Menuju konten utama

KPK Bisa Seret Lippo Group dalam Kasus Suap Meikarta

Yang dibutuhkan KPK hanya bukti bahwa Billy Sindoro selaku Direktur Operasional Lippo Group tahu dan perintahkan suap itu.

KPK Bisa Seret Lippo Group dalam Kasus Suap Meikarta
Foto aerial pembangunan gedung-gedung apartemen di kawasan Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (16/10/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, Bupati Kabupaten Bekasi Neneng Hasanah Yasin, dan 7 orang lainnya terkait kasus suap perizinan proyek Meikarta. Mereka ditetapkan sebagai tersangka usai komisi antirasuah menggelar operasi tangkap tangan yang dilakukan sejak 14 sampai 15 Oktober 2018.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif saat melakukan konferensi pers di Gedung KPK, pada 15 Oktober lalu, menyebut bahwa pemberian suap oleh Billy Sindoro; konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta Henry Jasmen yang merupakan pegawai Lippo diduga terkait dengan sejumlah perizinan yang sedang diurus Lippo Group di Kabupaten Bekasi.

Dalam pengurusan izin ini, Lippo Group membaginya menjadi tiga fase. Fase pertama untuk pengurusan lahan seluas 84,6 hektare (ha), fase kedua untuk pengurusan lahan seluas 252,6 ha, dan fase ketiga untuk pengurusan lahan seluas 101,5 ha. Tiga fase ini totalnya 438,7 ha [dalam rilis KPK mencapai 774 ha]. Pemberian suap itu merupakan bagian dari komitmen fee untuk pengurusan izin fase pertama sebesar Rp13 miliar melalui sejumlah dinas. Namun sejauh ini, Lippo Group baru memberikan Rp7 miliar.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, menilai KPK seharusnya tak hanya berhenti pada penyidikan terhadap sembilan orang tersebut. Dalam kasus ini, kata dia, komisi antirasuah bisa menyeret Lippo Group secara korporasi.

"Karena semua perizinan untuk dan atas nama kepentingan perusahaan, maka saya berpendapat korporasi juga sudah menjadi subjek pelaku dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya, termasuk salah seorang yang kena OTT KPK," kata Fickar kepada reporter Tirto, Rabu (17/10/2018).

Fickar menambahkan, karena yang terjadi adalah kasus dugaan suap perizinan proyek, KPK seharusnya bisa lebih gampang mentersangkakan perusahaan yang didirikan Mochtar Riady itu. Alasannya, komisi antirasuah tidak perlu lagi menghitung kerugian negara.

Menurut dia, hal itu sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi telah mengatur soal tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. Apalagi, kata Fickar, Mahkamah Agung (MA) juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara oleh Korporasi.

Untuk menjerat korporasi berdasarkan regulasi yang berlaku, kata Fickar, maka tindak pidana korupsi harus dilakukan oleh orang secara individual atau bersama-sama yang bertindak dalam lingkungan korporasi terkait.

"Jadi siapa pun dalam organisasi perusahaan yang melakukan Tipikor untuk kepentingan perusahaan dapat disebut mewakili korporasi, karena itu korporasi dapat ditempatkan sebagai subjek pelaku," kata Fickar.

Korporasi sebagai Tersangka

Dorongan agar KPK menyeret Lippo Group dalam dugaan suap proyek Meikarta ini bukan isapan jempol belaka. Sebab pada April 2018, komisi antirasuah sudah pernah mentersangkakan dua korporasi dalam kasus korupsi proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Proyek itu dibiayai dengan skema anggaran multiyears dari APBN 2006-2011. Nilai total proyek adalah Rp793 miliar. KPK menduga korupsi dalam proyek ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp313 miliar.

Dua korporasi itu adalah PT Nindya Karya (NK) dan PT Tuah Sejati (TS). Nindya Karya merupakan BUMN. Dua korporasi itu ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pengembangan perkara korupsi dengan terpidana Heru Sulaksono, yakni Kepala Cabang PT Nindya Karya Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam sekaligus kuasa Nindya Sejati Joint Operation.

KPK menduga PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati menerima keuntungan dari korupsi di proyek ini mencapai Rp94,58 miliar. Perinciannya, PT Nindya Karya mendapat keuntungan Rp44,68 miliar dari proyek itu. Sementara PT Tuah Sejati diduga memperoleh keuntungan sebesar Rp 49,9 miliar.

KPK pun menyangkakan PT Tuah Sejati dan PT Nindya Karya melanggar pasal 2 ayat 1 dan/atau pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1.

Lalu, bagaimana dengan kasus dugaan suap proyek Meikarta?

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengatakan, saat ini yang dibutuhkan KPK hanyalah bukti bahwa Billy Sindoro selaku Direktur Operasional Lippo Group mengetahui atau memerintahkan pemberian suap untuk proyek Meikarta.

"Katakanlah dia tahu [soal pemberian suap], ya sudah, selesai. [Apalagi kalau] kemudian saksi-saksi juga bilang dia nyuruh, ya sudah,” kata Romli kepada reporter Tirto.

Untuk itu, Romli menilai saat ini bola berada di tangan KPK. Ia meminta komisi antirasuah jangan ragu apabila bukti-bukti yang ditemukan mengarah pada Lippo Group sebagai korporasi. Apalagi, kata Romli, Perma Nomor 13 tahun 2016 yang digodok bersama antara KPK dan MA telah mengatur hal itu.

"Kalau KPK enggak mau pakai itu [Perma 13/2016], ya ada apa?" kata Romli mempertanyakan.

Infografik HL Indepth Meikarta

Respons KPK

Terkait hal ini, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan membuka peluang mentersangkakan Lippo Group dalam kasus ini. Akan tetapi, Basaria mengatakan sebelumnya KPK harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu.

"Bisa saja, tergantung hasil penyidikan. Nanti kami expose dulu," kata Basaria.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang mengatakan bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru dalam menetapkan korporasi sebagai tersangka.

“Sabar dulu dipelajari pelan-pelan, enggak akan lari gunung dikejar, hukum itu yang utama itu keadilanya, bukan dendamnya apalagi atasi masalah malah timbul masalah baru,” kata Saut.

Saut memastikan, KPK tetap berkomitmen menyeret korporasi bila memang menemukan bukti-bukti yang kuat terkait keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi.

“Sudah ada yang dikenakan [korporasi tersanka] ya, KPK harus prudent tapi setiap kasus itu memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri sehingga yang diminta banyak orang, penyidik harus inovatif, progresif,” kata Saut.

Sementara itu, Lippo Group melalui kuasa hukum perusahaan, Denny Indrayana menegaskan bila perusahaan itu menjunjung tinggi prinsip good corporate dan antikorupsi. Ia menambahkan Lippo akan melakukan investigasi internal mengenai kasus ini, dan tak segan-segan memberikan sanksi tegas pada orang-orang yang terlibat.

“Perlu juga kami tegaskan, bahwa kami menghormati dan akan mendukung penuh proses hukum di KPK, serta akan bertindak kooperatif membantu kerja KPK untuk mengungkap tuntas kasus dugaan suap tersebut," kata Denny dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, pada 16/10/2018.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP MEIKARTA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz