Menuju konten utama

KPK Supervisi Kejagung & Polri: Kasus Djoko Tjandra Akan Diambil?

KPK didesak turun tangan karena orang kuat terindikasi berkomplot dengan Djoko Tjandra.

KPK Supervisi Kejagung & Polri: Kasus Djoko Tjandra Akan Diambil?
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra menjalani sidang lanjutan dalam perkara dugaan suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/11/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

tirto.id - Tertangkapnya Djoko Tjandra pada akhir Juli lalu masih menyisakan pekerjaan rumah bagi aparat penegak hukum. Ditengarai pelaku kuat masih berkeliaran setelah seorang jaksa dan dua jenderal polisi dihadapkan pada meja hijau.

Desakan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut jejaring komplotan Djoko Tjandra telah mencuat sejak awal, akan tetapi terhambat regulasi. Baru-baru ini KPK mulai menjalankan supervisi kepada Kejaksaan Agung dan markas besar Polri.

Boyamin Saiman, ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia, lembaga nirlaba fokus isu Djoko Tjandra, berkali-kali mendesak KPK untuk turun tangan.

Boyamin tercatat menyerahkan dokumen setebal 200 halaman berisi percakapan diduga antara Pinangki Sirna Malasari, jaksa terdakwa gratifikasi dan aktor di balik rencana pembebasan Djoko Tjandra dengan Anita Kolopaking, pengacara buronan kasus cessie (hak penagihan) Bank Bali.

Ada sebutan 'bapakku dan bapakmu' dan 'king maker' dari percakapan Pinangki dan Anita. Inisial istilah itu dianggap mengarah kepada orang kuat yang selama ini belum tersentuh penyidikan kepolisian dan kejaksaan.

“Saya serahkan ini ke KPK untuk didalami. Kalau toh supervisi sudah terlalu ketinggalan, saya minta untuk diambil alih," kata Boyamin.

Belakangan, Boyamin juga melaporkan pemberian 100 ribu dolar Singapura dari seseorang kepada KPK. Ia melapor karena tujuan pemberian uang agar bungkam setelah Djoko Tjandra ditangkap. Sebelumnya, Boyamin lantang bersuara terkait mafia hukum di balik leluasanya Djoko Tjandra ke Indonesia tanpa terdeteksi pemerintah.

Omongannya terbukti dengan dua petinggi polisi, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetyo Utomo menjadi terdakwa gratifikasi miliaran rupiah dari Djoko Tjandra. Napoleon pernah meminta uang ke Djoko dengan sebuah isyarat bahwa sebagian duit untuk ‘petinggi kita’. Tak jelas siapa dimaksud. Klaster penerima duit Djoko di kepolisian saat ini hanya dua orang jenderal tersebut.

Desakan Ambil Alih Kasus

Bola kasus Djoko Tjandra masih dipegang oleh kejaksaan. Lembaga di bawah pimpinan Sanitia Burhanuddin bergeming soal desakan publik ikut mengawasi.

Kejaksaan selama ini menutup rapat upaya Komisi Kejaksaan ikut memeriksa Pinangki. Dua kali permintaan pemeriksaan diabaikan oleh Kejagung. Ketua Komjak, Barita Simajuntak pun menengarai ada keanehan, sehingga ia berpaling kepada KPK.

"Apa KPK masih mau diam, tidak melakukan langkah proaktif? Mafia hukum ini sudah sangat mengancam," kata Barita, melansir Antara.

Padahal, Kejaksaan Agung diduga melanggar administrasi oleh Ombudsman, lembaga negara pengawal pelayanan publik. Kejagung dinilai melakukan penyimpangan prosedur terkait tidak diperpanjanganya status DPO dan pencekalan. Kejagung membantah karena Pinangki saat ini sudah ditangani. Sedangkan pencekalan Djoko Tjandra tak diperlukan agar bisa ditangkap dan dibawa ke Indonesia.

Indikasi orang kuat muncul sidang Pinangki. Terdapat proposal berisi pembebasan Djoko dengan melibatkan orang kuat berinisial T, BR, HA, DK dan SHD.

Dalam surat dakwaan, BR merujuk Jaksa Agung ST Burhanuddin, sedangkan HA adalah Hatta Ali, eks ketua Mahkamah Agung. Sayangnya, saat sidang, Djoko enggan menjelaskan identitas dari inisial tersebut dan memilih jawaban ‘tak tahu’ saat ditanya majelis hakim ‘apakah Pinangki diutus seseorang’.

Sikap abai kejaksaan terhadap Komjak, pelanggaran maladministrasi dan tak adanya koordinasi dengan KPK membuat lembaga nirlaba untuk pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) akhirnya melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk mencopot ST Burhanuddin dari jabatan Jaksa Agung.

KPK di awal kasus terhambat regulasi. Masuknya KPK untuk supervisi baru akhir September.

Peraturan Presiden nomor 102 tahun 2020 baru terbit bulan Oktober, setahun usai revisi undang-undang KPK disahkan. Tercatat sudah dua kali KPK mengirimkan surat supervisi kepada Kejagung dan Polri. Lagi-lagi lembaga antirasuah ini belum menerima salinan berkas perkara dan berita acara pemeriksaan (BAP).

"Bukan KPK ingin dihargai. Akan tetapi supervisi ini tugas dan kewenangan UU kepada KPK. Jadi aturan hukum itu yang seharusnya dihargai oleh kita, penegak hukum," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.

Dalam Perpres 102/2020, KPK berhak mensupervisi kasus dari Kejagung dan Polri meliputi pengawasan, penelitian dan penelaahan. Hasil dari supervisi dapat digunakan untuk mengambil alih kasus yang sedang ditangani saat penyidikan dan penuntutan. Sejauh ini KPK mengisyaratkan belum akan ambil alih namun desakan publik yang muncul meminta sebaliknya.

Desakan KPK ambil alih kasus kasus Djoko, menurut Kurnia Ramadhana dari ICW, karena posisi Pinangki janggal. Pinangki menempati jabatan tak terkait dengan kewenangan menjalankan proposal pembebasan Djoko.

"Hal ini penting dilakukan KPK untuk menyelidiki kemungkinan adanya aktor lain yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra," ujar Kurnia.

Dokumen dari jaksa dan polisi akan berguna bagi KPK untuk mendalami dugaan keterlibatan petinggi institusi tertentu yang memberikan bantuan kepada Djoko Tjandra.

Baca juga artikel terkait KASUS DJOKO TJANDRA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino