Menuju konten utama

KPBI: UU Ketenagakerjaan Saja Belum Baik, Diperburuk RUU Cilaka

Pemerintah diminta fokus untuk menegakkan implementasi hak buruh yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 daripada RUU Cipta Kerja.

KPBI: UU Ketenagakerjaan Saja Belum Baik, Diperburuk RUU Cilaka
Ratusan buruh mengikuti aksi unjuk rasa di halaman Kantor DPRD DIY, Malioboro, DI Yogyakarta, Rabu (26/2/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah.

tirto.id - Wakil Ketua Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya bisa berfokus untuk menegakkan implementasi hak buruh yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pasalnya, hak-hak yang diatur di dalamnya pun masih banyak yang terus dilanggar oleh pihak perusahaan.

Namun, alih-alih membenahi perlindungan terhadap buruh, “Pemerintah malah mengeluarkan RUU Cilaka [Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sebelumnya dinamakan dengan RUU Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka],” ungkap Jumisih saat ditemui di Kantor KPBI, Jakarta Timur, pada Senin (2/3/2020).

“Kita tidak menampikkan bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan masih banyak bermasalah di lapangan, tetapi terkait detail-detailnya, masih ada perlindungan terhadap cuti haid, cuti melahirkan, itu secara lugas,” jelas Jumisih.

Namun, dalam RUU Cilaka, ungkap Jumisih, perlindungan atas sejumlah hak cuti tersebut justru tidak dijelaskan secara detail. Dengan itu, Jumisih menilai bahwa RUU tersebut justru mencabut perlindungan terhadap buruh. Pihak yang paling dirugikan pun pada akhirnya adalah buruh, khususnya buruh perempuan.

“Bagaimana pemerintah justru memberikan kemudahan dan keleluasaan hanya kepada investor dan tidak kepada buruh perempuan,” tegas Jumisih.

“Perlindungan buruh secara umum juga banyak diabaikan. Misalnya, terkait keberlanjutan kerja,” ungkap Jumisih.

Lalu Jumisih pun mengkritik poin terkait "padat karya" dalam RUU Cilaka. Pasalnya, dalam poin tersebut, disebutkan bahwa ketentuan gaji merupakan kesepakatan antara perusahaan dan pegawai atau buruhnya.

“Disebutkan bahwa buruh Padat Karya itu boleh menentukan upah sendiri berdasarkan kesepakatan antara buruh dan pengusaha. Lalu pengusaha bagaimana [batasan aturannya]?” tanya Jumisih.

“Kalau berdasarkan kesepakatan antara buruh dan pengusaha, kita bisa tahu bahwa posisi buruh dan pengusaha itu tidak pernah imbang. Apalagi, buruh yang tidak berserikat untuk berhadapan langsung dengan perusahaan untuk menentukan upah, itu pasti akan sangat lemah,” tegas Jumisih.

Selain itu, bentuk tersebut pun justru bisa membuat buruh semakin sulit untuk berserikat. Pasalnya, buruh diposisikan harus menjadi buruh yang penurut dan mengikuti apapun kemauan pengusaha, sekalipun hal tersebut merugikan mereka. Perlindungan atas posisi timpang antara buruh dan pengusaha pun hilang.

“Undang-undang itu seharusnya bisa melindungi secara keseluruhan buruh, bukan hanya dikembalikan ke buruh secara personal, untuk berhadapan langsung kepada pengusaha,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri