Menuju konten utama

KPU Didesak Menindak Peserta Pemilu yang Memakai Isu SARA

Anggota DPR Ace Hasan Syadzili minta KPU memasukkan soal penindakan isu SARA dalam pembahasan Peraturan KPU (PKPU).

KPU Didesak Menindak Peserta Pemilu yang Memakai Isu SARA
Sejumlah masa yang tergabung dalam Lintas Pemuda Etnis Nusantara melakukan aksi kampanye di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (10/9). Dalam aksinya mereka mengajak warga agar tidak menggunakan isu sara untuk menyukseskan Pilkada serantak. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ace Hasan Syadzili telah mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memasukkan penindakan isu SARA di media sosial ke dalam pembahasan Peraturan KPU (PKPU) di DPR hari Rabu (23/8/2017) kemarin.

Dalam rapat tersebut, KPU menilai penggunaan medsos merupakan domain pribadi yang tidak mungkin ditindak, terutama akun-akun yang bukan menjadi bagian resmi tim sukses.

"Saya kira harus ada pengaturan khusus soal larangan isu SARA di medsos," kata Ace di Gado-Gado Boplo (26/8/2017).

Persebaran isu SARA di medsos, menurut Ace, sama halnya dengan kampanye hitam yang dapat merugikan salah satu kandidat dalam pemilihan umum.

"Menurut saya itu sudah jelas hukumnya. Di UU ITE juga sudah diatur. Dan untuk konteks pemilu, perlu dibuat aturannya oleh KPU, karena itu domain mereka," kata Ace.

Ace menyebut Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai contoh pesta demokrasi yang marak dengan isu SARA dan hoax untuk mendiskreditkan salah satu kandidat. Lebih spesifik lagi yakni isu-isu anti-muslim dan sentimen anti-Cina yang ditujukan pada Ahok.

"Tapi kan itu tidak bisa ditindak karena tidak ada peraturannya," kata Ace.

Senada dengan Ace, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Jakarta Astari Yanuarti menyatakan hoax dan isu SARA di medsos marak di momen politik seperti pemilu.

"Konten-kontennya itu mayoritas soal politik," kata Astari di tempat dan acara yang sama.

Persebaran itu, menurut Astari, semakin massif karena dibumbui preferensi ideologi masyarakat yang masih terpolarisasi, sehingga mereka menyebarkan konten-konten tersebut secara sukarela.

"Ideologi sangat berperan di sini. Seperti ada julukan 'metrotipu' pada Metro TV karena pemberitaannya dianggap berseberangan dengan mereka," kata Astari.

Direktur NU Online Savic Ali menyatakan polarisasi semacam itu mulai terjadi sejak Pemilu 2014. "Sejak saat itu, banyak tumbuh situs-situs oportunis yang memanfaatkan isu politik dan SARA sebagai clickbait," katanya kepada wartawan Tirto, Kamis (24/8/2017).

Sementara itu, praktisi hukum Andi Syafrani menyatakan bahwa perlawanan terhadap penyebaran isu SARA harus dilakukan dengan instrumen dan penegakan hukum yang menyeluruh. Tidak hanya menyasar penyebar hoax dan isu SARA di medsos, tapi juga pihak-pihak yang memesan isu-isu tersebut.

"Persoalan kita adalah pada aspek demand. Ada orang yang mau memesan pekerjaan seperti ini konten fitnah dan adu domba. Kalau terbukti dibuka pemesan, ini harus dihukum. Harus dihukum pidana dan sosial," kata Andi di Gado-Gado Boplo (26/8/2017).

Namun, imbuhya, penegak hukum seringkali hanya berhenti pada penyebarnya saja. Padahal sudah jelas ada transaksi di dalamnya, seperti halnya pada kasus Saracen yang menjual konten dengan harga ratusan juta pada pihak-pihak yang memesan.

"Ini kan sama aja seperti transaksi narkoba," kata Andi.

Andi pun memandang persebaran hoax maupun isu SARA di medsos bisa mengganggu proses demokrasi yang sedang dijalankan di Indonesia melalui pemilu tingkat lokal maupun nasional.

"Kalau memang memungkinkan, setelah terbukti terkait dengan pihak politik atau kandidat tertentu, mereka bisa didiskualifikasi atau dibatalkan ketika jadi," kata Andi.

Baca juga artikel terkait BERITA HOAX atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Akhmad Muawal Hasan & Maulida Sri Handayani