Menuju konten utama

KPK Era Firli: Minim OTT, Diisi Perwira Polri, Pegawai Mundur

Revisi UU KPK dan pengangkatan Firli menjadi dua momentum yang mengubah wajah KPK.

KPK Era Firli: Minim OTT, Diisi Perwira Polri, Pegawai Mundur
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Febri Diansyah mundur. Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK itu mengundurkan diri dari KPK pada 24 September 2020. Alasannya, kondisi dan situasi KPK telah berubah setahun terakhir.

Sembilan bulan sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi melantik Firli Bahuri menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 20 Desember 2019. Atau, sekitar 3 bulan pasca-revisi UU KPK diundangkan oleh pemerintah pada 17 Oktober 2019.

Revisi UU KPK dan pengangkatan Firli, dua momentum tersebut, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar membikin wajah KPK tidak lagi sama.

“Sejak revisi UU KPK, ada perubahan paradigmatis dan sistemik dalam KPK. Sehingga sulit mengharapkan seperti KPK pada masa lalu,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (2/10/2020).

Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII), KPK hanya mampu melakukan operasi tangkap tangan sebanyak dua kali (kasus Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan) selama 6 bulan Firli menjabat.

Terjadi penurunan OTT--dengan parameter waktu 6 bulan--dari tahun-tahun sebelumnya: KPK melakukan OTT sebanyak 8 kali pada 2016, sebanyak 5 kali pada 2017, 13 kali pada 2018, dan 7 kali pada 2019.

KPK juga mengalami berbagai polemik internal: pemulangan penyidik Kompol Rossa Purbo Bakti ke Polri, diduga terkait penanganan kasus Harun Masiku (kini Rossa sudah bekerja kembali di KPK); Ketua KPK Firli Bahuri melanggar etik karena hidup mewah dengan menyewa helikopter JT-PKO untuk keperluan pribadi; hingga mundurnya 31 pegawai dalam rentang waktu Januari-September 2020, termasuk Ka Biro Humas Febri Diansyah. (Pada 2 Oktober 2020, sumber Tirto mengatakan dua pegawai: staf Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi Putri Rahayu dan staf Biro Hukum Indra Mantong, mengundurkan diri).

Melalui UU 19/2019, menurut Fickar, posisi KPK menjadi tidak independen; status kepegawaian beralih dari swasta menjadi PNS. Situasi tersebut yang membuat kerja-kerja pemberantasan korupsi menjadi tidak maksimal: KPK akan mudah dikendalikan rezim yang sedang berkuasa.

“Contoh konkret penegak hukum yang di bawah eksekutif: Kejaksaan dan Kepolisian, sejak dulu tidak pernah independen; banyak kepentingan; berpotensi menjadi locus delicti korupsi baru,” ujar Fickar.

Menurut Fickar, perubahan sistemik pula yang menyebabkan banyak pegawai KPK memilih mengundurkan diri, “karena merasa tidak bisa lagi bekerja maksimal.”

Mantan Ketua KPK periode 2011-2015 Abraham Samad berpendapat, setiap individu di KPK yang memiliki idealisme pemberantasan korupsi akan tidak betah dengan kondisi pasca-revisi UU KPK; kemudian memilih mundur ketimbang bertindak namun dengan pandang bulu.

Perilaku Firli Bahuri yang penuh kontroversi dan melanggar etik, menurut Samad, menjadi faktor lain krisis di tubuh KPK saat ini: para pegawai kehilangan contoh tauladan dari sosok pimpinan.

“Di KPK itu, orang berjuang sekaligus beribadah. Krisis sekarang terjadi akibat dua faktor: revisi UU KPK dan tidak adanya keteladanan dari komisioner, yang bisa dicontoh dan menciptakan suasana harmonis,” ujarnya kepada Tirto, Jumat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan KPK akan tetap independen meski pegawainya menjadi PNS; hal tersebut berlaku untuk penyidik kepolisian dan kejaksaan yang sedang dipekerjakan untuk KPK.

"Karena ini selalu jadi pertanyaan, seolah-olah ASN tidak independen, kami pastikan dalam penyidikan korupsi, KPK tetap independen, hal itu dijamin UU KPK tidak ada intervensi dari pihak manapun," ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat malam.

Loyalitas Ganda

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai banyak anggota kepolisian menjadi faktor lain kemunduran KPK saat ini.

Selain Firli Bahuri, KPK memiliki sejumlah anggota Polri yang menjabat posisi strategis: Brigadir Jenderal Setyo Budiyanto sebagai Direktur Penyidikan, 5 nama menjabat Koordinator Wilayah: Didik Agung Widjanarko, Agung Yudha Wibowo, Bahtiar Ujang Purnama, Kumbul Kuswijanto, dan Yudhiawan.

“Maraknya perwira tinggi dari korps kepolisian yang mengisi jabatan strategis mengindikasikan semakin kuatnya loyalitas ganda,” ujarnya kepada Tirto, Jumat.

Keberadaan anggota Polri, menurut Alvin, berpotensi membuat buruk citra pemberantasan korupsi di mata dunia internasional; sebab “melanggar komitmen UNCAC dan The Jakarta Principles untuk membangun badan antikorupsi yang powerful dan dijamin independensinya.”

Situasi tersebut membuat Alvin khawatir dapat meningkatkan indeks persepsi korupsi di kemudian hari, lantaran kinerja penegakan hukum di KPK tidak lagi efektif.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai penyebab kemunduran KPK sudah terjadi sejak dilantiknya Firli Bahuri. Firli bahkan sudah bermasalah sejak masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK; ia melanggar etik lantaran menemui pihak yang sedang berperkara di institusi antirasuah tersebut.

“Saat ini KPK hanya bisa menunjukkan rangkaian kontroversi, ketimbang prestasi,” ujarnya kepada Tirto, Jumat.

Perbaikan KPK

Menurut Abraham Samad, cara untuk menyelamatkan KPK agar kembali bertaji, yakni dengan mengembalikan regulasi kepada UU lama atau merumuskan UU baru yang menjunjung independensi: lepas dari bayang-bayang eksekutif.

Ia ingin KPK memiliki jalan juang berbeda sebagai penegak hukum daripada Kejaksaan Agung dan Polri--dua instansi yang bernaung di bawah eksekutif.

“Filosofi pembentukan KPK karena ada ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum yang ada untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi,” ujar Samad.

Sementara Alvin Nicola mendesak agar Presiden Jokowi menepati janjinya untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk membenahi dampak yang disebabkan oleh UU 19/2019.

Menurut Alvin, sebagai upaya pembenahan jangka pendek KPK harus mulai membenahi internal: soal manajemen kepegawaian.

“Para pemimpin harus practice what you preach, kurangi gimik politik yang tidak ada hubungannya bagi kepentingan KPK,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Mohammad Bernie
Penulis: Alfian Putra Abdi & Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri