Menuju konten utama

KPK: Parpol Berperan Hapus Dinasti Politik yang Rawan Korupsi

KPK berharap partai bisa memperhatikan bahaya korupsi yang dilakukan dinasti politik, terutama setelah MK kembali memperbolehkan dinasti politik.

KPK: Parpol Berperan Hapus Dinasti Politik yang Rawan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,Jakarta. tirto.id/Tf Subarkah.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti pentingnya peran partai dalam menekan korupsi terutama terkait politik dinasti.

"Kami melihat ada resiko besar kalau sebuah daerah dipimpin oleh politik dinasti. Tentu kalau politik dinasti kita kaitkan apakah proses kepemimpinan objektif atau tidak, ada konflik kepentingan atau tidak dan apakah pengawasannya maksimal atau tidak," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (8/3/2018).

Febri mengaku, permasalahan dinasti politik sempat berusaha diselesaikan dengan regulasi. Akan tetapi, regulasi tersebut digugurkan setelah MK mengeluarkan putusan yang memperbolehkan dinasti politik.

KPK berharap partai bisa memperhatikan bahaya korupsi yang dilakukan dinasti politik, terutama setelah MK kembali memperbolehkan dinasti politik.

"Harapannya lebih kepada pengambilan kebijakan di partai politik ya untuk meminimalisir calon-calon yang masih ada dimensi politik dinastinya. Jadi agar hal-hal yang sama atau risiko-risiko korupsi bisa diminimalisir," kata Febri.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo sepakat dengan pandangan KPK tentang rentannya korupsi di lingkungan dinasti politik. Politik dinasti bisa membuat pemerintahan terganggu karena tidak berjalan dengan konsep check and balances.

"Secara konseptual dinasti politik itu semakin memperburuk situasi korupsi karena kontrol terhadap penyelenggaraan negara menjadi tidak berjalan apalagi dinasti politik itu terbangun pada dua komponen atau dua pilar pemerintah negara yang krusial untuk memastikan check and balances," kata Adnan saat dihubungi Tirto, Kamis.

Adnan mencontohkan, kepala daerah adalah saudara dari Ketua DPRD di daerah yang sama. Legislatif, yakni DPRD seharusnya mengawasi kinerja eksekutif. Akan tetapi, dengan adanya hubungan keluarga, pengawasan DPRD kepada eksekutif bisa berkurang akibat faktor kekeluargaan.

Adnan memaklumi konsep dinasti politik masih ada di Indonesia. Ia menerangkan, daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih menerapkan konsep keluarga besar (extended family). Dalam konsep tersebut, keluarga besar seringkali dilibatkan untuk urusan tertentu, termasuk bila seseorang menjadi pejabat publik. Pejabat tersebut tidak tertutup kemungkinan melibatkan keluarga untuk menjalankan pemerintahan.

Menurut Adnan, pasca reformasi, dinasti politik hanya ada di dua daerah, yakni Banten dan Sulawesi Selatan. Di luar dua daerah itu, memang banyak yang berusaha membangun dinasti mereka. Akan tetapi, dinasti tersebut kebanyakan terhenti akibat sejumlah faktor. "Biasanya berhenti pada satu tahap karena misalnya kasus yang muncul ditangani KPK, berhenti," kata Adnan.

Adnan menilai, partai politik mempunyai peran penting dalam permasalahan dinasti politik yang rentan korupsi. Di Indonesia, partai yang merupakan corong utama mencari kader terbaik justru dimiliki oleh elit tertentu. Ia mencontohkan PDIP yang identik dengan Megawati, Partai Demokrat yang identik dengan Susilo Bambang Yudhoyono, hingga partai baru seperti Perindo yang identik dengan Hary Tanoe.

Menurut Adnan, situasi tersebut membuat partai sulit mencari kader terbaik lantaran elit tersebut menggunakan kewenangannya. Mereka bisa saja beralasan sudah berkontribusi dan "berinvestasi" dalam jumlah besar sehingga kebijakan partai dipegang oleh elit tersebut.

Selain itu, situasi yang sama juga terjadi di daerah. Ia mengaku, sistem dinasti politik daerah cukup kuat. Sebagai contoh, seorang Ketua perwakilan daerah suatu partai bisa memaksakan keluarganya untuk maju Pilkada. Mereka bisa mengondisikan sang anggota keluarga maju Pilkada.

Menurut Adnan, partai lah yang menjadi kunci dalam pemberantasan korupsi pada kondisi dinasti politik. Partai harus mampu mereformasi dirinya dengan menerapkan sistem demokrasi. Mereka harus mereformasi pendanaan politik. Partai harus membuang pandangan orang yang berkontribusi banyak ke partai sebagai "pemegang saham". Mereka juga perlu menerapkan sistem pengaderan serta seleksi kandidat kepala daerah agar tidak terjadi praktik korupsi.

Penetapan tersangka Walikota Kendari, Adriatma Dwi Putra dan Cagub Sulawesi Tenggara Asrun dari PAN menambah daftar korupsi dalam lingkaran dinasti politik dan jabatan strategis partai. Asrun pernah menjabat sebagai Ketua DPD PAN kota Kendari 2012-2016 sementara anaknya, Adriatma tengah menjabat sebagai sekretaris DPW PAN Sultra.

Pada 2014, KPK mengungkap korupsi di lingkaran dinasti politik di Banten. Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ia dan adiknya Tubagus Chaeri Wardhana terbukti melakukan suap kepada Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. Atut terbukti juga melakukan korupsi dana pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten yang merugikan negara sebesar Rp 76 milliar. Pada saat itu, Atut adalah istri dari Hikmat Tomet, Ketua DPD Banten Partai Golkar.

Kini, pengaruh keluarga Atut masih mengakar di Banten, Walikota Serang Ratu Tatu Chasanah merupakan adik sekaligus Ketua DPD Golkar Banten sementara Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany merupakan adik ipar Atut. Hingga saat ini, KPK masih menelusuri tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan adik Atut, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Beragam mobil dan aset telah disita KPK dari kasus tersebut.

Selain Banten, KPK pernah menangkap ayah dan anak di waktu berbeda. Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara adalah contoh lain dari dinasti politik. Ayah Rita, Syaukani pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan divonis penjara dalam korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang diyakini merugikan negara sebesar Rp 15,36 miliar. Syaukani yang merupakan Bupati Kutai Kertanegara periode 1999-2004 itu divonis 2,5 tahun penjara.

Anak Syaukani, Rita kini tengah menjalani persidangan dugaan tindak pidana korupsi. Rita didakwa menerima suap sebesar Rp 6 miliar sehubungan dengan pemberian izin lokasi perkebunan kepala sawit di Desa Kupang Baru, Muara Kaman, Kabupaten Kukar kepada PT Sawit Golden Prima. Ia pun didakwa menerima gratifikasi hingga Rp 469 miliar dari perizinan di Kutai Kertanegara. Rita pun mempunyai jabatan strategis di partai karena menjabat Ketua DPD Golkar Kalimantan Timur saat ditangkap KPK.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri