Menuju konten utama

KPK: Alasan Eks KSAU Bungkam Saat Diperiksa Terkait Rahasia Militer

Mantan KSAU Agus Supriatna menolak memberikan keterangan saat diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi di kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101. 

KPK: Alasan Eks KSAU Bungkam Saat Diperiksa Terkait Rahasia Militer
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna berjalan keluar gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/1/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna tidak bersedia memberikan keterangan saat diperiksa oleh penyidik lembaganya.

KPK hari ini memeriksa Agus berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI AU pada Tahun 2016-2017. Agus diperiksa sebagai saksi untuk Irfan Kurnia Saleh yang sudah menjadi tersangka dari pihak swasta di kasus ini. Irfan merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri.

"Saksi (Agus Supriatna) tidak bersedia memberikan keterangan dengan alasan saat kejadian saksi menjabat KSAU dan merupakan prajurit aktif, sehingga (keterangannya) terkait dengan rahasia militer," kata Febri di gedung KPK, Jakarta pada Rabu (3/1/2018) seperti dikutip Antara.

Karena itu, menurut Febri, KPK akan berkoordinasi dengan POM TNI untuk mengkaji aspek kerahasiaan di dalam hukum militer yang selama ini berlaku. "Apakah juga (berlaku) dalam konteks proses penegakan hukum atau tidak, atau seperti apa," kata Febri.

Dia menjelaskan, dalam setiap penangan perkara, jika ada irisan antara pelaku dari sipil dan militer, diharapkan ada komitmen kerja sama dari pihak penegak hukum dengan TNI.

"KPK tentu saja punya komitmen, dan juga dari Panglima TNI sendiri. Apalagi soal kasus helikopter AW-101, sejak awal sudah ada larangan juga dari Presiden Jokowi agar pengadaan pesawat itu tidak dilakukan," ujar Febri.

Sementara Agus Supriatna, saat memberikan keterangan ke wartawan usai diperiksa oleh KPK, menyatakan, "Saya minta, terutama kepada teman-teman, yang penting permasalahan ini (kasus korupsi Heli AW-101) jangan sampai dibuat gaduh ya."

Ia tidak memberikan penjelasan gamblang soal materi pemeriksaannya yang berlangsung selama 30 menit. "Segala sesuatu ini sudah tugas dan tanggung jawabnya KPK. Jadi, saya sudah jelaskan apa yang bisa saya jelaskan di sana," kata Agus.

Menurut dia, sebagai seorang prajurit TNI, dirinya tidak boleh mengeluarkan pernyataan sembarangan termasuk soal materi pemeriksaannya kali ini.

"Ini semua sudah ada aturannya ya. Ada perundang-undangan, ada aturan, ada doktrin, ada sumpah prajurit. Jadi, ke mana-mana tidak boleh asal mengeluarkan statement (pernyataan)," ujarnya.

Perkembangan Kasus Korupsi Helikopter AW-101

Perkembangan terakhir kasus ini muncul, pada 10 November 2017, saat Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan Kusno menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Irfan Kurnia Saleh selaku tersangka dari pihak swasta di kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101.

KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka karena menduga dia telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara, dalam pengadaan Helikopter angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017.

Mulanya, pada April 2016, TNI AU mempersiapkan pengadaan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus, yakni proses lelang yang diikuti oleh dua peserta. Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, dan juga diduga sebagai pengendali PT Karya Cipta Gemilang (KCG), mengikuti proses pemilihan dengan menyertakan kedua perusahaan tersebut.

Pada Juli 2016, PT Diratama Jaya Mandiri diumumkan sebagai pemenang lelang dan lalu meneken kontrak pengadaan dengan TNI AU senilai Rp738 miliar. Helikopter lalu dikirim pada Februari 2017.

KPK menduga sebelum proses lelang dilakukan, Irfan sudah melakukan perikatan kontrak dengan AgustaWestland sebagai produsen helikopter angkut itu dengan nilai sekitar Rp514 miliar.

Selain itu, KPK menemukan bukti bahwa pengadaan ini diduga menimbulkan kerugian pada keuangan negara senilai Rp224 miliar. Karena itu, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara POM TNI telah menetapkan lima tersangka terkait kasus ini. Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letkol admisitrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.

Baca juga artikel terkait KORUPSI HELIKOPTER AW101

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom