Menuju konten utama

KPK dan BPK Diminta Kawal Penghentian Swastanisasi Air di Jakarta

Sejumlah aktivis meminta KPK, BPK dan BPKP memantau proses penghentian swastanisasi air di Jakarta. Mereka menilai Pemprov DKI tidak perlu membayar kompensasi ke Palyja dan Aetra. 

KPK dan BPK Diminta Kawal Penghentian Swastanisasi Air di Jakarta
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar aksi mandi dan mencuci bareng di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis, (22/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) diminta mengawal proses penghentian privatisasi atau swastanisasi air di Jakarta.

Ketiga lembaga tersebut diharapkan turut memantau proses negosiasi dalam pelaksanaan rencana Pemprov DKI memutuskan kontrak antara PD PAM JAYA dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

Hal tersebut diungkapkan oleh beberapa aktivis masyarakat sipil yang memantau isu privatisasi air di Jakarta, yaitu Elisa Sutanudjaja dari RUJAK Center, peneliti HAM dan privatisasi air Andreas Harsono, dan Direktur Kantor Hukum Lokataru, Haris Azhar.

Andreas Harsono mencatat privatisasi air di Jakarta sejak 1998 hingga Desember 2016, telah menyebabkan PAM Jaya mengalami kerugian Rp1,26 triliun dan ekuitas negatif Rp945 miliar.

"Ini merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan BPKP tahun 2017," kata Andreas saat konferensi pers di RUJAK Center, Cikini, Rabu (3/4/2019).

Selain itu, kata Andreas, sebagian warga DKI Jakarta sampai sekarang belum mendapat layanan air perpipaan sehingga harus menggunakan air tanah yang terkontaminasi atau membeli air secara eceran dengan harga mahal.

Andreas juga menengarai pelanggan layanan air bersih di DKI harus membayar hampir dua kali lipat lebih besar dari nilai tarif wajar apabila air tidak bocor. Hal ini, kata dia, akibat kebocoran air di Jakarta saat ini mencapai 50 persen.

"Karena itu, kami meminta KPK dan kantor audit milik negara seperti BPK dan BPKP, untuk masuk dan mengawal proses negoisasi. Ini proses negosiasi yang sangat penting karena menyangkut nasib penyediaan air bagi lebih dari 13 juta penduduk Jakarta," kata Andreas.

Menurut Andreas, proses penghentian privatisasi air di Jakarta harus dipastikan transparan dan akuntabel.

"Negosiasi rawan penyelewengan karena negosiasi tim Pemprov DKI Jakarta hanya diwakili oleh Dirut PAM JAYA yang 9 bulan lalu masih menjabat Sekretaris Korporat PT Aetra," ujar dia.

Andreas menambahkan, sampai saat ini, PT Palyja dan PT Aetra tidak dapat memenuhi target, sebab cakupan layanan air baru 60 persen dan kebocoran yang merugikan pelanggan masih tinggi.

Oleh karena itu, menurut dia, semestinya Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan kompensasi, yang mungkin dituntut oleh dua perusahaan itu jika kontraknya dengan PAM Jaya diputus.

"Malah sebaliknya, justru swasta harus membayar kompensasi pada pelanggan air ledeng Jakarta karena mengakibatkan kerugian pelanggan," kata Andreas.

Dia meperkirakan, pelanggan layanan air di DKI Jakarta rata-rata harus menanggung kerugian setia tahun sebesar Rp1,65 juta akibat kinerja buruk PT Palyja dan PT Aetra. Angka itu hasil penghitungan biaya yang harus dibayar pelanggan akibat kebocoran air.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sudah berjanji akan mengumumkan head of agreement (HoA) atau induk perjanjian, yang menjadi langkah awal untuk menghentikan swastanisasi air di ibu kota, pada 8 April mendatang.

Smeentara Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang, mengakui masih terdapat sedikit masalah administrasi yang belum tuntas dalam proses perumusan perjanjian itu.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom