memerintah, Gus Dur sempat ingin mencabut pasal penistaan agama yang menurutnya membatasi kebebasan berpendapat. Pada 2010, Gus Dur pernah melakukan uji materil UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peninjauan UU ini juga sempat diajukan oleh penganut Syiah dari Sampang (2017) dan Ahmadiyah (2018). Namun, MK menolak dalil para pemohon uji materiil dengan alasan bahwa undang-undang penodaan agama tidak ​​bertentangan dengan hak atas kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam pasal 28E dan 29 UUD 1945.

Amnesti International, yang bersama-sama dengan tiga LSM lainnya mengajukan pengarahan hukum ("amicus curiae") kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia, menyampaikan bahwa hukum penodaan agama ​​dan Pasal 156 (a) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 yaitu hak asasi manusia tentang kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kesetaraan. Mahkamah Konstitusi menguatkan validitas undang-undang penodaan ​​agama dengan alasan “publik, “ketertiban” dan “nilai-nilai agama” sebagaimana diatur dalam Pasal 28J (2) UUD 1945. Pertama, MK menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk campur tangan dalam keyakinan atau keyakinan suatu kelompok dan melarang ajaran untuk kepentingan ketertiban umum. Menurut hakim, ketiadaan aturan untuk mengkriminalisasi tindakan penistaan bisa menyebabkan "konflik horizontal, kerusuhan sosial, perpecahan sosial dan permusuhan dalam masyarakat”. Kedua, MK menegaskan kembali Pasal 4 hukum penistaan dan Pasal 156 (a) KUHP pada 2013 yang menegaskan bahwa ajaran agama non-ortodoks, perbedaan interpretasi keyakinan tertentu, bahkan kritik terhadap nilai-nilai agama tertentu menjadi ancaman bagi ketertiban umum atau stabilitas politik.

Berbagai kalangan yang ingin mempertahankan pasal ini terus melakukan advokasi melalui berbagai forum, misalnya melalui Rancangan Hukum Pidana (RKUHP). Mereka meyakini pasal ini masih diperlukan untuk mengurus masalah-masalah terkait kehidupan beragama. Dalam pembahasan Revisi KHUP yang akan disahkan akhir September 2019, pasal penodaan agama bertambah menjadi dua bab, terdiri dari enam pasal (Pasal 304-Pasal 309).

Secara politis, penghapusan delik penodaan agama di Indonesia terlihat sulit dilakukan sehingga dibutuhkan pendekatan baru untuk memastikan perlindungan hak-hak asasi warga negara, khususnya perlindungan dari jerat eksesif Pasal 156a KUHP. Faktanya, pasal ini multitafsir, tidak didasarkan pada kriteria penerapan hukum yang jelas, dan bersifat diskriminatif karena hanya berdasarkan pemahaman ahli agama tertentu saja.

Menurut analisis lembaga riset Pew Research Center pada 2014, sekitar 26 persen atau 1/4 negara di dunia memiliki hukum/kebijakan anti-penodaan agama. Sementara itu, satu dari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukum yang melarang kemurtadan/penyesatan. USCIRF menunjukkan bahwa dari total 195 negara di dunia, 71 negara masih memiliki pasal penodaan agama. Sebanyak 25,4% dari 71 negara tersebut berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Asia-Pasifik (25,4%), Eropa (22,4%), Afrika Sub-Sahara (15,5%), dan di benua Amerika (11,2%). Beberapa negara di Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai penerapan hukum ini telah melanggar kewajiban negara menjamin hak sipil dan politik warganya.

=====

Edisi terjemahan bahasa Inggris tulisan ini bisa dibaca di Indonesia at Melbourne dengan judul "Criminalising the mentally ill: schizophrenic woman to face court for blasphemy".

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.